Kekecewaan

1013 Kata
"Kalau aku bertanya, tolong di jawab Dhira!" ujar Tama dengan nada kesal . Dhira masih tak menyahut, seolah tak mendengar perkataan Tama yang mendominasi, dengan santainya Dhira menyandar kan tubuhnya di sofa yang sedang ia duduki memiringkan sedikit kepalanya agar tak terlihat oleh Tama. "Dhira? Jawab!" Tama membentak Dhira dengan nada tinggi. Dhira masih bereaksi sama bahkan saat ini ia mencoba menutup kedua telinganya seraya memejamkan mata. "Aaawww..." Dhira meringis saat merasakan tangan besar Tama mencengkram lengan kanannya. "Jawab kata ku." Tama menatap tajam matanya dengan rahang yang mengeras. Dhira merasakan ketakutan yang luar biasa saat menatap sorot tajam mata Tama dengan wajahnya yang memerah. "Lepasin mas, sakit...," ucap Dhira lirih menahan rasa sakit akibat cengkaraman tangan Tama. "Kamu tahu kan aku nggak suka penolakan," sahut Tama tegas. "Kenapa tadi kamu bilang nggak mau? Ha? Jawab?" Dhira menangkap jelas amarah Tama yang terpancar dari wajahnya, menatap Dhira tajam membuat ia semakin takut berada di sampingnya saat ini. "Bagaimana bisa aku menikah dengan pria kasar sepertimu mas, pria egois yang baru ku kenali beberapa hari terakhir, pria yang selalu memaksakan kehendaknya tanpa memikirkan perasaanku. Aku bukan bonekamu mas, bahkan di saat seperti ini pun kamu terlihat sangat mengerikan. Aku nggak merasa berbuat salah kenapa kamu menghakimiku dengan keegoisanmu? Jangan hanya karena kerja sama perusahaan kita lalu kamu semena mena denganku. Aku bukan boneka yang bisa kamu mainkan sesuka hati. Lepaskan aku mas, aku benci kamu lepaskaaan..." Dhira sedikit berteriak dengan kekesalan dan rasa sakit hati meluapkan semua nya menumpahkan bendungan air mata yang deras membasahi pipinya. Air mata yang tak bisa lagi ia bendung di kedua mata indahnya. Tubuh Dhira bergetar saat semua amarah berhasil keluar dari bibir sexi-nya. Tama melepaskan cengkraman tangan nya di lengan Dhira saat melihat tubuh perempuan itu bergetar menangisi dirinya yang tak bersalah ini. Dengan sigap Dhira segera berdiri saat merasa ada kesempatan dan berniat untuk keluar dari rumah mewah itu, tapi gerakannya kalah cepat saat Tama berhasil menarik lembut pergelangan tangan Dhira dan mendaratkan tubuh perempuam itu dalam pelukannya. Tama mendekap erat tubuh Dhira, mencium ujung kepalanya dengan kedua tangan yang melingkar di punggungnya membuat Dhira merasakan kenyamanan saat berada di pelukannya. Dhira yang masih menangis mendorong paksa d**a Tama agar melepaskan pelukannya dari tubuh Dhira. "Lepas kan aku mas... Lepas... Aku nggak mau dekat kamu," ujar Dhira dengan terisak dan mendorong d**a Tama. Dhira terus meronta mencoba menolak pelukan Tama walaupun Dhira merasa ada kenyamanan saat berada di pelukannya tapi ia lebih memilih untuk tetap menuruti egonya. "Lepas mas... le-" Dhira terdiam dan tak bisa berkata kata lagi saat Tama meraup wajahnya dengan lembut, menarik tengkuk Dhira tanpa aba aba mendaratkan ciuman hangat di bibir sexi-nya yang masih bergetar setelah luapan emosi yang ia keluarkan. Dhira merasakan lumatan demi lumatan lembut yang di berikan Tama pada bibirnya, membuat ia merasakan sedikit ketenangan saat berada di dekat Tama. Dhira tersadar dari ketidakwarasannya yang menerima sentuhan dari pria yang baru saja menyakitinya, sebelum ia terbuai jauh oleh kehangatan yang di berikan Tama, Dhira mendorong d**a Tama dengan sisa sisa tenaganya, meronta agar terlepas dari tangan besar yang kini telah melingkar di punggungnya. Walaupun ia sendiri tak memungkiri jika tubuhnya sangat memerlukan sentuhan saat ini, tapi ia lebih memilih untuk mengikuti egonya berbeda seperti saat saat sebelumnya. Dhira terus mendorong d**a Tama sekuat tenaga dengan tetesan air mata yang masih membasahi pipi, merasa bahwa saat ini ia menjadi perempuan bodoh yang mau saja terjerumus dalam permainan yang telah di buat oleh pria dingin seperti Tama . Akhirnya Tama melepaskan ciumannya dari bibir Dhira menatap matanya dengan sinis sebelum Dhira segera berjalan cepat meninggalkan Tama yang masih duduk di sofa yang sama meraup wajahnya kasar. Dhira terus berjalan cepat menuju pintu utama seraya mengahapus sisa sisa air mata yang meninggalkan jejak, langkah Dhira kemudian terhenti saat ia mendengar suara seorang memanggilinya. "Dhira? Kamu mau kemana nak?" Mama Leni berjalan mendekati Dhira. Dhira menundukkan pandangannya seraya menghapus air mata yang masih menetes di sudut matanya. Tak ingin menjelas kan apa yang sebenarnya terjadi pada mama Leni. "Kamu menangis? Ada apa sayang? Apa Tama melukai hati kami nak?" Mama Leni menaikkan dagu Dhira pelan membuat pandangannya kini terfokus pada wajah mama Leni. Dhira menggeleng pelan dan memegang tangan mama Leni. "Maaf ma, Dhira hanya ingin pulang saat ini." Dhira mencium punggung tangan perempuan berhijab itu. Dhira berlalu dari hadapan mama Leni tanpa memberikannya kesempatan untuk bertanya lebih dalam saat ia menyadari kehadian Tama yang telah berdiri di belakang mama Leni. "Biarkan dia pergi ma." Tama memegang pundak mamanya tanpa rasa bersalah. "Kenapa kamu enggak menceritakan yang sebenarnya pada Dhira?" Mama Leni menatapi Tama yang tampak menyesali perbuatannya. "Belum saatnya ma. Aku masih menunggu waktu yang pas untuk menceritakan segalanya." Tama mencium kening sang mama dan pergi untuk masuk ke dalam kamar. Nafas Dhira tampak terengah engah saat tiba di depan pintu pagar, bagaimana tidak? Bayangkan saja ia harus melewati jalan yang cukup luas yang berada di pekarangan rumah mewah milik orang tua Tama, matanya sesekali melirik pada taman mini yang tampak menarik dan sangat menyejuk kan mata, belum lagi ia harus mendapatkan tatapan aneh dari penjaga rumah yang berjaga di ujung pintu pagar seperti seorang pencuri yang baru saja tertangkap basah. Nasib baik masih berpihak pada Dhira saat ia melihat sebuah taxi yang melintasi jalan tak jauh dari rumah Tama, ia segera menghentikan taxi tersebut meminta untuk mengantarkan nya kembali ke perusahaan. Dhira menenangkan diri sejenak di dalam taxi tersebut dalam perjalanan yang memakan waktu kurang lebih tiga puluh menit sebelum tiba di kantornya, membebaskan dadanya menghirup oksigen dengan puas membiarkan emosi yang telah menjalar di tubuhnya terlepas bebas. Perempuan bertubuh ideal itu merasakan kekecewaan pada Tama setelah mendapat perlakuan kasar darinya, tak menyangka bahwa Tama bisa menjadi sekasar itu, padahal ia sendiri tak melakukan kesalahan apapun. Wajar saja jika ia spontan mengatakan tidak saat itu, karena sejujurnya ia memang belum siap untuk menerima lamarannya apa lagi dengan paksaan. Tapi yang anehnya bayangan Tama tak bisa menghilang dari benaknya seakan telah merasuki sebagian dari jiwanya. Sebisa mungkin Dhira mencoba menghilangkan fikirannya pada sosok pria dingin yang selalu bertindak sesuka hatinya tanpa memikirkan perasaannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN