Sikap Irfan

1282 Kata
Irfan memutuskan menunggu Ita di dalam mobilnya. Ia menghabiskan waktu sembari menunggu dengan mengobrol ringan bersama Winy—sang istri. “Bang, kamu nggak ke dalam? Mana tahu kak Ita sudah selesai?” Irfan menggeleng, “Biarkan saja. Nanti kalau sudah selesai, bu Eni pasti akan ke sini memanggilku.” Ternyata benar kata Irfan, tidak lama wanita bernama Eni itu keluar dari rumah dan berjalan menghampiri mobil Irfan. Melihat ada yang menghampiri, Irfan segera membuka pintu mobilnya dan keluar dari sana. “Bagaimana, Bu?” tanya Irfan. “Sudah selesai,” jawab Eni. “Bagaimana keadaan Ita? Apa terkilirnya parah?” Mendengar pertanyaan Irfan, sang tukang urut hanya diam saja. Jika ia menjawab tidak, maka ketahuan kalau Ita berbohong. Tapi jika ia katakan iya, maka ia sendiri yang berbohong. Irfan memerhatikan raut wajah Eni. Pria itu pun bisa menebak apa yang sudah terjadi. Irfan menghela napas lalu mengeluarkan selembar pecahan seratus ribu. “Ini ongkos pijatnya,” ucap Irfan seraya memberikan uang tersebut kepada Eni. Eni menerima, “Terima kasih.” “Sama-sama, Bu. Tolong sampaikan pada Ita, kami menunggunya di mobil. Suruh dia berjalan kaki saja ke sini. Kalau ia tidak mau, maka saya dan istri saya akan meninggalkan ia di sini,” ucap Irfan. “Baiklah, saya masuk dulu.” Eni menekan langkah kembali masuk ke dalam rumahnya. Di salah satu sofa tamu, Ita sudah duduk menunggu kedatangan sang mantan suami. Ia sudah siap untuk berakting lagi. “Mana Irfan?” tanya Ita. “Kata Irfan, kamu disuruh jalan kaki sendiri menuju mobil. Ia tidak mau menjemput ke sini. Kalau kamu tidak mau, ia akan meninggalkan kamu di sini.” “Apa? Kenapa Irfan bersikap seperti itu? Pasti ini karena pengarus istrinya itu.” “Ita … Kalau kamu mau dengar saran ibu, sebaiknya kamu biarkan saja Irfan dengan istri barunya. Bukankah kamu bisa melanjutkan hidupmu menjadi lebih baik? Kamu masih muda, juga sangat cantik. Pasti dengan mudah kamu bisa mendapatkan pengganti Irfan. Ibu yakin itu.” “Kalau tidak mengalaminya sendiri, tidak akan mengerti, Bu. Aku dan bang Irfan itu sudah lama bersama. Sudah ada Kenzo di antara kami. rasanya sangat sulit untuk mencari penggantinya lagi.” Ita tertunduk. Lagi-lagi ia berpura-pura. Eni menghela napas, “Semuanya terserah kamu saja, Ta. Sebagai orang yang sudah lama mengenal kamu, ibu hanya bisa memberi saran seperti itu. Kamu jangan menyakiti dirimu sendiri dengan terus memikirkan Irfan. Ya sudah, sebaiknya kamu segera ke mobil mereka. Atau mau ibu panggilkan ojek saja?” “Katakan pada mereka, aku pulang pakai ojek saja. Oiya, ongkos pijatnya apakah sudah dibayar Irfan atau belum?” “Sudah, Irfan sudah membayarnya.” Ita mengangguk, “Tolong sampaikan pada Irfan kalau aku pulang pakai ojek saja, Bu.” “Baiklah ….” Eni kembali ke luar rumah dan menghampiri mobil Irfan. “Bagaimana katanya, Bu?” tanya Irfan. “Ita bilang, ia pulang dengan ojek saja. Nanti biar ibu panggilkan tukang ojek untuk Ita.” “Ya sudah, kalau begitu saya pamit dulu ya, Bu. Assalamu’alaikum ….” “Wa’alaikumussalam ….” Irfan tersenyum sebelum menekan gas dan meninggalkan kediaman tukang pijat langganan Ita itu. “Bang, kok kamu tega sih meninggalkan kak Ita begitu saja di sana?” tanya Windy di tengah-tengah perjalanan mereka. “Lalu kamu maunya apa, Sayang? Mau aku ke sana terus menggendong Ita ke dalam mobil? Lalu nanti di rumahnya, ia memintaku kembali menggendongnya ke dalam kamar. Apa seperti itu yang kamu inginkan?” tanya Irfan. “Bukan begitu maksud aku, Bang.” “Lha, terus bagaimana? Sayang, aku tadi sudah tanyakan pada bu Eni tentang kondisi Ita. Bu Eni hanya diam saja dan dari raut wajahnya jelas terlihat kalau ia ragu untuk menjawab. Itu artinya Ita berbohong. Aku yakin Ita tidak kenapa-kenapa. Ia hanya memanfaatkan keadaan dan ingin membuat hatimu sakit. Harusnya kamu peka.” Windy tampak berpikir, “Kok kamu kepikiran ya?” Irfan menghela napas. Ia tidak memberikan jawaban apa pun atas pertanyaan istrinya itu. Di tempat berbeda, seorang pria tengah memikirkan sesuatu. Putra … Ya, pria itu adalah Putra. Ia adalah ayah kandung dari fandy—mantan suami Windy. Pria yang dulu pernah menyakitinya. Pria yang dulu pernah menyia-nyiakan ketulusan cinta dan pengorbanan Windy. Pria yang sempat melakukan kekerasan terhadapnya. Pertemuan sesaatnya dengan Windy tadi, cukup membekas di hatinya. Ada segurat rasa penyesalan. Menyesal karena dulu ia telah menyia-nyiakan wanita yang begitu tulus untuknya. Kini, Windy sudah menemukan pengganti. Ia pun tampak cumup bahagia. Windy terlihat sangat cantik dalam balutan gaun brukat warna senada dengan suaminya. Namun tidak itu saja yang membuat hati Putra terusik. Tapi ia juga teringat dengan bocah kecil yang meminta sesuatu kepadanya. Dengan suara cadel khas bayi satu tahun, bocah kecil itu meminta ambilkan sesuatu kepadanya. Siapa bayi kecil tadi? Kenapa aku jadi kepikiran? Kenapa rasanya ia tidak asing lagi bagiku. Ah, mungkin hanya perasaanku saja. Tapi aku benar-benar kepikiran terus dengannya. Putra membatin. Seiring dengan pikirannya, mobil yang ia kendarai pun berhenti di halaman sebuah rumah. Halaman yang luas milik ke dua orang tuanya. Ya, semenjak ia keluar dari rumah sakit jiwa dan semenjak ia kembali menjalani aktifitasnya seperti biasa, Putra memilih untuk tinggal bersama orang tuanya. Ia merasa sangat kesepian apa bila tinggal sendiri di rumahnya. “Assalamu’alaikum …,” ucap Putra. “Wa’alaikumussalam … Sudah pulang, Nak? Kok cepat sekali?” tanya sang ibu—Santi. “Iya, Ma. Ma, tadi aku ketemu seseorang di pesta,” ucap Putra. Pria itu mendudukkan bokongnya di atas salah satu kursi tamu rumah orang tuanya. “Siapa?” “Coba mama tebak siapa?” “Jangan main tebak-tebakan, Putra. Mama ini sudah tua, otak mama sudah nggak sampai main tebak-tebakan seperti itu.” Putra terkekeh, “Mama ini ada-ada saja.” “Habisnya kamu itu aneh. Masa mama disuruh nebak-nebak. Mau mama buatin teh hangat?” “Nggak usah, Ma. Tadi di sana Putra banyak minum minuman manis.” “Ketemu sim anis juga nggak di sana?” goda sang ibu. “Iya,” jawab Putra, singkat. “Oiya? Kenalan nggak? Siapa namanya?” Putra tersenyum kecil, “Tadi di sana aku ketemu dengan Windy, Ma. Dia tambah cantik, tapi sayangnya ia tidak datang sendiri. Sudah ada yang menggandeng tangannya.” Santi menghela napas. Ia menghampiri putranya. Jauh dalam lubuk hatinya, Santi juga memiliki rasa bersalah terhadap Windy. Bagaimana tidak, ketika Windy butuh dukungan dan kasih sayang, ia malah membela mati-matian kelakukan b***t sang anak. Ia malah semakin menyudutkan Windy dan menghina wanita itu. Kini semua kelakuan masa lalu Santi, membuat rasa penyesalan yang mendalam di hatinya. “Putra, kamu jangan pikirkan Windy lagi. Mama tahu kalau kita semua sudah pernah membuat kesalahan besar terhadapnya dan sekarang ia sudah hidup bahagia dengan pilihannya. Kamu harus memulai hidupmu yang baru, Nak. Biarkan Windy dengan hidupnya dan jangan usik dia.” “Aku tidak pernah berniat mengusik hidup Windy, Ma. Tapi entah kenapa masih ada yang mengganjal di hati ini.” “Apa kamu masih mencintainya?” “Entahlah … Yang pasti aku merasa sangat bersalah dan berdosa. Aku selama ini sudah menyia-nyiakannya dan sekarang aku baru merasakan rasa sakit kehilangan. Aku kehilangan Nurul dan juga wanita sebaik Windy.” “Nurul sudah tenang, jangan ungkit lagi tentang dirinya.” Putra menghela napas, “Ma, aku mau ke kamar dulu. Aku mau istirahat.” Santi mengangguk, “Pergila, Nak. Istirahatlah karena besok kamu harus kembali bekerja. Lupakan semua masalah dan masa lalu. Mama yakin, akan ada terang dibalik semua kegelapan ini. Kamu pasti akan mendapatkan kebahagiaanmu suatu saat nanti. Sudah cukup kita sedih-sedihnya selama ini.” “Aamiin … Makasih, Ma. Aku ke kamar dulu ya ….” Santi tersenyum. Ia membiarkan putranya menekan langkah menuju kamarnya dan meninggalkan dirinya seorang diri di ruang tamu rumah itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN