Pergulatan Batin Dhira

1130 Kata
"Kamu yakin enggak mau mas antar pulang?" tanya Arjuna meyakinkan Dhira. "Enggak usah mas, aku sudah minta jemput sama mbak Dina kok. Sebentar lagi dia juga sampai," tolak Dhira secara halus. Dhira merasa perutnya terlalu penuh hingga menyenderkan tubuhnya di sofa. Bagaimana tidak? Arjuna selalu memaksanya untuk menghabiskan makanan yang mereka santap bersama, ia bahkan tak memperdulikan perut Dhira yang seolah akan meletus akibat kekenyangan. "Dhira." Arjuna menatap Dhira penuh arti. "Ya?" sahut Dhira sembari membalas tatapan Arjuna. Tak ada jawaban dari Arjuna. Tapi tubuhnya perlahan mendekat pada Dhira, hingga jarak mereka hanya tersisa beberapa senti saja. Dhira merasa gugup setiap kali wajah Arjuna begitu dekat dengannya. Arjuna membelai lembut pipi mulus Dhira, di salipkannya rambut panjang itu ke telinga Dhira. Perlahan ia menarik dagu Dhira, matanya telah tertuju pada bibir sexi calon istrinya itu. Perlahan semakin mendekat, bahkan Arjuna bisa merasakan hembusan napas Dhira yang mulai tak beraturan. Arjuna memiringkan sedikit wajahnya untuk mendapatkan posisi ternyaman. Saat ia akan mendaratkan bibirnya di bibir Dhira, tiba tiba Dhira mendorong cukup kuat d**a Arjuna hingga membuatnya menjauh dari wajah Dhira. "Maaf mas, aku harus pulang. Sepertinya mbak Dina telah sampai." Dhira segera berdiri dan berjalan dengan cepat keluar dari ruangan Arjuna. 'Shit... Gagal lagi,' guman Arjuna. "Hati hati sayang." Arjuna sedikit berteriak membuat Dhira yang baru saja membuka pintu berbalik dan melempar senyum keterpaksaannya. *** "Huh, hampir saja. Maaf mas Arjuna, aku belum siap membiarkan mu merasakan bibir ku. Aku takut akan kecewa, cukup pria gila itu yang merasakan bibir ini." Dhira merasa cemas hingga saat ini jantungnya masih berdebar cepat. Berhubung mbak Dina belum sampai, Dhira memutuskan untuk menunggu di cafe yang berada di seberang kantor Arjuna, sekalian untuk menetralkan kembali jantungnya. Saat Dhira akan memasuki cafe tersebut, Dhira merasa tangannya tengah di tarik seseorang dari belakang, hingga membuatnya menoleh. "Hai cantik, godain abang dong." Pria itu menggoda Dhira. "Vero. Ngapain kamu disini?" tanya Dhira sembari melepaskan tangannya dari Vero. "Memangnya kenapa? Ini kan tempat umum. Jadi bebas kan untuk siapa saja berkunjung." Vero terkekeh melihat reaksi Dhira yang begitu menggemaskan disaat sedang kesal seperti itu. "Ah, terserah." Dhira kembali melangkahkan kakinya hingga duduk di kursi dalam cafe tersebut. Vero tersenyum bahagia melihat Dhira yang berjalan meninggalkannya, lalu menyusul untuk duduk di sebelah Dhira. "Galak amat sih neng." Vero menyenggol lengan Dhira sembari terkekeh. "Ish... aku lagi malas," sahut Dhira ketus. "Kenapa? Apa dia yang buat kamu seperti ini?" Vero menatap Dhira dengan alis yang naik turun. Dhira menatap sinis pada Vero lalu mengerjitkan kedua bahunya. "Sama aku saja, aku jamin hati kamu di penuhi bunga terus setiap saat." Vero terus menggoda Dhira untuk menghibur perempuan yang selalu ada di hatinya. Dhira memutar mata malas, entah kenapa akhir akhir ini Vero mendadak jadi percaya diri seperti ini. "Dhir, kasih aku kesempatan. Kamu masih menjadi satu satunya perempuan di hati aku." Menatap Dhira penuh harap. Dhira kembali menatap Vero sinis, ia sungguh tak suka melihat wajah penuh harap pria yang pernah ada di hatinya. "Becandanya enggak lucu," sahut Dhira ketus. Vero menghela nafas kasar, ia benar benar serius saat ini. Hatinya sudah tak bisa menutupi keinginannya untuk menjadikan Dhira sebagai istrinya. "Aku serius Dhira. Apa perlu aku belah d**a ini untuk menunjukan sama kamu?" Vero meyakinkan dengan wajah serius. "Klasik banget deh." Dhira berdengus kesal. "Jadi? Mau yang modern gitu? Mau aku kirimkan bunga setiap hari? Atau coklat sama boneka?" Melipat