Kecantikan Hati Niyala

1187 Kata
            “Hai”, sapa Niyala sambil tersenyum manis ke arah Andro.             “Hai, aku kirain masih di kamar? Udah lama nunggunya?” tanya Andro yang duduk di hadapan Niyala yang sedang menutup buku n****+ yang sedang ia baca tadi.             “Nggak, barusan aja kok. Habis shalat magrib langsung turun ke bawah, biar kamu nggak kelamaan nunggu”. Kan baru pulang latihan ya?” ucapan Yala terkesan santai namun terdengar begitu manis di telinga Andro. Perhatian kecil yang membuat Andro senyum-senyum sendiri di buatnya. Memang Andro sempat mengatakan di pesan yang ia kirim bahwa ia akan menemui Yala ketika sudah selesai latihan. Sehingga Yala pun memaklumi kalau Andro mungkin saja kelelahan setelah latihan anggar.             Setelahnya mereka asyik berbincang-bincang sekedar menanyakan aktifitas masing-masing, urusan pekerjaan dan lain sebagainya. Saking asyiknya mengobrol tak terasa adzan isya terdengar berkumandang, Niyala beranjak ke mushola hotel untuk menunaikan shalat isya. Andro yang tak mungkin duduk sendiri berniat untuk menyusul Niyala dan akan shalat berjamaah di mushola hotel ini. Ya ampun, sudah lama rasanya Andro tak menunaikan kewajibannya ini, sesekali ia hanya menunaikan shalat jumat itu pun kadang-kadang saja. Di tengah kesibukannya, kewajiban ini seakan terasa berat bagi Andro. Andro sadar ia sebenarnya semakin jauh dari nilai-nilai agama, ia berharap gerakannya tidak terlihat kaku ketika shalat berjamaah nanti. Tentu saja Yala sebagai makmum bisa menilai gerakan Andro nantinya.             Andro bisa bernapas lega ketika shalat isya tadi ia tak menjadi seorang imam. Kebayang kalau Andro yang jadi imam, ayat-ayat pendek pun bisa saja ia terlupa ketika membacanya. Andro pun tak perlu malu karena ia hanya mengikuti imam dan berlaku layaknya makmum yang wajar. Syukurlah, ucap Andro di dalam hati. Sambil berjalan beriringan Andro menanyakan apakah Yala hendak amkan malam atau tidak. Ternyata keduanya sama-sama sedang lapar. Namun Yala memberi masukan agar mereka tak berjalan terlalu jauh, kalau bisa dekat dari hotel saja sehingga bisa berjalan kaki menikmati pemandangan malam hari ini. Andro pun setuju, kalau tidak salah di dekat hotel ini ada jalan kecil yang biasanya banyak terdapat pedagang kali lima yang berjualan aneka kuliner di malam hari.             Mereka berjalan di tepi jalan bersisian sambil mengobrol. Andro berada di sisi jalan terluar, melindungi agar gadis yang berada di sampingnya tak mengalami kejadian tak mengenakkan selama berada di jalan Jakarta yang luar biasa sumpek, padat dan kadang banyak pengguna jalan yang tak tertib. Sebab sedikit saja kelalaian di jalan bisa menyebabkan cedera. Tak berapa lami, Yala dan Andro sampai ke sebuah jalan kecil yang menjual berbagai macam makanan. Tertata rapi, pedagang kaki lima yang berjejer dari depan jalan sampai ke bagian belakang jalan ini. Setelah menyisiri jalan yang memanjakan mata dan memanjakan indera penciuman ini. Akhirnya mereka berdua berhenti di salah satu warung nasi goreng. Aromanya tercium dari jarak cukup jauh dan menggugah selera mereka. Setelah sebelumnya Yala dan Andro berunding untuk memilih salah satu dari sekian banyak penjual makanan yang ada untuk mereka singgahi.             Yala menanyakan kepada Andro, apakah Andro bisa makan di emperan seperti ini. Bukan makan di tempat makan mewah seperti kebiasaan orang-orang tersohor dan public figure seperti umumnya. Andro yang medengar celotehan Yala hanya tertawa terbahak-bahak dan menganggap omongan Yala itu lucu. Memang sebagian ada orang-orang tersohor yang mungkin anti dengan makan-makanan murah alias makanan pinggir jalan tapi bagi Andro itu tidak jadi masalah. Andro  malah sangat bersyukur ketika tahu Yala mau diajak makan malam dengan makanan sederhana dan di tempat yang sederhana pula. Pernah suatu kali, Andro mencoba mengajak teman wanita yang sempat ia dekati beberapa waktu yang lalu. Ak lain dan tak bukan, teman wanitanya itu sama sekali tak ingin jalan-jalan dan makan di tempat biasa, harus di tempat mahal, malu katanya kalau jalan-jalan dan makan di tempat yang biasa saja. Apa kata teman-teman dan orang yang mengenalnya bila nanti tak sengaja bertemu, ujar teman wanita Andro kala itu.             Sembari menunggu pesanan nasi goreng, Andro dan Yala duduk di meja bagian depan yang berhadapan langsung dengan jalan di depannya. Ketika asyik mengobrol, tiba-tiba ada dua orang anak kecil yang mencuri perhatian Andro dan Yala. Mereka memandangi warung nasi goreng dari kejauhan. Tak begitu jauh, karena Andro dan Yala bisa melihat mereka dengan jelas. Seorang anak laki-laki usia sekitar sepuluh tahun dengan seorang anak perempuan berusia sekiar enam tahun. Mereka seakan ingin mendekat namun terlihat takut-takut. Dari penampilannya, mereka terihat seperti anak-anak gelandangan dan pengemis. Pakaian yang dikenakan compang camping dengan banyak tambalan di kanan dan kirinya. Tak lama mereka seakan mendekat ke arah warung nasi goreng tempat Andro dan Yala menunggu pesanan datang.             “Pak, boleh nggak saya beli nasi gorengnya setengah porsi?”, Kasian adik saya belum makan dari tadi pagi pak. Uang saya cuma ada segini pak” tunjuk anak lelaki tadi sambil memperlihatkan uang recehan dua ribuan dan seribuan logam di genggaman tangan mungilnya. Anak perempuan yang merupakan adiknya, memegang tangan sang kakak sambil menatap penuh harap. Obrolan mereka terdengar dari meja depan tempat Andro dan Yala duduk. Bapak pengaduk nasi goreng tadi hanya diam saja, entah tak mendengar atau pura-pura tak mendengar. Ia sama sekali tak menghiraukan kedua anak kecil tadi yang menatap penuh harap ke arah bapak penjual tadi.             Tak berapa lama, Andro melihat Yala mendekati penjual nasi goreng tadi yang sedang asyik mengaduk butiran nasi goreng yang wangi dan sudah berwarna kecokelatan itu. Yala seperti berbisik dan memberikan kode entah apa kepada penjual tersebut. Setelah Yala kembali ke tempat duduk, kedua anak tadi masih berdiri di dekat bapak pengaduk nasi goreng tadi. Hanya saja, Andro meliha bapak penjual nasi goreng tersebut memberikan tiga bungkus nasi goreng ke arah dua anak tersebut. Terlihat dua anak tersebut kebingungan sekaligus senang karena mendapat bungkusan sebanyak itu karena tadi anak lelaki tersebut mengatakan hanya ingin membeli setengah porsi saja.             Bapak penjual nasi goreng tadi menunjuk ke arah kami, dan kedua anak tersebut menghampiri meja Andro dan Yala.             “Kakak, makasih ya sudah bayarin nasi goreng ini. Bapak penjual nasi goreng tadi bilang, kalau kaka yang sudah membayar makanan ini. Ini uang lima ribu saya, kakak aja ya yang ambil. Kan kami sudah dibelikan nasi sebanyak ini” ujar anak lelaki tadi dengan mata yang berkaca-kaca.             “Nggak usah, ini kamu bawa pulang aja ya. Uangnya disimpan, kamu sekolah kelas berapa?” Namamu dan adikkmu siapa?”             “Nama saya Aan kak, ini adik saya namanya Rumi. Ia kak, saya sekolah kelas tiga sekarang, adik saya belum sekolah kak. Makasih ya, kakak baik banget. Kami belum akan kak mulai dari tadi pagi, ini angnya hasil mulung. Hari ini dapat lima ribu kak”.             “Belajar yang rajin ya, ia sama-sama. Jangan lupa belajar ya ,cepat pulang  ya ini sudah malam. Nanti kalian masuk angin kalau kelamaan di jalan”.             “Ia kak, makasih ya kak. Kami pulang dulu kak” kedua anak tadi mengecup punggung tangan Yala dan Andro kemudian berlalu setelah mengucapkan terima kasih.             Andro terpaku, ternyata gadis yang duduk disampingnya lah yang membantu ke dua anak kecil tadi. Tanpa banyak bicara, tanpa pergerakan yang berlebihan. Yala menyelesaikan masalah yang ada di depan mata, dengan cara santun dan terkesan simpel. Andro, bukankah ini adalah sosok perempuan yang kau cari selama ini. Tak habis rangkaian kata pujian yang mungkin akan di lontarkannya kepada gadis yang ada di hadapannya saat ini.             
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN