"Panggil saja aku Fian," kata Sebastian cepat. Clara menaikkan sebelah alisnya.
"Namamu Sebastian, seharusnya kau dipanggil Tian bukan Fian. Apa kau tidak pandai mencari panggilan ?" ejek Clara. Sebastian menghela napas panjang.
"Justru karena itulah aku menggunakan nama Fian. Coba kau tambahkan huruf 'G' setelah Tian. Jadi apa ?"
"Tiang," jawab Clara polos. Ia tertegun sejenak dan tiba-tiba mendengus tertawa.
"Nah, kau paham 'kan kenapa aku bilang aku mengerti perasaanmu ? Aku juga sama sepertimu sering dibilang tiang listrik. Dan itu menyebalkan bagiku. Kupikir karena kata-kataku kemarin kau pasti tersinggung sekali." Sebastian terlihat sedikit depresi dan menyandarkan dirinya ke sofa.
"Ow, kita senasib kalau begitu." Clara menyunggingkan senyum padanya.
"Tapi, memanggilmu dengan Fian kedengarannya jelek. Aku panggil kau Julien saja. Lebih keren." Clara menyeringai dan tertawa kecil. Sebastian hanya mendengus tertawa mendengarnya.
"Boleh juga," komentarnya.
Sebastian merasa dirinya lebih akrab dengan gadis itu daripada yang ia duga. Clara termasuk gadis yang mudah diajak bicara dan nampaknya ia juga menganggap lelaki itu sebagai teman seperjuangannya.
"Jadi, aku sudah boleh pergi ? Hanya itu 'kan yang mau kau bicarakan ?" Clara menoleh padanya setelah menghabiskan seluruh strawberry shortcake-nya. Sebastian tertegun.
"Habiskan dulu smoothies-mu sambil kita mengobrol. Rupanya menyenangkan ngobrol seperti ini," kata Sebastian.
"Memangnya kau tidak pernah ngobrol ? Ucapanmu seperti orang hutan saja," kekeh Clara.
"Aku tidak punya waktu untuk mengobrol. Sepanjang waktuku hanya kuhabiskan di depan tumpukan kertas. Kebetulan saja aku sedang cuti beberapa hari ini." Sebastian meregangkan tubuhnya dengan malas. Panjang badannya sampai menendang meja di depannya.
"Kau malang sekali. Makanya hidup itu jangan untuk kerja saja. Cari teman dong." Clara mulai menikmati smoothies-nya dengan satu kali sedotan panjang. Sebastian yang melihatnya langsung beranjak dari sofa secepat mungkin dan menarik smoothies Clara menjauh dari bibir gadis itu. Clara terkejut dan memandangnya bingung.
"Aku memang menyuruhmu menghabiskan smoothies-mu. Tapi, jangan secepat itu juga. 'kan kubilang aku mau mengobrol denganmu." Sebastian menyerahkan kembali minuman Clara dan duduk di sampingnya.
"Memangnya aku bilang aku mau mengobrol denganmu ? Aku sedang bekerja, Julien.' Clara menatapnya dengan sebelah alis terangkat.
"Biarkan aku santai sebentar. Anggap saja kau sedang tersesat saat mencari alamat rumahku lagi," kata Sebastian dengan melambaikan sebelah tangannya sekilas.
"Kau pasti orang yang luar biasa sibuk sampai kesepian begini. Rumahmu tidak ada orang ya ?" Clara mengamati sekeliling rumah itu yang sunyi senyap. Sebastian menggeleng.
"Aku tinggal sendiri," jawabnya lirih. Mata Clara membesar seketika.
"Kalau begitu aku seharusnya kembali ke kafe. Kau sengaja memancingku kemari ya karena kau tinggal sendiri ??? Kenapa aku harus percaya padamu sih ?" Clara berdiri dari duduknya dan mengambil tasnya.
Saat ia akan melewati Sebastian untuk menuju pintu keluar, pria itu merentangkan kakinya menghalangi Clara. "Kau mau apa ??? Jangan macam-macam denganku," ancam Clara.
"Siapa yang mau macam-macam denganmu ? Sudah kubilang aku cuma butuh teman ngobrol. Kalau aku berencana macam-macam padamu, harusnya aku tidak memesan makanan dari kafe dan menyiapkan obat bius dalam makanan yang kusiapkan sendiri. Karena itulah aku sengaja memesan makanan dari kafemu, kau pasti tau 'kan kalau aku tidak mungkin meracuninya ? Duduk sajalah sebentar. Cuma ngobrol saja kok susah." Sebastian terus mengoceh sambil melipat kedua tangannya di d**a.
Clara tertegun mendengarnya dan menghela napas panjang. Ia duduk kembali dan meletakkan tasnya. "Apa yang mau kau obrolkan sih ?" tanyanya.
"Apa saja untuk mengusir kebosananku. Kau sudah berapa lama kerja di SweetTime ?" Sebastian menoleh kembali ke arah Clara. "Baru hari ini," jawab Clara cuek dan ia mengambil smoothies-nya lagi.
"Tapi, kenapa kemarin kau yang mengantar ?" kernyit Sebastian. "Temanku itu pemilik kafe SweetTime. Dia minta tolong padaku untuk mengantar pesanan karena kurang karyawan. Kau ini sedang menginterogasiku ya ?" Clara duduk menghadap Sebastian dan mulai mengerutkan keningnya.
"Tidak. Hanya ingin tau saja. Kalau kau ingin bertanya padaku juga tidak masalah. Kujawab kok," dengus Sebastian dengan sedikit tertawa.
"Oke. Aku penasaran apa kerjamu sih ? Kenapa kau bilang kau sibuk sekali ?" Gadis itu mulai menyilangkan kaki dengan santai.
"CEO."
Clara terdiam sesaat dan menggaruk telinganya. "Apa kau bilang tadi ?"
"CEO. Kau tuli ?" Sebastian menyeringai ke arahnya. Clara terlihat tidak percaya.
"Bagaimana bisa kau tidak percaya setelah melihat rumahku yang seperti ini ?" seringai Sebastian semakin melebar. "Kau yakin kau bukan tukang kebun atau pembantu di sini ?" tanya Clara.
Sebastian langsung tertawa mendengarnya. "Apa tampangku kelihatan seperti tukang kebun atau pembantu ? Apa bisa seorang tukang kebun menyuruh pengawal menangkap jambret untuk seorang anak kecil ?"
"Kau jangan mulai lagi deh menyebutku anak kecil," sungut Clara. "Ups, maaf. Aku tidak sengaja." Sebastian mengangkat tangan untuk menutup mulutnya.
"Memangnya kau CEO di perusahaan apa ? Nampaknya kau masih muda." Clara mengabaikan tingkah Sebastian begitu saja.
"Axeil Corp. Tunggu dulu, apa untuk jadi CEO aku harus berumur 40 tahun keatas ???" Sebastian mengerutkan alisnya. "Tidak juga. Tapi, 'kan di film-film biasanya CEO itu tua-tua," kekeh Clara.
"Kau kebanyakan nonton," dengus Sebastian.
"Wah, Axeil Corp itu 'kan terkenal sekali ! Aku baru tau kalau CEO-nya kau." Kali ini Clara tidak menyembunyikan kekagetannya sama sekali.
"Kau jarang baca koran, Clara. Kalau kau sering membacanya, kau akan tau aku ngetop seperti artis Korea," kata Sebastian ringan. Clara memasang ekspresi seperti akan muntah mendengarnya.
"Jadi, kenapa kau membeli rumah semewah ini kalau kau hanya tinggal sendirian ? Apa tidak seram ? Kalau siang mungkin tidak, tapi 'kan kalau malam... lumayan mengerikan..." Clara sedikit bergidik dan memandang sekitarnya.
"Aku tidak separanoid kau. Jadi, aku tidak berpikir macam-macam tentang ada hantu lah atau apapun itu. Aku suka rumah ini makanya aku membelinya. Kenapa ? Tidak boleh ?" Pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Clara. Gadis itu menggeleng langsung. "Tidak. Tidak masalah bagiku. Kalau Sam mendengar kata-katamu, dia pasti akan bilang kau itu boros sekali." Clara menerawang memandang langit-langit yang berhiaskan lampu indah.
"Sam ? Siapa ? Pacarmu ? Gadis sepertimu bisa punya pacar juga ?" tanya Sebastian bertubi-tubi. Nampaknya ia tertarik dengan topik ini hingga semakin mencondongkan tubuhnya ke arah Clara. Gadis itu tidak mundur sedikitpun dan malah melemparkan pandangan sebal ke arah Sebastian.
"Maksudmu apa bilang 'gadis sepertimu' itu ??? Katakan saja kau mau bilang aku cebol lagi, 'kan ???"
"Nah, bukankah itu kedengarannya lebih sopan ? Memangnya kau mau aku memanggilmu si cebol ? Aku menjaga perasaanmu loh. Harusnya kau berterima kasih padaku." Sebastian membelalakkan matanya memandang Clara.
"Baiklah aku berterima kasih, Julien. Oh, kau baik sekali ! Kau mau aku bilang begitu ?" Clara berpura-pura gembira lalu memanyunkan wajahnya lagi hingga membuat Sebastian tertawa.