Chapter 7

1607 Kata
"Cowok yang ...?" tanya Abra mengulang kalimat Gadis yang menggantung tak jelas seperti jemuran itu. Mata Abra menatap Gadis baik-baik dengan sangat dingin dan tajam, seolah ia siap melumat bibir gadis itu lagi jika mulut cerewet gadis itu mengatainya yang tidak-tidak. Gadis memandang balik ke arah Abra dengan berani, dia tidak akan lagi kecolongan bibirnya karena Abra. Enak aja! "Ya cowok yang kayak lo, kayak siapa lagi!" Eng ing eng. Ternyata Gadis tak berani, ia masih memikirkan hutangnya yang dua ratus lima puluh juta. Abra hendak membalas ucapan Gadis tapi bel diluar kamarnya berbunyi berulang-ulang yang membuatnya tak bisa mengindahkan suara bel itu. Ia kesal bukan main, akan ia beri perhitungan para bodyguarnya tersebut. Ia hanya minta waktu setengah jam untuk menguliti gadis di hadapannya ini kenapa susah amat sih? Belum juga setengah jalan ia mengorek kisah tentang Gadis. Abra membuka pintu dengan sangat kesal dan ia mendapati Clara tengah berdiri di hadapannya dengan wajah merah padam yang siap ia luapkan kapanpun. Dan lagi, apa ini? Clara mengenakan baju pengantin? Tanpa persetujuan Abraham yang masih kaget dengan kedatangan Clara, Clara masuk ke dalam kamar hotel dengan segera setelah ia membanting pintu kamar hotelnya. Kenapa jadi ia yang marah? Seharusnya yang marah itu aku, kan? Pikir Abraham. Napas Clara masih memburu naik turun, gaun putih yang ia kenakan sedikit kena noda darah di bagian perutnya, tapi bukan itu masalah yang sebenarnya saat ini. Masalah yang sebenarnya kini adalah Clara memandang Gadis dengan kaget, marah, bingung, benci dan semua perasaan tak sukanya kepada Gadis. Begitupun dengan Gadis yang memandang Clara dengan tatapan tak suka, kaget, bingung, dan sangat sebal. "Oh jadi lo nikah sama cewek macem gini!" kata Clara marah kepada Abra yang menatapnya dengan tatapan kaget dan heran. "Cewek macam gini maksud lo apaan, Ra?" sergah Gadis tak terima. Abra semakin heran dengan tingkah pola dua gadis yang sekarang saling bersitegang di hadapannya. "Ya cewek kayak lo! Cewek gak laku yang ambil cowok orang sembarangan!" umpat Clara. Gadis terbahak mendengarnya. "Gue? Gak laku? Lo kali!" kata Gadis membalas. "Inget gak lo ngejar-ngejar dokter Roy saat masih punya tunangan!" kata Gadis. Abra masih bingung. Ia benar-benar tak mengerti dengan apa yang ada di hadapannya. Dua orang perempuan yang bertengkar? Seharusnya di sini siapa sih yang marah? Mereka berdua karena punya masalah sendiri ataukah dia yang sudah dicampakkan kekasihnya? "Mulut dijaga, ya!" Kata Clara kesal. "Nyasak aja mulut itu!" umpatnya. "Eh, lo datang-datang bikin ribut." "Gimana gue gak kesel lo rayu calon suami gue dan nikung gue, Dis!" kata Clara. "Calon suami lo yang minta gue nikahin! Bukan gue!" kata Gadis sangat kesal. Ia kemudian merusak tatanan rambutnya yang disanggul dan terasa berat itu. "Dan lo, kalau lo gak mau cowok lo nikah sama orang lain, jangan main sama cowok lain!" imbuh Gadis seraya melempar jepit rambutnya ke kasur. Mendengar apa yang baru saja Gadis katakan itu membuat Clara melongo dan tertegun heran. Apa? Abra yang memintanya menikahi Gadis? Bagaimana bisa? "Bra ... Apa bener yang dikatakan Gadis bahwa lo minta dia buat nikahin lo?" tanya Clara dengan tatapan tak percaya. Abra memandangnya bingung. Mendengar nama Gadis disebut dengan sangat mudah oleh Clara, Abra kini sangat yakin kalau Clara dan Gadis memang satu tempat kerja. "Lo ninggalin gue, Ra ..." kata itu akhirnya yang berhasil lolos dari Abraham. Clara mengerutkan alisnya, bingung dengan apa maksud Abraham barusan kepadanya. "Maksud lo?" "Liburan lo ke Mackay bulan lalu itu dengan Matthew, kan?" tanya Abra dengan mata tajam yang syarat sekali terluka. Clara membelalakkan matanya kaget. Ia benar-benar tak menyangka kalau Abra mengetahui hal itu. Padahal ia yakin sekali kalau liburan yang ia lakukan itu aman dari pengetahuan Abra. Lalu bagaimana Abra bisa tahu dengan sangat baik? "Bra... Gue..." "Kenapa? Lo kaget gue tahu soal liburan lo itu?" tanya Abra dingin. Wajah Clara pucat. Abra memandangnya dengan sangat dingin dan mengintimidasi sekali. Ia sangat-sangat takut kepada Abra kini. Mata Abra yang tajam berwarna biru itu benar-benar tak bisa membuatnya berkata apa-apa lagi. Clara telah salah estimasi. Ia pikir memberi waktu bagi dirinya dan Matthew sebelum menikah dengan Abra adalah hal paling baik agar ia benar-benar bisa terlepas dari bayang-bayang Matthew. Nyatanya ia salah semua. Ia pikir Abra tak akan tahu kisahnya dengan Matthew yang singkat di Mackay dengan tangis perpisahan itu. Ia pikir Matthew tak akan menghubunginya lagi setelah mereka melakukan perpisahan romantis di Mackay. Ia pikir ia tak akan memikirkan Matthew setelah liburan itu. Dan ia pikir pernikahannya dengan Abra akan baik-baik saja. Tapi semua yang ia pikirkan itu salah. Salah semua malahan. "Jadi ... Karena lo udah tahu itu, sekarang lo balas dendam ke gue dengan nikah sama rival gue di rumah sakit?" tanya Clara dengan nada suara yang bergetar. Abraham dan Gadis sama-sama kaget mendengarnya. Gadis bahkan mengerutkan kening mendengar penuturan kesalahpahaman Clara itu. "Gue..." Gadis hendak mengklarifikasinya tapi Abra mengangkat tangan kirinya, menunjukkan bahwa ia meminta Gadis untuk diam. Dan sorot mata dingin berwarna biru milik Abra itu benar-benar membuatnya tak bisa berkutik lagi. Ia hanya bisa melongo heran. "Jadi lo akuin soal lo dan Matthew itu?" tanya balik Abra dengan mata dingin yang menusuknya. "Itu ... Gue dan Matthew ..." "Bagaimana lo bisa keluar dengan mantan lo di saat pernikahan kita yang kurang dua bulan?!" Abra naik pitam karena marah. Tak dipedulikannya lagi kesalahpahaman yang sedang Clara alami, meski ia juga bertanya-tanya situasi macam apa yang tengah ia alami ini? "Bra ... Gue ..." kata Clara yang sudah mengeluarkan air mata. "Gue minta maaf tapi gue dan Matthew udah resmi pisah." kata Clara lagi. "Lo tahu betul gue, kan Ra? Gue paling gak suka ada orang yang bohongi gue." kata Abra. Clara tersentak. "Lalu lo? Lo juga! Lo bohongi gue soal pernikahan kita dan lo malah nikah sama cewek itu!" ujar Clara marah seraya menunjuk Gadis dengan sangat benci. "Lo bohongi gue berhari-hari! Berminggu-minggu dan bahkan sampai hari ketika kita menikah!" "Dan lo main belakang sama Matthew yang notabenenya adalah tangan kanan gue di perusahaan! Di sini, siapa yang paling malu? Lo atau gue?!" kata Abra berteriak marah. Clara terhenyak. "Gue pikir ketika gue percayaain perusahaan gue ke Matthew, ia tak akan khianatin gue, nyatanya lo sama aja kayak Paula!" ujar Abra kesal. "Keluar dari sini sekarang!" usir Abra kejam dan lantang. "Bra ... Lo..." "Pengkhianatan selalu akan berakhir dengan pengkhianatan ..." kata Abra dingin. Langkah kaki Abra panjang-panjang menuju pintu dan membukanya dengan sangat kasar. "Gue bilang gue gak mau diganggu selama setengah jam! Kalian semua tuli?" teriak Abra pada para bodyguardnya. Mendengar itu Clara dan Gadis begidik ngeri. Abra kembali menoleh ke arah Clara yang masih berdiri di tempatnya dengan semua rasa yang berkecamuk di hatinya. "Lo mau keluar sendiri atau gue yang harus ngeluarin lo dari ruangan gue?" tanya Abra dengan suara tegas yang tajam dan sangat dingin. Perlahan Clara melangkahkan kakinya menuju Abraham. Clara telah kehilangan semuanya hari ini. Ia telah kehilangan Abra yang begitu memujanya dan mencintainya dengan sangat dalam karena ia berani mengkhianati kepercayaannya. Dan kini ia menyesal. Jika saja Clara tahu bahwa sebenarnya Abraham tak tahu liburannya dengan Matthew kalau saja Laura tak lancang mengirimkan fotonya dan Matthew kepada Adam. Jika saja Clara tahu bahwa sebenarnya alasan Abra menikahi Gadis adalah karena pesan teks Clara yang mengungkapkan bahwa ia sendiri yang tak bisa menikahinya bukan karena ia dan Matthew bersama di Mackay. Jika saja Abra tahu bahwa pengirim pesan teks yang telah dihapus di ponsel Clara itu adalah Laura maka mungkin tak akan ada pertengkaran seperti ini hari ini. Baik Abra dan Clara mereka terjebak oleh pesan teks yang Laura kirim. Mereka gagal menikah karena Laura. Abra tahu liburan Clara dan Matthew karena Laura. Dan Abra menikahi Gadis juga karena Laura. Selepas Clara keluar dari kamar Abra, Abra memanggil James masuk ke kamarnya. Dengan kepala menunduk dan d**a yang berdebar-debar itu, James merasa karirnya akan tamat. "James, cari tahu siapa yang mengirimkan pesan itu ke ponselku lewat ponsel Clara. Aku ingin tahu alasannya!" kata Abra seraya menyerahkan ponselnya ke James. James menerima ponsel Abra dan membaca pesan dari Clara yang menyatakan bahwa ia tak bisa menikah dengan Abra, berikut foto mesra Clara dengan Matthew di Mackay. "Baik ..." kata James seraya mengembalikan ponsel milik Abra. James undur diri dan keluar kamar meninggalkan Abra yang nampak frustasi dan Gadis yang nampak bingung. "Dua puluh menit lagi aku akan keluar, sekarang biarkan aku tidur dan jangan berisik!" "Gue berisik? Siapa yang berantem siapa yang berisik!" kata Gadis protes seraya memandang Abra dengan sebal. Abra hanya menatapnya tanpa ekspresi. "Ya Tuhan dosa apa gue hari ini!" "Kayaknya lo kena kutukan karena pake gaun pengantin temen lo!" kata Abra sebelum masuk ke dalam kamar mandi. Gadis sebal sekali mendengar ucapan Abra yang terkesan blak-blakan itu. "Dasar makhluk astral!" kata Gadis pelan. Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka dan wajah Abra muncul dari balik pintu. "Jangan ngatain gue! Gue denger!" ujarnya seraya menutup kembali pinyu kamar mandi yang membuat Gadis terbengong. Gadis meraba-raba dadanya yang terasa sesak. Ia mencoba bersabar. Gadis melihat ke arah pintu kamar mandi dan pintu keluar kamar, lalu ia memutuskan untuk keluar kamarnya dan ia langsung disambut dengan ke empat bodyguard tampan Abra. Gadis menelan ludah. "Gue butuh ponsel gue." kata Gadis. Rendy kemudian merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel Gadis lalu menyerahkannya. "Sudah saya isi baterainya." "Terima kasih." Gadis berbalik dan masuk kembali ke kamar. Ia menghidupkan power ponselnya, lalu menghidupkan data selulernya. Puluhan chat berebut masuk ke ponselnya. Saat ia menengok ke pesan Whats Up dan melihat chat teratas, ia kaget, pasalnya chat itu dari Clara rivalnya yang juga mantan calon istri Abra. Clara yang baru pergi dari hotel beberapa menit lalu. 'Jangan lo pikir lo bakalan tenang setelah hancurin pernikahan gue. Tunggu aja!' Pesan itu singkat, padat, lugas dan cukup mengerikan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN