Irfan tampak bingung. Apa yang ia dengar barusan dari Ita, cukup membuatnya berpikir keras. Awalnya Irfan mengira kalau Ita hanya mengada-ngada, tapi dari tutur kata wanita itu Irfan jadi yakin kalau Ita sama sekali tidak mengada-ngada.
“Ada apa, Pak Irfan?” tanya salah seorang rekan pria itu.
“Ah, tidak apa-apa, Pak. Oiya, bisa kita sambung lagi pembicaraan kita lain waktu? Ada hal yang sangat penting yang harus saya selesaikan segera.”
“Boleh … Lagi pula saya sudah setuju dengan desain dan apa yang pak Irfan tuturkan tadi. Sebaiknya pak Irfan langsung buatkan kontraknya saja. Nanti setelah kontraknya selesai, kita bisa bicarakan lagi untuk proses penanda tanganan kontrak dan metoda kerja.”
“Baik, Pak. Terima kasih atas perngertiannya.” Irfan mengulurkan tangan. Ia menyalami kliennya lalu pergi beranjak dari tempat yang ia gunakan sebagai tempat pertemuan.
Sesampai di tempat parkir, Irfan masih saja memikirkan apa yang baru saja ia dengar dari Ita. Tidak masuk akal baginya, tapi Ita sangat meyakinkan.
Irfan segera mengambil ponsel, berniat menghubungi Windy—istrinya. Namun ketika nomor ponsel Windy sudah terpampang di layar ponselnya, Irfan pun mengurungkan niat.
Sebaiknya aku segera pulang dan aku tanyakan langsung pada Windy. Menghubunginya itu bukanlah solusi yang baik, batin Irfan.
Irfan pun akhirnya masuk ke dalam mobilnya dan melajukan kendaraan roda empat itu menuju kediamannya.
Sesampai di rumah, Irfan medapati Mentari tengah bermain di depan rumah bersama dia orang teman perempuan sebayanya. Gadis kecil itu langsung menghampiri sang ayah sambung.
“Papa …,” ucapnya seraya mengulurkan tangan.
Irfan membalas uluran tangan Mentari lalu mendaratkan sebuah ciuman manis di puncak kepala putri sambungnya itu.
“Umi ada?” tanya Irfan.
“Ada, Pa. Umi ada di dalam.”
“Papa mau menemui umi dulu ya … Mentari baik-baik mainnya sama teman-teman.”
“Iya, Pa.”
Irfan masuk ke dalam rumah. Ia langsung disambut hangat oleh sang istri.
“Sudah selesai urusannya, Bang?” tanya Windy. Ia mendekat, mengulurkan tangan lalu mencium punggung tangan suaminya dengan takzim.
“Windy, bisa kita bicara sebentar?”
Windy terkejut mendapati sikap sang suami yang terkesan dingin. Tidak biasanya Irfan bersikap seperti itu kepadanya.
Tanpa menjawab pertanyaan sang suami, Windy pun mengikuti langkah kaki Irfan masuk ke dalam kamar.
“Ada apa, Bang?” tanya Widy dengan nada selembut sutra.
“Apa yang sudah kamu lakukan pada Kenzo?” tanya Irfan sedikit ketus.
Windy sekarang tahu kenapa sikap suaminya berubah kepadanya. Windy yang tengah hamil muda lalu mendudukkan bokongnya di tepi ranjang. Ia menghela napas.
“Jadi benar kamu sudah menampar Kenzo?” tanya Irfan lagi sebab ia tidak menerima jawaban apa pun dari sang istri.
“Bang, semua ini hanya kesalah pahaman. Aku sadar aku salah dan aku minta maaf atas hal itu. Tapi harusnya kamu bertanya, kenapa aku tega melakukan hal itu. Tapi kini kamu seolah menginterogasi.”
“Apa pun alasannya, apa pantas seorang ibu menampar putranya dengan sangat keras? Apa lagi Kenzo itu baru datang ke sini. Apa kamu tidak berpikir, mentalnya pasti akan rusak. Windy, kamu itu ibu sambungnya. Secara tidak langsung, pasti ada rasa kecewa di hati Kenzo pada dirimu. Dengan apa yang sudah kamu lakukan hari ini, itu akan semakin membuatnya tidak menyukaimu.” Intonasi bicara Irfna sedikit keras dan tegas.
Windy kembali menghela napas, netranya berkaca-kaca, “Bang, aku tahu. Aku juga minta maaf akan hal itu. Aku ini hanya wanita biasa, Bang. Aku juga sedang hamil muda, jadi wajar emosiku naik turun.”
“Jadi kamu menganggap wajar sikapmu yang sudah melakukan penganiayaan kepada Kenzo?”
“Bukan begitu maksud aku, Bang. Tolong mengertilah … Kalau kamu bersikap seperti ini terus, yang ada kita akan bertengkar setiap harinya. Aku tahu Kenzo itu anakmu dan ia sekarang juga adalah anakku. Tapi apa pantas seorang anak menghina ibunya dengan penghinaan yang sangat keji? Seolah aku ini adalah sampah busuk yang tidak pantas untuk hidup.”
“Apa maksud kamu?”
“Kenzo sudah menghinaku, Bang. Bukan hanya sekali, tai berkali-kali. Awalnya aku masih membujuknya dengan lemah lembut, tapi pada akhirnya aku menyerah dan tanpa sadar aku menamparnya.”
“Tapi tetap saja apa yang kamu lakukan pada Kenzo itu tidak bisa dibenarkan, Windy! Sekarang di mana dia?”
“Ada di kamarnya,” Windy tertunduk lesu.
Irfan tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, segera meninggalkan Windy dan bertolak ke kamar Kenzo.
Windy terhenyak di dalam kamarnya. Lagi-lagi, wanita yang sudah puas dengan asam garam air mata selama ini, akirnya memuntahkan lahar dinginnya. Wanita itu menangisi sikap Irfan yang sangat tidak bijak menurutnya.
Di tempat berbeda, Irfan berjalan mendekati pintu kamar sang putra. Ia mengetuk pintu itu perlahan.
“Kenzo, ini papa, Nak,” ucap Irfan.
Tidak lama, pintu terbuka. Kenzo berdiri di balik pintu dengan wajah memelas seperti dapat tekanan kuat dari seseorang.
“Ada apa?” tanya Irfan.
Kenzo langsung memeluk ayahnya dengan sangat erat. Ia menangis.
Irfan mengajaknya masuk ke dalam kamar, menutup pintu kamar itu dengan rapat dari dalam.
“Kenzo, ada apa?” tanya Irfan lagi.
“Pa, kenapa mama baru itu jahat padaku. Ia sudah menamparku dengan sangat keras. Selama ini mama kandungku sendiri tidak pernah menyakitiku seperti itu,” isak Kenzo. Bocah itu berdrama.
Irfan mengusap lembut kepala putranya,” Kata mama Windy, Kenzo sudah menghinanya, apa benar?”
“Pa, aku ini adalah anak korban perceraian. Jadi wajar saja kalau aku masih belum suka pada mama baru itu. Lagi pula aku hanya menanyakan di mana papa, lalu ia langsung marah-marah. Katanya kehadiranku di sini sudah merepotkan dirinya. Karena emosi, aku pun mengatakan kalau mama baru itu yang sudah merusak rumah tangga papa dan mama. Apa aku salah, Pa?” Kenzo sangat piawai berbohong dan berdrama. Ternyata didikan dari sang ibu, berhasil merubah kenzo dari bocah pembohong.
Irfan kembali memeluk putranya karena Kenzo menangis tersedu-sedu.
“Pa, maaf kalau Kenzo salah. Tapi pipi Kenzo sangat perih karena sudah ditampar dengan sangat keras oleh mama baru. Ia juga sempat mengusirku dari sini?”
“Mengusir kamu? Maksudnya?”
“Iya, setelah menamparku, mama baru itu mengatakan kalau aku mau tenang, sebaiknya aku segera tinggalkan rumah ini. Kalau aku masih tinggal di sini, maka dia jamin hidupku tidak akan pernah damai di sini. Pa, sebaiknya papa anta raku ke rumah mama Ita lagi. Aku akan sangat tersiksa jika terus tinggal di sini.”
“Sayang … Jangan bicara seperti itu. Papa Akan membereskan semuanya. Kamu tinggal yang tenang di sini. Nanti papa akan bicara sama mama Windy. Yang penting, Kenzo harus jadi anak yang baik. Buktikan pada mama Windy kalau Kenzo itu tidak seperti yang mama Windy pikirkan. Papa yakin kalau Kenzo bisa jadi anak yang baik.”
“Tapi apa papa bisa menjamin kalau mama baru itu tidak akan memukuliku lagi?”
“Papa jamin kalau mama Windy tidak akan berani memukulmu lagi. Sekarang tenanglah … Kenzo sudah makan?”
Kenzo menggeleng, “Kenzo takut ambil makanan. Nanti mama itu malah memarahiku Kenzo lagi.”
Irfan tersenyum, “Mau papa belikan sesuatu?”
Kenzo mengangguk, “Pesankan di gofood saja, Pa.”
“Baiklah, kali ini papa akan pesankan makanan untuk kamu. Tapi besok Kenzo harus makan di rumah ya.”
“Iya, Pa.”
Irfan kembali memeluk putranya dengan sangat erat. Sementara Kenzo tersenyum puas karena ia berhasil menghasut sang ayah.