kedua tangannya di depan d**a. "Vero... cukup. Aku butuh minum, haus dengerin kamu dari tadi ngoceh," sahut Dhira yang merasa lelah mendengar perkataan Vero yang seakan tak gentar untuk mendapatkannya kembali. Vero terkekeh, ia sampai lupa memesan minuman serta camilan untuk mereka berdua. Tak lama minuman serta camilan sudah tiba di hadapan mereka. Dhira langsung menyedotnya hingga menyisakan setengahnya. "Kamu enggak bawa mobil?" tanya Vero. Dhira hanya menggeleng tanpa bersuara. "Aku yang antar ya?" Vero menawarkan diri. "Kamu enggak kerja?" tanya Dhira balik. "Enggak, kebetulan aku hari ini turun ke lapangan jadi enggak terlalu sibuk lah," jawab Vero jujur. "Boleh juga. Aku telfon mbak Dina dulu, kasian sih dia bolak balik gitu jadinya kan." Dhira mengambil handphonenya dan mencari kontak mbak Dina. "Aku rela kok antar jemput kamu setiap hari. Rela banget malah." Kembali menggoda Dhira hingga membuat Dhira terkekeh melihat kejahilan Vero yang tiada henti. Dhira menempelkan benda pipih itu ke telinganya tanpa menghiraukan perkataan Vero padanya. *** Untuk pertama kalinya setelah bertemu kembali, Vero membawa Dhira di dalam mobilnya. Moment yang sangat ia rindukan setiap saat, kebersamaan yang masih terekam jelas walau telah berlalu beberapa tahun. "Dhira," sapa Vero dengan pandangan yang terfokus ke jalan. "Emm," Dhira menyahut dengan berdehem. "Apa kamu bahagia menjalani hubungan dengan calon suami kamu?" tanya Vero serius. Dhira menghela nafas perlahan, ia begitu tahu seberapa seriusnya Vero mendengar dari intonasi suaranya. "Aku masih mencoba membangun rasa cinta untuknya. Aku hanya ingin menerima cintanya yang tulus itu." Dhira menatap jalanan dari jendela mobil di sampingnya. Vero terdiam sesaat, ia merasa jika Dhira sedang merahasiakan sesuatu yang sulit untuk di ungkapkannya. "Tapi aku enggak melihat raut bahagia di wajah kamu Dhira. Kenapa harus berpura pura?" Vero menoleh ke arah Dhira yang masih asik menatap jendela sampingnya. "Sok tahu deh kamu," sahut Dhira sekenanya. Vero terkekeh, akhirnya sikap ketus Dhira kembali lagi. Entah kenapa dia sangat benci melihat raut sedih mantan kekasihnya itu. "Kembali lah bersamaku, aku masih sangat mencintai mu, Dhira," ucap Vero yakin. Lagi lagi Dhira memutar matanya malas, ia menoleh pada Vero yang pura pura tak melihatnya. "Siapa suruh dulu kamu pergi selama empat tahun tanpa kabar apa pun ke aku?" Dhira sedikit berteriak, emosinya kembali terbakar kala mengingat saat saat kepergian Vero. "Tapi aku su-" "Andai dulu kamu kasih kabar, mungkin saat ini cuma kamu yang masih ada di hati aku. Dan saat ini aku lah perempuan yang paling bahagia menerima lamaran dari orang yang dicintai serta mencintai aku," ucap Dhira lirih, dengan mata yang mulai berkaca kaca. Vero hanya terdiam, ia tak ingin menyangkal apa yang dikatakan Dhira. Memang benar kata Dhira, semua ini salah dirinya yang tak sekali pun memberi kabar pada sang kekasih. "Kamu tahu Vero? Semenjak kepergian kamu, aku menutup hatiku rapat rapat untuk pria manapun hingga aku benar benar bisa melupakan kamu. Empat tahun bukan waktu yang singkat. Setelah aku berhasil melupakan kamu, seorang pria muncul di hidup aku menyatakan cintanya dengan cara yang berbeda. Aku mulai mencintainya, bahkan dia sudah bisa menggantikan posisi kamu di hati aku. Tapi apa yang aku terima? Pengkhianatan di depan mataku, tepat setelah aku menolak lamaran dari kamu. Semenjak saat itu ku putuskan untuk menerima perjodohan dari orang tuaku. Apa kamu pikir aku bahagia Ver?" Lelehan air bening telah mendesak keluar dari pelupuk mata indahnya, hingga membasahi pipi mulus Dhira. "Maafkan aku Dhira, semua memang salah aku." Hanya itu yang dapat Vero ucapkan. Sungguh, ia menyesal telah meninggalkan Dhira hingga membuatnya seperti ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN