Tempat tinggal Baru

1338 Kata
Di sebuah pedesaan yang sudah cukup jauh dari ibukota kerajaan. Adhisti bersama Faguni pun berhenti disana. Dengan menunggang kuda dengan kecepatan yang cukup cepat. Membuat mereka bisa menemukan desa terdekat setelah langit mulai berwarna gelap. "Yang Mulia, apakah kita akan beristirahat disini?" Tanya Faguni yang kini duduk didepan Adhisti. Dia seperti kekasihnya Adhisti yang sedang dimanja olehnya. Adhisti pun tertawa dan menganggukkan kepalanya. "Hahaha … iya! Kita istirahat saja disini dulu. Jika tempat ini cocok untuk kita tinggal, kita bisa tinggal disini," ucap Adhisti. Dia pun melihat ke sekeliling dan merasa jika desa kecil itu, sangatlah cocok untuknya dan bisa memenangkan hati dan juga pikirannya saat ini. "Tapi Yang Mulia, anda tidak mungkin tinggal di tempat seperti ini. Anda sudah terbiasa tinggal di dalam Istana yang penuh kemewahan," ucap Faguni. Dia merasa jika tempat itu terlalu kumuh dan juga lingkungannya benar-benar seperti lingkungan yang jauh dari kata 'layak,' namun Adhisti tidak memperdulikan itu semua, karena yang dia inginkan hanya sebuah ketenangan dan menjalani hidup seperti biasanya. Adhisti pun turun dari kuda dan membantu Faguni untuk turun. Setelah itu, Adhisti menuntun kudanya untuk berjalan masuk ke dalam desa kecil itu. Sebelum masuk ke dalam desa. Adhisti melihat kearah Faguni dan berkata, "Guni. Kamu jangan memanggilku dengan panggilan Yang Mulia. Kamu harus memanggilku dengan sebutan 'kakak' dan kamu jangan sekali-kali mengatakan kepada siapapun, tentang aku yang sebenarnya. Apakah kamu mengerti?" ucap Adhisti. Dia tidak mau kehidupan sederhananya terganggu dan dia ingin hidup seperti itu, untuk selamanya. Karena Adhisti sudah menganggap jika Aryasetya pasti sudah melupakannya dan dia saat ini. Mungkin tidak memikirkannya sama sekali. Namun, dugaan Adhisti salah besar, karena Aryasetya sangat menderita ketika dia tahu, jika dirinya telah pergi meninggalkannya. Faguni merasa sangat ragu-ragu saat mendengar Adhisti menyuruhnya untuk memanggil dirinya dengan panggilan 'kakak' dan Faguni pun menjawab, "Ta … tapi, Yang Mulia, saya tidak …," Faguni menghentikan ucapannya ketika Adhisti menatap tajam kearahnya. "Guni, dengarkan aku dan jangan membantah lagi," ucap Adhisti dan di pun pergi meninggalkan Faguni yang masih berdiri kaku. Adhisti pun berjalan masuk ke dalam desa itu dan melihat masih ada beberapa pria yang baru saja kembali dari sungai. Adhisti pun tersenyum kearah mereka dan bertanya. "Permisi, apakah saya bisa menyewa sebuah rumah atau penginapan disini?" Beberapa pria itu pun membalas senyuman Adhisti. Terlebih lagi, Adhisti terlihat sangat cantik dan juga terlihat sangat berbeda dengan wanita desa yang biasanya. "Bisa! Disini ada rumah yang bisa disewakan untuk nona cantik seperti anda. Ayo ... Ayo! Silahkan masuk nona cantik!" Ucap pria paruh baya yang terus menatapnya tiada henti. Pikiran liarnya pun mulai mengembara dan dia pun langsung terkejut saat ada satu wanita lagi yang muncul dari belakang Adhisti. "Kakak, apakah malam ini kita akan menginap disini?" Tanya Faguni, dia berusaha bersikap biasa walaupun masih terlihat sangat kaku. Adhisti pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Iya, kita menginap disini adikku. Ayo, ikuti aku dan juga bapak ini," ucap Adhisti dan dia pun menarik tangan Faguni untuk mengikutinya dan Adhisti tidak mau kehilangan Faguni. Karena Faguni adalah orang satu-satunya yang dia percayai dan juga yang dia miliki saat ini. Faguni merasakan kehangatan dalam hatinya karena dia merasakan jika Adhisti seperti kakak aslinya. Walaupun sebenarnya, dia sangat tidak pantas karena kasta mereka sangatlah berbeda. Adhisti pun menaruh kudanya dan mengikatnya di tempat kuda-kuda yang ada di Desa itu. Dia mendapatkan kuda itu dari membeli di sebuah pasar yang ada di pasar ibukota kerajaan Adyamanunggal. Dia pun membelinya karena dia memang sangat membutuhkannya. Kuda berwarna coklat terang dan bertubuh kekar. Sangatlah cocok untuknya, karena Adhisti selain bisa bela diri, dia juga mahir dalam menunggang kuda. Dahulu, dia dan Aryasetya sering berlomba untuk menunggang kuda dan dirinya memang selalu kalah oleh Aryasetya. Masa lalunya bersama Aryasetya saat dia masih menjadi seorang pangeran sangatlah indah dan Adhisti ingin sekali kembali ke zaman itu. Zaman dimana dia dan Aryasetya tidak harus memikirkan kerajaan dan hanya memikirkan hubungan mereka berdua saja. Namun, masa lalu hanya tinggallah masa lalu. Karena, semuanya tidak akan pernah kembali. Adhisti pun menggelengkan kepalanya dan dia berusaha untuk melupakan semua kenangannya bersama Aryasetya. Dia harus bisa hidup tanpa harus ada disampingnya. Setelah itu, Adhisti dan Faguni pun diantar ke sebuah rumah sangat sederhana dan diajak oleh pria paruh baya itu untuk mendekatinya. "Tunggu sebentar disini. Saya akan memanggil sang pemilik rumahnya dulu," ucap pria paruh baya itu. Dia pun pergi meninggalkan Adhisti berdua dengan Faguni. Faguni melihat ke sekeliling rumah itu dan dia merasa sedikit ketakutan. "Yang Mulia, tempat ini sangat mengerikan. Apakah anda merasakan hal yang sama?" Tanya Faguni dan dia tiba-tiba memeluk lengan Adhisti. Adhisti hanya bisa tertawa dan menggelengkan kepalanya. "Kamu benar-benar sangat penakut Guni. Disini tidak ada apa-apa dan aku, aku tidak merasa ada hal aneh apapun disini!" ucap Adhisti. Dia masih tertawa dan terus menggelengkan kepalanya berkali-kali. Melihat Adhisti yang biasa-biasa saja bahkan menertawakannya seperti lelucon. Faguni juga ikut tertawa dan dia benar-benar merasa sangat malu. "Hehehe … saya minta maaf Yang Mulia, karena saya sangat penakut dan saya benar-benar tidak berguna sama sekali," ucap Faguni sambil menggaruk kepalanya karena dia merasa sangat malu. Padahal kepalanya tidak terasa gatal dan sekali. Adhisti langsung menepuk bahu Faguni dan dia mengerti jika wanita biasa seperti Faguni memang sewajarnya merasakan rasa takut berlebihan. "Sudahlah, aku mengerti Guni. Lebih baik setelah ini, kita beristirahat dan besok. Kita akan mencari tempat tinggal yang cocok untuk memulai kehidupan baru kita," ucap Adhisti dan dia pun tersenyum kearah Faguni. Faguni pun menganggukkan kepalanya dan dia akan mengikuti kemana pun Adhisti pergi dan dia akan menjadi pelayan setianya sampai kapanpun Adhisti masih menginginkannya. Dia akan tetap setia untuk bersamanya. Tidak lama kemudian, datanglah pria paruh baya bersama seorang ibu-ibu yang juga seumuran dengannya. Ibu-ibu itu adalah pemilik rumah itu dan dia memberikan harga yang cukup murah untuk Adhisti. Bahkan dia mengizinkan Adhisti untuk menyewa rumah itu dengan jangka waktu yang lama dan memang rumah itu sudah tidak dia pakai lagi. Mendengar hal itu, Adhisti pun merasa sangat gembira karena akhirnya dia bisa mendapatkan tempat tinggal dan desa itu sangatlah cocok untuknya. Adhisti pun memberikan uang yang sudah disepakati dan ibu itu pun langsung menyerahkan kunci rumah itu dan membantu Adhisti untuk merapikan isi dari dalam rumah itu. Setelah menghabiskan waktu cukup lama. Akhirnya operasi bersih-bersih itu pun selesai dan Adhisti berdua dengan Faguni pun masuk ke dalam rumah itu. Mengganti pakaian dan mencuci wajahnya dengan air seadanya. Adisti dan Faguni pun beristirahat di dalam rumah itu. Walaupun terlihat sederhana dan berbeda sangat jauh dengan kediamannya yang berada didalam istana Adyamanunggal. Adhisti merasa hatinya sangat tenang dan dia tidak perlu menghadapi ibu suri dan selir yang selalu berbuat licik serta selalu ingin menjatuhkannya saat berada didepan Aryasetya ataupun didepan orang lain. Adhisti juga tidak harus berpura-pura menjadi wanita anggun dan bermartabat lagi. Karena dia bisa jadi dirinya sendiri dan menjadi Adhisti yang dia inginkan. Sambil menatap langit-langit. Adhisti terus memikirkan semua yang terjadi kepada dirinya. Semenjak dia menjadi permaisuri dan Aryasetya menjadi raja. Adhisti merasa hidupnya benar-benar tertekan dan juga dia merasa seperti terkurung dalam sangkar emas dan kini, dia seperti burung yang bisa terbang bebas dan bisa melakukan semua hal yang ingin dia lakukan. "Mungkin ini jalan yang terbaik yang aku ambil dan perasaan cintaku ini. Aku akan menyimpannya didalam hatiku saja. Mungkin, kita tidak ditakdirkan untuk bersama dan mungkin, jika ada kehidupan selanjutnya. Kita bisa ditakdirkan untuk bersama dan aku berharap, jika kita dilahirkan kembali. Aku ingin kita hanya menjadi orang biasa. Agar aku tidak tersiksa dengan perasaan cinta ini," ucap Adhisti. dia pun menitikkan air matanya dan berusaha sekuat tenaga untuk menguatkan hatinya. Karena dia sudah mengambil jalan untuk meninggalkan Aryasetya, jadi dia harus menanggung resiko untuk tersiksa dalam sebuah rasa yang penuh kerinduan dan perasaan cinta yang terus menggerogoti hatinya. Setelah berpikir cukup lama dan menangis tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Adhisti pun menghapus air matanya dan dia pun berusaha menutup matanya dengan harapan jika setelah ini. Dia bisa membuka lembaran baru dalam hidupnya. Lembaran baru yang lebih baik dan tidak tersiksa oleh sebuah perasaan yang dinamakan dengan cinta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN