Nada panggilan di iringi getaran dari handphone Dhira membuat perempuan berparas cantik itu tersentak kaget dari lamunannya. Dhira mengambil handphone miliknya, lalu menggeser ke atas gambar gagang telpon berwarna hijau.
"Halo mbak..." ucap Dhira membuka percakapan.
"Maaf mengganggu waktu ibu. Saya mau menyampaikan jika hari ini ada rapat bersama dewan direksi jam tiga nanti bu." Suara Mbak Dina dari seberang sana membuat Dhira tersadar hingga berlonjak dari atas kasur.
"Astaga, sekarang jam berapa?" ucap Dhira sembari menoleh ke arah pergelangan tangannya.
"Sudah hampir jam satu siang ibu. Dan mohon jangan melupakan makan siang ibu," sahut Mbak Dina mengingatkan.
"Ya sudah, aku ke kantor sekarang, tolong mbak handle semua yang belum aku siap kan untuk meeting nanti," titah Dhira pada sekretaris pribadinya itu.
"Baik bu," sahut Mbak Dina mengakhiri obrolan.
sambungan telfon langsung di putus oleh Dhira.
Dhira merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Tubuhnya menghadap ke kaca besar meja rias yang ada disana. Melepaskan ikat rambut berwarna soft pink lalu menyisirnya perlahan untuk kembali di tata serapi mungkin.
"Aduh, enggak bagus deh kalau di gerai, jadi berantakan gini." Sembari menyisir rambut panjangnya.
Dhira memutuskan untuk mengikat kembali rambutnya, kedua tangan lentiknya dengan lihai merapikan rambut yang siap di ikat.
Tiba tiba saja Tama mendaratkan bibirnya di tengkuk Dhira dari arah belakang dengan kedua tangan yang melingkar di pinggang Dhira.
"Eh, mas... Jangan gitu mas..." ucap Dhira yang kaget dengan kecupan singkat Tama tengkuknya.
Dhira kembali mengikat rambutnya, hingga terlihat begitu rapi.
"Jangan pergi dulu. Aku masih mau berdua sama kamu." Tama membenamkan kepalanya di bahu Dhira.
Dhira bisa melihat dengan jelas ekspresi wajah Tama yang menggemaskan saat memintanya untuk tetap bersama.
"Enggak boleh berdua, nanti setan masuk di antara kita," ujar Dhira terkekeh, tanpa merasa risih dengan sikap Tama yang mendadak manja.
"Kamu berani bilang Angga setan?" teriak Tama dengan sengaja karena Angga saat ini sedang duduk di sofa depan kamar itu, dan sudah pasti Angga akan mendengarnya.
Dhira terkekeh, ia mengetahui maksud dari teriakan kakak tampannya itu. Dhira melepaskan tangan Tama, lalu meletakkan sisir di atas meja rias.
"Kasian Angga di bilang setan sama tuan tampannya ini." Dhira kemudian melangkah kan kakinya untuk mengambil tas dan handphone yang terletak di atas nakas.
Tama menarik pergelangan tangan Dhira, dengan sekali hentakan Dhira telah berada dalam pelukan Tama.
Pelukan hangat yang selalu dirindukannya sejak beberapa bulan terakhir, aroma maskulin dari sang pemilik menembus indera penciuman Dhira hingga membuatnya menarik nafas dalam untuk menikmati aroma memabukkan itu.
Tak ada suara yang keluar sepatah kata pun dari keduanya. Sepertinya mereka hanya ingin menikmati pelukan lembut itu beberapa saat sebelum keduanya kembali pada aktifitas masing masing dan tak tahu lagi kapan akan bertemu.
Jika di fikir fikir keduanya selalu bertemu secara tak sengaja tanpa adanya janji yang telah di rencanakan.
"Mas... Aku mau ke kantor. Mbak Dina sudah menunggu di sana." Dhira mendorong pelan tubuh Tama hingga membuatnya lerlepas dari pelukan hangat itu.
Tama kembali melumat bibir Dhira dengan mesra, menarik pinggang Dhira untuk mengikis jarak di antara mereka. Lagi lagi Dhira tak mampu menolak setiap kali bibir Tama melumat bibirnya, mencecapnya dengan penuh kelembutan.
"Aku harus pergi mas." Sembari mengatur nafasnya yang tampak terengah engah.
Tama terkekeh geli melihat ekspresi wajah Dhira yang kekurangan oksigen akibat lumatan panjangnya.
"Baiklah, aku antar sampai bawah." Tama merapikan jasnya yang tak kusut sedikitpun.
"Enggak usah mas, aku bisa sendiri. Aku bukan anak kecil lagi," sahut Dhira sekenanya sembari berjalan keluar dari kamar itu.
Tama tak menyahut, ia terus mengekori Dhira yang berjalan sedikit cepat dari langkah biasa. Di luar kamar tampak Angga telah berdiri dengan kepala yang sedikit menunduk memberi rasa hormatnya pada Dhira.
Entah kenapa Dhira sepertinya ingin menggoda sekretaris kakak tampannya yang juga tak kalah tampan dengan Tama.
Dhira menghentikan langkah nya dan menatap Angga dengan senyuman, "Eh ada Angga... Enggak capek berdiri terus?" tanyanya santai.
Angga menggelengkan kepala nya, "Tidak Nona," sahut Angga sopan.
"Apa kamu sudah punya pacar, Angga?" Dhira menatap Angga dengan penuh selidik.
Angga dan Tama mengerjitkan dahinya bersamaan saat mendegar pertanyaan Dhira yang di anggap aneh itu.
"Kenapa kamu menanyakan itu? Kamu mau menawarkan diri untuk menjadi pacarnya?" Tama mengetatkan rahangnya dengan pandangan mematikan.
Dhira memutar mata malas, ia tak ingin berdebat dengan pria dingin itu. Ia hanya ingin menggoda Angga saja.
"Cari lah pasangan Angga, sebelum tuan mu ini tak memberimu kesempatan untuk menemukan pendamping hidup mu," sambung Dhira terkekeh.
"Maaf Nona, saya tidak tertarik untuk memiliki pasangan saat ini. Hidup saya akan saya dedikasikan untuk tuan Muda saja," ucap Angga cepat membuat Tama tersenyum bangga.
"Hahaha... jangan gila deh kamu, apa kamu mau mati konyol tanpa ada pasangan dan keturunan. Atau kamu dan tuan mu ini ada hubungan gelap ya?" Dhira memicingkan matanya melirik bergantian pada Angga dan Tama.
Tama membulatkan matanya sempurna, Dhira telah berani menudingnya yang bukan bukan seperti ini, memangnya Tama dan Angga penyuka sesama jenis?
"Maaf nona, bukan seperti itu. Saya hanya enggak mau hidup saya menjadi hancur hanya karena cinta." Angga kembali menjawab dengan ekspresi datar tak terbaca apa yang sedang di rasakannya.
Hahaha... Dhira kembali tertawa mendengar jawaban yang lugas dari Angga.
"Sudah lah, kamu hanya enggak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Aku rasa, kamu tipe orang yang mudah untuk menjadi bucin saat sedang kasmaran." Dhira menatap dari ujung rambut hingga ujung kaki Angga, kemudian ia terkekeh sendiri.
"Bucin?" tanya Tama yang sedikit bingung mendengar kata yang di lontarkan Dhira.
Dhira mengangguk, "Iya, bucin," sahutnya santai.
"Bucin itu apa? Sayuran atau buah buahan?" Tama bertanya dengan wajah serius dengan dahi yang mengkerut.
"Hahaha... kalian berdua sama konyolnya." Dhira tertawa mengejek hingga air matanya keluar dari sudut matanya.
"Ya sudah, aku mau pergi. Bye bucin bucin tampan." Dhira melambaikan tangan kanannya pada Tama dan Angga kemudian pergi meninggalkan kamar termewah di hotel itu.
'Kenapa wanita mu terlihat begitu aneh tuan?' batin Angga mendesah kesal.
"Apa kamu tahu apa itu bucin, Angga?" tanya Tama yang tiba tiba penasaran dengan kalimat yang terlontar dari mulut perempuan yang di cintainya itu.
Angga menggeleng cepat, ia pun tak tahu apa itu bucin yang dimaksud oleh Dhira.
'Aku rasa bucin itu hewan sejenis kucing yang berbulu lembut itu tuan,' ucap Angga hanya dalam hati, karena ia pun takut jika ternyata dugaannya salah.