Bab 5

1002 Kata
Tasya merapikan pakaiannya. Pergumulan panas itu baru saja selesai. Ada rasa perih pada bagian inti tubuhnya, akan tetapi itu tak apa yang terpenting sekarang ialah kunci mobil itu sudah di tangannya. Kemewahan bagi Tasya adalah tujuannya. Dia menunggu Rendi yang masih membersihkan diri di kamar mandi. Tasya menyisir rambutnya yang basah. Duduk di depan cermin besar sambil menatap pantulan wajahnya yang tampak segar setelah mandi tadi. Sesekali senyum mengembang ketika terbayang jika dia bisa memamerkan mobil baru pada keluarganya. Dia pun sudah berencana akan membawa mobil barunya untuk mengunjungi tempat Rinai---saudara tiri yang sangat dibencinya. “Sampai kapanpun, hidupmu tak akan lebih baik dari pada aku, Rinai. Kamu dan ibumu pantas menderita.” Tasya tersenyum menyeringai. Baginya adalah sebuah kepuasan ketika bisa melihat Rinai menderita. Rendi keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut. Dia menghampiri Tasya dan mengecup pucuk kepala kekasihnya. Dia berbisik pada daun telinga Tasya yang membuat rona merah pada wajahnya. “Kamu luar baisa, Sayang,” bisiknya. Kemudian dia berlalu dan segera mengenakan pakaiannya, karena setelah ini dia harus segera kembali ke kantor. “Mas, kamu ke kantor pakai apa? Mobilnya ‘kan aku bawa?” Tasya menatap lelaki yang sudah membuatnya mabuk kepayang itu. Lelaki yang mengenalkan surga dunia padanya. “Aku naik taxi saja. Mobil kamu bawa pulang saja.” ucap Rendi sambil mengerling pada kekasihnya. Tasya mengulas senyum. Tak sabar ingin segera memamerkan mobil itu pada keluarganya. Meskipun hari ini ayah dan ibunya sedang keluar kota, akan tetapi masih ada Tisya. “Ya sudah kalau gitu, kamu hati-hati,” ujar Tasya sambil berdiri dan mengambil tasnya. Keduanya berjalan bergandengan begitu mesra, bak pengantin baru yang sedang berbahagia. Sebelum keduanya berpisah, Rendi mengajak Tasya makan dulu di hotel mewah itu. “Mas, aku butuh STNK-nya juga. Masa kunci mobilnya saja?” Tasya merengek pada Rendi. Lelaki yang tengah menyuap itu hampir tersedak. Dia tampak kikuk dan berdiam sejenak. “Kenapa, sih?” Tasya mengernyitkan alisnya yang baru saja dibentuk ulang itu. “Emhhh … gini, Sayang.” Rendi memulai merangkai kata. Tasya menatap lekat wajahnya. “Hmmm?” Satu alis Tasya terangkat menunggu Rendi melanjutkan ucapannya. “Mobil ini sebetulnya sudah aku hibahkan buat perusahaan. Ya, namanya juga cuma mobil murah gitu. Jadi namanya masih nama perusahaan. Nggak apa?” Rendi menatap Tasya setelah berhasil mencari alasan yang paling masuk akal. “Ya ampuuun, kirain ada apa?” Tasya terkekeh dan melanjutkan makannya. Rendi menunggu jawaban kekasihnya itu dengan was-was. “Aku malah bangga sama kamu, perusahaan sekelas Dharma grup saja, masih kamu sumbang inventaris mobil. Betapa kaya rayanya kamu, Mas. Aku makin tak sabar bisa jadi istri kamu,” ucap Tasya dengan mata berbinar bahagia. Rendi tersenyum lega. Ternyata semua tak serumit yang dia pikirkan. Lelaki itu kemudian mengeluarkan STNK dari dalam dompetnya dan menyerahkan pada Tasya. “Ya, mau gimana juga, aku ini kan 'kerabat dekat mereka, Sayang. Siapa lagi kalau bukan aku yang mendukung penuh perusahaan keluarga kami. Toh, kalau ada keuntungan lebih, aku pun kebagian bagian cukup besar juga,” ucapnya dengan penuh kesombongan. Tasya semakin kagum dan sangat bahagia mendengar semua itu. Sudah terbayang kehidupan seperti apa yang nantinya akan didapatkan olehnya di masa depan. “Ya ampuuun! Kamu keren banget sih, Mas. Aku makin sayang rasanya,” ucap Tasya dengan netra berbinar. Rendi mengangkat satu alisnya dan tersenyum. Cukup bahagia ketika berhasil membuat wanita itu percaya dengan mudah terhadapnya. Keduanya berpisah. Rendi kembali ke kantor menggunakan taxi, sedangkan Tasya langsung mencoba mobil barunya menuju rumah. Dia memijit klakson berulang agar kakaknya---Tisya segera keluar. Gadis yang berusia dua tahun lebih tua darinya itu menghampiri ketika melihatnya melambaikan tangan. Tisya mengerutkan kening heran. “Kamu pake mobil Rendi, Sya?” Tisya menatap adiknya, menunggu jawaban dari perempuan dengan senyum mengembang itu. “Tadi pagi sih, mobil Rendi, tapi sekarang udah jadi mobil aku,” ucap Tasya dengan percaya diri. “What? Rendi kasih mobil ini buat kamu?” Tisya membelalak tak percaya. Tasya mengangguk yakin. “Iyalah, aku ini calon istri kerabat pemilik perusahaan Dharma Grup yang cabang perusahaannya di mana-mana. Nanti kalau dia udah nikahin aku … mobil aku mau ganti tiap bulan. Buat apa kekayaan laki yang banyak kalau nggak dinikmati, iya nggak?” Tasya menatap kakaknya dengan wajah bahagia. “Kapan Mbak dapet pacar setajir Rendi, ya? Mas Hengki boro-boro beliin mobil, malah pinjem duit mulu,” gerutu Tisya sambil mengeluh. “Tar aku cariin ya, kali aja Rendi masih punya sepupu-sepupuan gitu. Ayo Mbak ikut nggak? Aku mau ke tempat si Udik, pengen lihat wajah cengonya. Puas rasanya melihat dia melongo nanti,” kekeh Tasya sambil membayangkan wajah Rinai. “Oke, Mbak sudah lama juga nggak bully dia. Gatel rasanya ini mulut. Eh, tapi beneran, ya! Cariin Mbak pacar dari kerabatnya Rendi. Mbak, nanti langsung putusin Mas Hengki, deh. Males banget punya cowok kek gitu,” keluh Tisya sambil duduk di samping Tasya. “Oke, beres.” Tasya mengangkat satu alisnya ke atas. Keduanya melaju menuju tempat tinggal Rinai yang berada di area pinggiran sungai. Tempat yang sebetulnya lebih mirip perkampungan kumuh. Rumah-rumah tidak standard dan hanya terbuat dari papan berjejer di sana. Ada juga yang sudah dibuat menggunakan bata tetapi tidak penuh sampai atas. Begitu pun kediaman Rinai, hanya terbuat dari papan-papan saja dengan luas tidak seberapa. Dari jauh, tampak Rinai tengah menjajakan rempeyeknya pada meja kecil yang terbuat dari kayu di tepi jalan. Tempat dia berjualan sedikit jauh dari rumahnya karena inilah tempat yang agak ramai. Di mana ada pertigaan menuju pasar. Tasya sengaja melajukan mobilnya lebih kencang dan mengambil tepi. Ketika sudah dekat, dia sengaja menabrak meja kecil itu hingga meja tempat Rinai menjajajkan jualannya terjungkal. Semua bungkusan rempeyeknya berhamburan. Sebagian remuk terinjak mobil yang melaju dan berhenti beberapa meter setelahnya. “Astaghfirulloh!” Rinai memekik kaget. Dirinya pun hampir saja terserempet hingga terjatuh. Beruntung tidak apa-apa. Tasya dan Tisya turun sambil melipat tangan di d**a. Menatap nyalang pada Rinai yang tengah memunguti dagangannya. Keduanya tak sadar. Ada sepasang mata elang menatapnya penuh kemarahan. Sepasang mata dari pemulung tampan yang tengah mendorong gerobak ke arah mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN