Rendi berdecak kesal. Dia baru saja menerima laporan dari Dirman jika ada satu orang yang cukup merepotkan. Seorang gadis yang menentangnya dan tidak mau menjual rumah dan tanahnya dengan harga murah. Dia bermaksud akan turun tangan sendiri menemui gadis itu pada kunjungan berikutnya. Rendi cukup dibuat penasaran dengan orang miskin yang cukup punya nyali.
“Kenapa mukanya bete gitu?” Tasya yang duduk di depannya dan tengah menyuap steak menatap kekasih pujaannya.
“Biasa, ada masalah di lapangan. Ada orang miskin yang sok jago dan gak mau jual murah tanahnya,” ucap Rendi sambil meneguk kopi hangat yang tinggal setengah.
“Oh, gitu. Kamu pasti bisalah mengatasinya, Sayang. Siapa sih yang berani sama kamu, Mas?” ucap Tasya sambil mengerling manja.
“Iya pastinya begitu. Btw maaf ya, aku jemput kamu pakai Avanza doang, soalnya mobil yang lain lagi dipakai sama nyokap dan bokap. Sebellah, ada mobil banyak malah kebagian yang paling murah,” ucap Rendi seraya memegang tangan mulus milik Tasya yang tergeletak di atas meja.
“Iya, nggak apa-apa, Sayang. Asal jangan jemput aku pakai motor saja. Lah, masa calon istrinya dari kerabat keluarga Wira Eka Dharma naik motor?” kekeh Tasya sambil merasakan aliran desir hangat dari tangan Rendi. Membuat hatinya berdentum tak menentu.
“Sayang, kapan sih, kamu mau buktiin cinta kamu ke aku?” Rendi kembali mengeluarkan rayuan mautnya. Dari sekian wanita yang sudah dipacarinya, hanya Tasya yang masih gadis sampai hari ini. Rendi sudah tak sabar untuk memadu kasih dengan gadis itu, seperti yang dia lakukan pada wanita-wanita yang dipacari sebelumnya.
“Gampang saja sih, kalau cuma hal itu, Sayang. Cuma ‘kan kamu saja belum memenuhi permintaanku. Beliin aku mobil dulu dan pertemukan aku sama orang tua kamu. Buktiin kalau kamu pun serius sama aku,” ucap Tasya sambil mengerling. Dia yakin jika lelaki yang ada di depannya ini memiliki kekayaan yang perlu diperhitungkan.
“Itu juga hal sepele, cuma mobil doang … kamu tinggal bilang saja. Kalau kamu bisa membuktikan dulu cintamu saat ini juga, mobil ini aku kasih buat kamu hari ini juga,” ucap Rendi sambil memperlihatkan kunci mobil ditangannya.
Kedua netra Tasya membulat senang. Impiannya memiliki mobil sendiri akan segera terwujud. Di rumahnya memang ada mobil, akan tetapi itu pun mobil second yang sudah berumur. Hanya bisa dipakai untuk hal penting dan bukan untuk dipamerkan.
“Gimana? Menarik kan tawaran aku?” Rendi menyeringai.
Tasya terdiam dan menimbang-nimbang. Lalu dia menatap kekasih hatinya itu lagi. Pendiriannya mulai goyah ketika melihat kunci mobil itu tergantung di tangannya.
“Emhhh … tapi aku mau mobil yang satunya, yang pajero putih,” rengek Tasya. Dia teringat jika beberapa waktu lalu, Rendi menjemputnya menggunakan Pajero putih yang sangat keren.
“Mobil itu masih diservis, Sayang. Gini saja … kita ke hotel sekarang, yuk! Aku tuh makin gemes sama kamu. Nanti mobil ini kamu bawa pulang dulu. Lusa baru aku tukerin sama mobil yang satunya, ya,” ucap Rendi sambil mengerling nakal. Melihat pakaian Tasya yang serba terbuka membuat keinginannya untuk menyatukan diri dengan gadis itu semakin menggebu.
“Tapi kamu janji, ya … selain ngasih mobil, nanti nikahin aku,” ucap Tasya menatap wajah Rendi meminta kepastian.
Dia ingin selalu lebih di atas Rinai. Dia ingin segera menginjak-injak lebih parah harga diri gadis itu dengan memamerkan kekayaan dan kebahagiaan yang dia dapatkan. Dia akan datang ke tempat Rinai berjualan dan memamerkan betapa beruntungnya dia mendapatkan sebuah mobil mewah. Dia ingin mengatakan pada dunia kalau nasibnya jauh lebih baik dari pada anak dari istri kedua ayahnya itu. Wanita yang dulu sudah membuat ayahnya berpaling dan menyakiti hati ibunya.
“Duh, pastinya dong, Sayang. Aku tuh, sudah cinta banget sama kamu. Cuma kamu ‘kan tahu sendiri sekarang gimana sibuknya aku. Ya, sebagai kerabat dekat penerus bisnis Wira Eka Dharma Grup, pastinya aku harus mati-matian membantu membangun perusahaan. Kalau bukan aku, siapa lagi?” Rendi meyakinkan kekasihnya. Dia kembali menatap tubuh Tasya yang terbalut pakaian seksi. Dia bahkan sampai menelan saliva berkali-kali.
Akhirnya Tasya yang sudah tidak sabar ingin memiliki mobil sendiri, melupakan semua pesan yang disampaikan ayah dan ibunya. Dia sudah sangat yakin, jika lelaki yang kini resmi menjadi pacarnya itu akan bertanggung jawab. Lagipula mereka berhubungan dengan menggunakan pengaman, seperti yang Rendi biasanya lakukan dengan pacar-pacar sebelumnya.
Keduanya bergegas menuju hotel yang sudah menjadi tempat langganan Rendi. Dia menggandeng Tasya dengan mesra dan terus-terusan mengobral janji-janji manis agar Tasya semakin percaya.
***
Wira sudah tiba di sebuah rumah kumuh di tepi kali. Dia memarkirkan gerobak berisi botol-botol bekas itu di depannya. Wira segera masuk ke dalam bangunan itu dan berganti kostum. Lalu menelpon supirnya yang menunggu tidak jauh dari sana.
Tak lama sebuah range rover putih seharga miliaran itu menepi. Terparkir di depan bangunan kumuh yang sangat sempit. Pemandangan yang cukup kontras sebetulnya, tetapi tempat yang Wira pilih cukup terlindung oleh beberpa bangunan kosong bekas gudang yang tinggi. Wira sudah memastikan jika tempat itu adalah lokasi paling aman untuknya.
Wira naik ke mobil itu dan meminta Pak Imam---supir kepercayaannya untuk melaju meninggalkan tempat itu. Satu plastik keresek berisi rempeyek ditentengnya. Ada senyum mengembang pada bibir merah lelaki berjambang tipis itu membayangkan binar bahagia dari netra Rinai ketika dia memborong dagangannya. Dia berikan pada Pak Imam, satu bungkus dia buka dan dinikmatinya dengan satu botol air mineral.
“Ini Pak, buat Bapak!” ujar Wira sambil menyodorkan plastik itu.
“Wah rempeyek kacang ya? Saya suka banget, Pak. Makasih!” Pak Imam menerimanya dengan sumringah.
“Ya, sama-sama, Pak!” Wira menjawab standard.
Pak Imam menyimpan plastik keresek berisi rempeyek itu dan menyimpannya pada jok kosong yang berada di sampingnya. Dia sudah tersenyum-senyum sendiri karena tidak perlu membeli oleh-oleh untuk putri bungsunya nanti di rumah. Rempeyek kacang itu akan diberikan pada anaknya.
Wira duduk sambil sibuk pada layar gawai. Satu tangannya tak henti mengambil serpihan rempeyek. Entah kenapa semua terasa begitu renyah di lidah. Rasanya sangat spesial menurutnya.
Jemari kiri Wira dengan cekatan mengirimkan data-data pada tangan kanannya. Semua hal yang didapatkan di lapangan harus tersimpan rapi untuk proses eksekusi sebentar lagi. Biasanya Hardi---sekretaris pribadinya yang akan melakukan semua ini. Namun, Hardi masih berada di luar kota sedang mengurus project penting juga. Karena itu, Wira akhirnya turun tangan sendiri sehingga wajah-wajah bermuka dua itu akhirnya sudah dilihatnya sendiri.
Beberapa pesan masuk memenuhi layar. Ada dari rekan bisnis, ada juga beberapa pesan dari keluarganya. Satu pesan dari Bu Erni pun belum dia buka. Tampak sederet informasi Bu Erni berikan terkait mobil yang ditemuinya di dekat area gadis penjual rempeyek itu berjualan.
[Mobil ini memang benar milik kantor, Pak. Informasi dari bagian general affair, hari ini mobil ini dipakai oleh Pak Rendi Janata untuk meeting di luar kantor, Pak.]