“Sera! kamu sudah kami dafarkan ke Starlight School, nggak apa-apa kan?” tanya Lucia disela-sela kesibukan mereka dengan berbagai peralatan laboratorium.
Sera yang mendengar ucapan Lucia menatap ibunya tersebut tidak percaya, bukan Sera tidak menginginkannya, hanya saja ... Bagaimana bisa kedua orang tuanya tidak bertanya terlebih dahulu kepadanya?
“Kenapa Mommy tidak memberitahukan dahulu tentang hal itu kepada Sera?” tanya Sera seraya melepaskan gelas kaca yang berisi cairan kimia bewarna merah pekat.
“Gimana ya ... Bukannya kamu memang ingin masuk ke Starlight School? Karena Mommy tau kamu menginginkan itu, makanya Mommy dan Daddy tidak mendiskusikannya lagi kepadamu,” jawab Lucia.
Oke, itu benar pikir Sera. Hanya saja ia merasa dirinya menjadi tidak memiliki nilai, maksudnya dirinya jadi tidak memiliki harga diri, walaupun ia ingin, tapi tetap saja itu membutuhkan persetujuan bukan? Oke, sekarang Sera terdengar sangat lebay. Lagian Sera sebenarnya sudah mengetahui rencana dari kedua orang tuanya, sebagai anak yang berbakti Sera memilih diam dan duduk manis saja.
“Oke deh, jadi kapan tes penempatan di Starlight School? Ah, maksud Sera tes masuk.” Sera mengalihkan fokusnya dari berbagai peralatan yang ada di depan matanya ke wajah kedua orang tuanya yang sangat tampan dan cantik.
“Besok,” jawab suami Lucia.
Felix Giorda, merupakan nama dari sosok Ayah Sera yang sangat tampan, dan sekaligus suami dari Lucia. Felix merupakan anak yang memang sudah memiliki darah ilmuwan dari garis keturunannya, bahkan seluruh keluarganya pasti mendapatkan paling tidaknya satu penghargaan nobel. Felix dan istrinya juga merupakan keturunan asli Swedia dengan warna kulit yang sangat terang, bahkan mereka berdua sering dikira albino oleh orang di sekitarnya.
“Apa? Besok? Yang benar aja, Sera belum siap Daddy.” Sera melemaskan tubuhnya dan terduduk lemas di lantai labor tersebut.
“Apa yang kamu khawatirkan? Daddy yakin kamu bisa lulus, apalagi kamu menyebut nama belakang keluarga kita, dijamin lulus tanpa seleksi,” ujar Felix datar seraya memakai mikroskop untuk meneliti sel-sel hidup pada tumbuhan baru temuan mereka.
“Come on Daddy, itu nepotisme! Dan lagian ... Bukankah Sera harus mempersiapkan barang-barang, juga ... Bagaimana dengan penerbangan ke pulau Starlight? Bukankah itu jauh?” Sera mengeluhkan segalanya, ia terlihat malas memikirkan bahwa ia harus berkemas kilat hanya dalam beberapa jam, orang tuanya terkadang memang sangat kejam.
“Semuanya sudah Mommy siapkan, kamu tinggal bawa badan saja, untuk penerbangannya itu besok pagi, sekitar jam 3. Pulau Starlight dekat Sera, hanya ssekitar dua jam dari sini menggunakan pesawat.” Lucia tersenyum kecil melihat anaknya mengeluh dengan sifat pemalasnya, tetap saja tidak pernah berubah pikir Lucia.
“Oke deh.” Sera hanya pasrah dan dengan malasnya ia kembali melanjutkan membantu penelitian penemuan baru bersama keluarganya tersebut.
***
Rei sekarang berada di kamar minimalisnya, ia duduk diatas tempat tidurnya dan menghadap ke arah balkon yang pintunya terbuka lebar, ia melihat kearah luar melihat pemandangan fajar yang masih dominan gelap dengan semburan cahaya bewarna kuning di langit.
Rei menghelakan napasnya, ia bingung. Hari ini seleksi ke 2 untuk masuk ke Starlight School, tetapi entah mengapa kedua orang tuanya terlihat tidak peduli. Ah, maksud Rei biasanya orang tuanya akan selalu menyiapkan hal yang dibutuhkan Rei tanpa meminta, apa jangan jangan kali ini Papa Rei... melakukan nepotisme? Sungguh tidak terbayangkan oleh Rei.
Rei berdiri, ia ingin membersihkan dirinya terlebih dahulu, ia membersihkan tempat tidurnya terlebih dahulu dan secara tidak sengaja matanya menangkap sebuah kertas kilat di atas meja belajarnya. Rei yang penasaran menghampirinya dan melihat sebuah surat? Untuk apa kedua prang tuanya memberi surat padahal mereka bisa mengirimkan pesan? Rei menggelengkan kepalanya memikirkan tingkah aneh kedua orang tuanya. Rei pun membuka surat tersebut dan membacanya.
Rei, papa dan mama ada urusan mendadak, kamu jangan lupa siapkan barang kamu, sarapan dan siap siap untuk pergi pagi-pagi buta ya. Tiket pesawat sudah mama letak dekat surat ini kan? Sampai jumpa liburan semester depan.
-Mama
Dasar jadul pikir Rei, kenapa mereka tidak memberitahukan Rei melalui pesan singkat saja. Rei mengecek tiket pesawat yang sudah dilampirkan kedua orang tuanya.
“HAH? SETENGAH JAM LAGI?” Rei kaget bukan main, bagaimana bisa ia pergi semendadak ini tanpa aba-aba, untung saja semalaman ia sudah menyiapkan seluruh baranganya.
Rei tidak ingin membuang-buang waktu karena masih terkejut akan hal yang terjadi, ia segera memasuki kamar mandi dan membersihkan tubuhnya untuk menyegarkan juga menenangkan pikirannya. Hari ini seleksi masuk Starlight School, ia tau dengan jelas ini tidak akan semudah yang dibayangkannya, maka dari itu ia harus bisa menetralkan pikirannya dan tidak panik.
***
Rei sudah berada di pesawat? Dia tidak mengetahui apa yang sedang ia naiki sekarang, bentuknya sedikit aneh, karena mirip jet tempur untuk perang? Bahkan Rei memang berpikir yang sedang ia naiki emang jet tempur sungguhan, dikarenakan kecepatannya yang sangat cepat, mungkin empat kali lipat pesawat pada umumnya?
Rei sengaja memilih tempat duduk tepat di dekat jendela pesawat, karena ia ingin mencoba kembali memastikan bentuk bumi itu apa, meskipun Rei sudah mengetahui jelas bentuk bumi itu bulat, tetapi tetap saja teori para penganut bumu datar membuatnya berpikir berulang kali.
Rei memandang ke luar jendela dengan matahari yang masih terlihat tepat di ufuk timur, awan-awan yang tampak seperti gelombang laut membuat pandangan Rei tenang. Rei sebenarnya sangat menantikan ketika ia bersekolah di Starlight School, siapa coba yang tidak tergiur memasuki sekolah terbaik di dunia? Siapapun pasti akan menginginkannya, begitu pula Rei, hanya saja ia takut dan merasa gengsi berada di sana.
Rei yang mulai melamun kembali tersadar, ia merasakan pesawat yang sedang ia tumpangi perlahan menuruni kecepatannya dan sebenarnya hanya ia seorang yang berada di pesawat dengan sejumplah pilot dan pramugari, ia sebenarnya mengherankan hal tersebut. Rei sekarang melihat ke bawah, matanya menangkap sebuah pulau yang daratannya dikelilingi oleh hutan lebat, kemudian terdapat tembok yang membentengi antara hutan dan sebuah kota? Rei tidak yakin akan hal itu.
“Bentar ... Itu kota? Sekolah macam apa yang semewah ini?” Rei bertanya-tanya terhadap dirinya. Sungguh ia takjub melihat kemewahan dari Starlight School tersebut, dari atas saja ia sudah dapat melihatnya, pantulan kilauan dari batuan mahal membuat kesan tersendiri ketika melihat dari ketinggian ribuan kaki.
***
Sekarang, Rei sudah berada di antara ribuan siswa, lebih tepatnya 58.981 siswa/i yang akan mengikuti tes untuk ujian masuk di Starlight School, Rei mengetahuinya dari sistem yang terdapat di depan mereka semua yang berbentuk sebuah hologram dan sangat besar.
“Sebanyak ini yang ikut tes? Dan yang dipilih hanya 1000? Bukankah sistem ini sangat gila?”
“Aku sangat sesak disini, kenapa banyak sekali yang lolos seleksi pertama? Aku kira tidak bakal sampai tiga ribuan orang”
“Apa ini? Gila! Sudah kaya penduduk satu kota saja yang akan ikut seleksi dan apa itu?”
“Wajar saja mereka memberi banyak kesempatan untuk orang yang ingin masuk kesini, lihat saja bagaimana teknologi yang sangat maju berada di pulau ini.”
“Gila, semuanya serba teknologi, tapi menerapkan desain interior bangunan kekerajaan yang sangat kental, aku sangat ingin masuk ke 1000 orang yang terpilih.”
Begitulah kiranya percakapan orang-orang yang didengar Rei, dan itu sangat berisik menurut Rei, mereka terlalu banyak bicara sehingga membuang waktu. Rei tidak habis pikir mereka bahkan seperti ingin tur secara berkelompok, aneh menurut Rei, ia saja bahkan tidak dapat menemukan orang yang dikenalnya disini, berapa tadi 58 ribu? Sungguh membuang waktu saja pikir Rei sistem seleksi di sekolah ini, bahkan menurut Rei sebenarnya Starlight School sudah mengetahui siapa saja yang bakal menjadi seribu orang terpilih, tapi herannya mereka tetap mencoba untuk membuang waktu.
***
“Perhatian kepada semua peserta, dipersilahkan untuk berkumpul terlebih dahulu dan berbaris rapi dalam tiga menit dari sekarang! Siapa yang belum berbaris dengan rapi, maka ia akan langsung digagalkan tanpa mengikuti ujian seleksi terlebih dahulu.” Interuksi tersebut berasal dari sebuah hologram yang sangat besar dan menampilkan seorang wanita dengan berpakaian formal, setelah interuksi yang diberikannya selesai suasana langsung gaduh secara seketika, mereka dengan panik langsung berlari kompak masuk ke dalam sebuah lapangan luas tanpa memperdulikan orang di sampingnya.
Tetapi, tidak denganku.
Untuk apa aku mencoba hal kekanakan seperti itu, jika semua melakukannya dengan tertib waktu sebanyak 3 menit itu pasti akan sangat lama. Sekarang aku hanya berdiam diri membiarkan semua dari mereka pergi berhamburan dan saling menolak, aku yakin pasti akan ada seseorang yang berpikiran sama denganku.
Dan hal itu benar, setelah hampir semuanya pergi, tersisa sekitar puluhan dari kami yang masih berdiam diri tidak bergerak, kami saling bertatapan antar satu sama lain, walaupun dengan jarak yang sangat jauh, kami kompak terkekeh kecil. Kenapa? Karena pikiran kami semua sejalan.
“Waktu tersisa satu menit lagi!”
Kompak semua langsung panik dan terlihat di sana barisan mereka masih kacau dan seperti semut, ah tidak, bahkan semut saja bisa lebih rapi dari mereka.
Kami yang mendengarkan waktu tinggal semenit tidak panik, malah kami berjalan santai secara teratur memasuki gerbang dan secara perlahan membentuk barisan utuh sambil berjalan masuk mendatangi lapangan tempat pengumuman akan di berikan. Sebenarnya tidak ada aturan dalam berbaris, hal ini seharusnya menjadi mudah dalam membentuknya, seharusnya hal seperti ini sangat simpel dilakukan.
Tetapi ... Tidak dengan orang yang tamak dan serakah, ketika mereka menginginkan sesuatu atas dasar keegoisan mereka dan ternyata hal itu hanya dapat ditempuh dalam waktu singkat, pasti mereka akan kehilangan akal dan panik, langsung menyerbu tujuan mereka tanpa paham kondisi dan melihat hal yang memungkinkan di masa depan. Padahal jalan menuju tujuan itu banyak tidak satu atau dua jalan, tetapi mau bagaimana lagi? Bukankah itu merupakan sifat hal yang sangat lumrah bagi seorang manusia?
“15 detik lagi!” ucap perempuan yang terlihat berada di atas bangunan seperti panggung tersebut.
Kami tidak panik, tetap berjalan dengan santai dan pastinya tidak tegur sapa seperti manusia yang terlalu serakah ingin mengetahui segalanya sekarang juga dan secepatnya, sebenarnya pasti bakalan ada waktu yang tepat untuk berkenalan, tetapi hal itu bukanlah sekarang.
“10 ... 9 ... 8 ... 7,” ucapnya menghitung mundur.
Terlihat sudah ada barisan yang rapi, tetapi hanya di bagian depan, tidak di belakang mereka sangat berantakan. Kami berjalan secara perlahan dan serentak, bahkan tanpa perintah langkah kaki kami dan ketukannya sama seakan sudah pernah berlatih untuk itu. Ini bukan tentang kemampuan sempurna atau apapun, tetapi ini perihal kepekaan diantara kami, walaupun pikiran dasar kami menyukai hal bebas tetapi kami tetap menyukai keselarasan, hal itulah yang membuat kami saling menyelaraskan langkah secara sadar dalam diri masing masing tanpa di perintah terlebih dahulu,
“3 ... 2 ... 1.” Ia berhenti berhitung dan memperhatikan seluruhnya.
Tepat di hitungan ke satu langkah kaki kami semua berhenti secara bersamaan, dan berada di barisan paling ujung dan pasti yang paling rapi di antara semuanya, biar kutebak, apapun itu dan siapapun itu pasti naluri seorang manusia akan melihat yang sangat buruk awalnya dan ketika melihat suatu hal yang sangat sempurna maka mereka akan sangat kaget dan tanpa sadar memujinya.
“Masih berantakan! Kalian lihat barisan yang paling ujung sebelah kanan saya, mereka terlihat sangat rapi meskipun mereka sangat santai dan tidak seperti kalian.”
Sudah kutebak bukan? Itulah kami, hanya mengikuti naluri dan perasaan yang sesuai dengan kaedahnya, dan tergantung mereka yang menilai mau bagaimana. Tidak banyak yang membilang buruk dan tidak banyak pula yang memuji secara terang-terangan dan membuat orang iri hati.
“11.234 orang dari kalia didiskualifikasi!” seru perempuan di depan mutlak tanpa bisa dibantah.
Semua sontak kaget dan saling berpandangan, yang tadi semua sunyi senyap, sekarang mereka kelihatan bersorak dan menatap tidak percaya, keegoisan mereka muncul karena tidak terima pada sistem yang tidak masuk akal, mereka tidak terima bahwa mereka salah, itulah sosok egois dari dominan para manusia saat ini, terlalu percaya diri dan tidak ingin mereka bersalah.
“Lihat notifikasi di Handphone kalian, jika memunculkan warna hitam berarti kalian gagal dan warna putih berarti kalian berhasil untuk bertahan.” Setelah sepersekian detik mereka terdiam dan segera mengecek ponsel mereka, dan tidak lama nada tidak terima keluar dari lisan mereka.
Tidak hanya pada bagian belakang, tetapi pada bagian barisan terdepan pun sontak kaget dan tidak percaya, mereka seakan tidak terima bahwa mereka bisa didiskualifikasi, padahal mereka sudah terlihat sempurna menurut diri mereka masing-masing, sejujurnya dari sini mereka terlihat sangat egois, bisa kalian coba tebak apa kesalahan mereka?
“Bukan hanya dalam kesiapan kalian berbaris, tetapi sikap kalian dalam proses berbaris juga dinilai, bagi kalian yang terlihat saling mendorong dan menolak, bukankah itu tidak memiliki tata krama? Kami tidak membutuhkan mereka yang tidak memiliki tata krama. Sekarang jangan banyak mengeluh, kalian harus kembali intropeksi diri. Silakan keluar dari barisan dan kembali ke rumah kalian masing-masing.”
Sontak semua diam dan perlahan satu per satu dari mereka keluar, puluhan, hingga ratusan berjalan keluar. Dengan tatapan penuh emosi beragam dan pandangan menunduk ke arah bawah mereka berjalan ke luar dengan pasrah dan tertib.
Bagaimana dengan orang-orang di barisan kami? Tentunya kami semua pasti memiliki naluri yang sama, sudah yakin lolos tanpa melihat ponsel untuk lebih lanjutnya. Bukan karena kami egois atau merasa arogan, tetapi itulah kenyataannya, kami merasa kami pantas dan memang tidak membuat sama sekali kesalahan.
“Baiklah, sekarang silakan pecah barisan kalian kembali, kecuali barisan mereka yang berada di ujung sebelah kanan saya, kalian semua silakan masuk ke Golden Room, tunggu di sana untuk memulai ujian seleksi kedua.” Interuksinya dengan suara yang sangat lantang.
Tanpa mengangguk dan bertanya di mana ruangan tersebut berada, kami segera berjalan ke sisi kiri gedung, kenapa? Ya, karena kami semua sudah tau tata letak ruangan utama di area aula utama ini, bagaimana caranya? Bukankah aneh jika mereka ingin memasuki sebuah sekolah, tetapi tidak mencari tahu lebih dahulu bagaimana tata letak di dalam sekolah? Tentu saja kami sudah mencari tahu lebih lanjut masing-masing ketika berada di rumah, lagian ini area aula utama untuk para wisatawan berkunjung, hanya bagian luar kota starlight saja, jadi sangat wajar dan sangat umum untuk mengetahui bagian daerahnya.
Masalah wisatawan? Setiap akhir semester diantara pertengahan tahun dan akhir tahun bakalan ada kunjungan yang di berikan terbuka dan untuk umum bagi seluruh orang di dunia, tentunya memilki jadwal dan waktu supaya tertib, dan tidak sembarangan wisatawan yang bisa datang. Hanya mereka yang memiliki kemampuan dan koneksi saja yang bisa mengunjungi pulau ini, itupun hanya di area utama aula bagian luar saja, tidak di dalam Starlight.