16. PACARAN?

1984 Kata
Wajah murung Weeby seketika terganti oleh senyuman yang merekah kala bel tanda istirahat baru saja bernanyi-nyanyi. Perasaan kalut dan sebal kepada Marcell langsung pupus begitu saja, kemudian Weeby memutuskan menoleh ke samping. "Uti, ke kantin yuk? Perut gue udah mau meledak nih!" Uti menoleh, menatap Weeby dengan dahi berkerut, "kok meledak? Bukannya belum makan, ya?" Uti menggaruk belakang kepalanya yang sama sekali tidak gatal, perkataan Weeby barusan membuatnya bingung setengah mati. "Iya, gue kan, emang belum makan, makanya gue minta elo nemenin gue ke kantin, lo mau, kan?" Wajah Weeby tampak berbinar, ia sangat yakin kalau Uti akan menyetujui permintaannya ini. "Kalo belum makan, terus kenapa meledak? Aneh banget lo By," cibir Uti dengan bibir yang mengerucut ke depan. "Gue salah ngomong." Weeby hanya menyengir, memperlihatkan gigi putihnya yang berjejer dengan rapi. Menghela napasnya secara gusar, Uti memutar bola matanya, "iya gue temenin, tapi tumben banget lo mau ditemenin gue, biasanya juga sama Kenya dan Netta." "Mereka lagi sibuk, gue juga maunya sama elo," balas Weeby cepat. Uti hanya membalas dengan anggukan kepala, ia lalu ber-oh ria. "Lo nggak malu gitu?" Alis Weeby tampak tertarik ke atas karena pertanyaan Uti barusan, a berpikir sejenak, mencoba mencerna ucapan Uti. Namun Weeby tidak kunjung paham. "Malu? Emang gue malu kenapa?" "Lo nggak mal—" "Gue nggak malu kalo gue pakai kaos kaki yang berbeda," ucap Weeby lagi, memang tadi pagi ia sangat buru-buru dikejar waktu, alhasil Weeby tidak sadar kalau dirinya mengenakan dua kaos kaki yang berbeda, satunya wana kuning dan satunya lagi warna pink. Benar-benar melenceng jauh dari aturan. Apalagi warna yang dikenakan terlihat sangat kontras. "Bukan gitu Weeby!" Uti semakin gemas karena Weeby menyela ucapannya, alhasil hidung mancung milik Weeby ditarik oleh Uti dengan sangat keras hingga wajah Weeby terhuyung mengikuti arah kemana hidungnya ditahan oleh jari jemari Uti. "Ih sakit Ti, hidung gue bisa copot kalo lo ngelakuin kayak gini," kata Weeby dengan bibir yang mayun ke depan, sesekali ia mengusap usap ujung hidungnya yang masih sedikit terasa nyeri. "Ya karena elo motong omongan gue sih, bagaimana gue nggak kesel coba?" Uti lalu membuang napasnya sedemikian rupa, sedetik kemudian ia kembali menatap Weeby dengan malas. "Iya, maksud lo gue nggak malu apaan?" Weeby memutar ke topik awal, saat Uti bertanya dengan pertanyaan ambigunya itu. Uti langsung memilin bibir tipisnya sebelum mengangkat suara, lalu tidak lama setelah itu ia berbicara, "lo nggak malu pergi ke kantin sama gue?" "Ngapain malu sih? Ada-ada aja pertanyaan lo ini," kata Weeby diiringi cekikikan pelan. "Gue kan gemuk, lo nggak takut kena buli gitu kalo temenan sama gue?" "Biasa aja tuh, ngapain malu Ti, gue kan juga sama-sama kayak lo, sama-sama cewek maksudnya. Udalah yuk, gue udah laper banget nih." Bukan alasan Uti melempar pertanyaan seperti itu, ia hanya ingin memastikan saja. Dan sebelumnya, Uti sama sekali tidak akrab dengan Weeby. Saling berbicara pun hanya ketika ada perihal yang benar-benar harus dibicarakan. Uti seketika sadar dari lamunannya, kini ia menatap Weeby dengan raut wajah terkejut, jantungnya masih memburu tak tentu arah. "Woy Ti, kenapa bengong sih?" kesal Weeby lantaran Uti yang asik melamun, sedari tadi ia menyebut namanya pun, Uti sama sekali tidak menggubrisnya. "Eh? Ayo!" Uti setengah gugup, ia langsung bangkit dari duduknya dan berjalan meniggalkan Weeby yang masih duduk di kursi. Melihat gelagat Uti yang menurutnya sangat aneh, lantas Weeby mengerutkan keningnya. Lalu dilanjutkan dengan gelengan kepala kecil. "Uti tungguin gue dong!" Weeby berteriak dengan nyaring, lalu ia mulai mengangkat bokongnya dari kursi. Dahi Weeby lantas bergelombang saat ia hendak beranjak dari kursinya, Weeby sedikit tertahan. Lantas secepat kilat Weeby menoleh ke belakang. Weeby langsung membulatkan matanya dengan lebar, lalu memekik nyaring dan dilanjutkan dengan menggeram kesal. Bagaimana tidak merasa terusik coba? Rok yang kini dikenakannya sudah ternodai dengan permen karet yang menempel. Pantas saja ketika mengangkat bokongnya dari kursi, Weeby sedikit tertahan. "Marcell, elo nggak usah nyebelin satu hari bisa nggak sih, ha?!" Weeby berteriak dengan heboh, menatap Marcell dengan ekspresi garang. Kesabaran yang kini tertanam dihatinya sudah habis. "Sukurin, lo masuk jebakan gue, mampus lo By!" Marcell tertawa terbahak-bahak, tidak heran lagi ketika melihat itu. "Awas aja ya lo, nanti gue sayat kulit lo," ancam Weeby, lalu ia memandangi roknya lagi. Makanan lengket dan menjijikan itu masih ada di sana. "Sekarang juga boleh By," remeh Marcell dengan mulut yang tersenyum lebar. Tidak mau mengurus Marcell lagi, akhirnya Weeby memilih pergi dari kelas, menyusul Uti yang sudah berjalan terlebih dahulu menuju kantin. Sebelum itu, Weeby mencoba melepaskan permen karet yang menempel di rok-nya dengan jijik, namun hasilnya lumayan. Permen karet itu hanya masih sedikit yang tertinggal di sana. Oke, ini membuatnya lebih baik daripada tidak diambil. Itu sangat menjijikan. Ekstra sabar selalu Weeby pupuk pada raganya, walaupun sudah tidak satu bangku bersama lagi, tetap saja Marcell masih bertahan mengganggunya. Sia-sia saja usaha Weeby untuk menjauh dari Marcell, tetapi nyatanya, cowok menyebalkan itu masih sama saja. Berjalan dengan terburu-buru, Weeby akhirnya bisa menyusul Uti. Napas Weeby terdengar sangat memburu. Terasa aneh dengan hal itu, Uti lantas menoleh ke samping dan mendapati Weeby yang sedang menetralisir deru napasnya. "Lo kenapa ngos-ngosan gitu By?" tanya Uti curiga, sembari menatap Weeby dengan raut wajah bingung. "Habis dikejar setan gue," jawab Weeby asal, ia tidak terlalu peduli, kini yang ada dipikirannya adalah segala sifat menyebalkan milik Marcell, tidak hanya itu, Weeby masih saja menetralkan napasnya. Tidak mau memperpanjang masalah lagi, Uti hanya membalasnya dengan anggukan singkat lalu ber-oh ria, ia juga tidak terlalu peduli dengan hal itu. Setelah sampai di kantin, Weeby dan Uti langsung memesan dua piring bakso lava, bakso yang terkenal paling pedas di kantin. Bagaimana tidak? Bakso itu diisi oleh cabai merah yang sangat banyak di dalam dagingnya. Siapa yang memakannya, pasti akan langsung diare. Sementara Marcell dan Uti yang kini berada di kantin, Marcell dan Resti berada di taman belakang sekolah. Mereka berdua duduk dibangku putih panjang dibawah pohon yang rindang. "Res, semenjak lo putus sama pacar lo itu, kenapa elo jadi pendiam kayak gini sih?" Marcell mengerucutkan bibirnya, kesal dengan tingkah Resti yang pendiam akhir-akhir ini. Sekarang mereka berdua sedang berada di taman belakang, bel tanda pelajaran berakhir sudah menggema. "Gue nggak pa-pa," jawab Resti lesu tanpa menoleh pada Marcell, sedari tadi Resti menatap ke arah bawah. Memutar bola matanya secara malas, Marcell kembali berkata, "ah nggak mungkin, lo belum move on, ya?" selidik Marcell curiga, ia tahu jika Resti sedang dalam mode keadaaan tidak baik-baik saja. Diam. Resti tidak menyahut. Tatapannya masih sama, enggan menatap Marcell. Raut wajahnya berubah teduh. Lagi dan lagi karena dicuekin Resti seperti itu membuat Marcell tambah gemas, ia menghela napas panjang. "Res, lo nggak usah sedih gitu, gue kan udah bilang dan lo harus ingat, disamping elo, masih ada gue. Gue akan jagain lo," ucap Marcell meyakinkan, tangannya bergerak, memegang erat telapak tangan Resti, dan dilanjutkan menatap cewek itu dengan tatapan yang penuh kepercayaan. "Lo nggak usah sedih lagi, ya? Move on dari pacar lo, nggak mungkin juga kan pacar lo sekarang lagi sedih kayak lo gini? Gue nggak mau lihat lo murung setiap saat, itu bikin mata gue sakit," ucap Marcell kembali, kini dalam satu tarikan napas. Kata-kata Marcell barusan sungguh tersentuh, spontan Resti mendongak, menatap datar dan meneliti wajah Marcell yang masih setia menatap dirinya. Air mata Resti kemudian lolos begitu saja dari pelupuk mata, tanpa menunggu persetujuan dari Marcell, Resti langsung menyerang, memeluk Marcell dengan erat dari arah samping. Marcell yang belum siap dengan gerakan mendadak dari Resti barusan membuatnya tersentak kaget, namun tidak lama kemudian ia bisa menetralkan tubuhnya. Pelukan yang Resti berikan semakin erat, semenjak itu pula tangis Resti semakin keras hingga cairan bening itu membasahi seragam milik Marcell. Marcell tersenyum tipis, lalu tangannya bergerak dan berakhir dipuncak kepala Resti, sedetik setelah itu ia mengelusnya dengan gerakan yang sangat lembut dan menenangkan. "Kalo lo mau, gue bisa jagain lo Res, lo mau jadi pacar gue nggak?" Marcell melepaskan pelukan yang Resti berikan, lalu tangannya terulur lagi dan menangkup rahang kecil milik Resti. Jempol tangannya bergerak dengan lembut, mengusap jejak air mata yang masih membasahi pipi cewek itu. Marcell tersenyum tipis, menatap Resti dengan ekspresi berbinar. Resti spontan menelan salivanya dengan getir, ia tidak mungkin salah mendengar perkataan Marcell itu. Telinganya masih berfungsi dengan baik. Hanya saja, Resti masih belum percaya. Benarkan Marcell menembaknya? Entahlah, disisi lain Resti masih ingin kembali ke pelukan Gama, namun disisi yang satunya Resti terhipnotis dengan ketampanan yang Marcell miliki, juga kebaikan yang cowok itu berikan. Anggukan kepala kecil kini Resti keluarkan, ia masih tidak mampu berkata-kata, hatinya mendadak menghangat secara tiba-tiba. Marcell memeluknya dengan eratan yang paling kencang. Marcell menunjukkan sederet gigi putihnya yang tertata dengan rapi, sementara Resti masih bersikap datar. Tidak terlalu heboh. "Beneran lo mau jadi pacar gue?" Marcell memastikan, barangkali ia salah menanggap. "Iya, gue mau kok," jawab Resti kemudian, sesaat ia tersenyum kecil. Oke, Resti bertekad ingin melupakan Gama, ia sekarang sudah memilih Marcell. Cowok di sampingnya ini juga lebih tampan dari pacarnya dulu. Ralat, sekarang sudah menjadi mantan pacar. "Asik-asik jos, sekarang gue nggak jomlo lagi," kata Marcell memekik dengan histeris. Tangannya mengepal dan dilanjutkan meninju udara. Seketika senyum ceria Resti langsung terbit, Marcell telah membuatnya tertawa, tingkah laku cowok itu sangatlah lucu menurut Resti, berbeda tiga ratus delapan puluh derajat dari Weeby, dari pandangan Weeby, Marcell adalah cowok menyebalkan super duper tingkat dewa. "Nggak usah alay Cell." Resti kembali terkikik kecil, ia lalu menowel pipi Marcell, sementara Marcell hanya tersenyum semakin lebar. "Gue kan, belum pernah pacaran nih, berarti gue masih amatiran dong. Lo yakin mau nerima gue?" Sekali lagi Marcell memastikan. "Amatir?" "Iya, secara gue kan belum pernah ada hubungan sama cewek, lo yang pertama," balas Marcell cepat. "Nanti lama-lama lo juga jago tuh, awas aja nanti kalo udah jago pasti ninggalin gue pas lagi sayang-sayangnya!" Tatapan Resti kini berubah tajam, menatap penuh mengintimidasi ke arah Marcell. "Tetep aja gue kan nggak pernah pacaran, masih belum jago lah," kata Marcell secara gamblang dan terang-terangan. "Udahlah, nggak usah bahas itu lagi, lagian nggak lo juga kali," balas Resti, seketika ia memutar malas kedua bola matanya. "Betul tuh, Weeby juga belum pernah pacaran." "Weeby?" Alis Resti kembali mengerut dan terangkat ke atas. "Iya, dia juga jomlo tuh, yes ada satu lagi bahan bulian buat Weeby. Gue udah punya pacar, dan dia masih jomlo, bakal seru nih besok." Marcell kemudian mengusap-ysap telapak tangannya sembari membayangkan kejadian besok pagi saat dirinya akan mengganggu Weeby. Resti diam sejenak, diamnya Resti bukan tanpa alasan. Ia hanya heran saja kenapa Marcell tahu kalau Weeby tidak punya pacar, toh bisa saja Weeby tidak mau mengumbar status hubungannya. "Lo tau apa aja dari Weeby?" tanya Resti, ia mendadak saja ingin tahu sejauh apa mereka kenal satu sama lain. "Ah tanyain apa aja, gue udah tau semua tentang cewek nyebelin kayak dia!" Kalau Weeby sampai mendengar perkataan Marcell barusan, bisa saja Marcell kena omelan. Dasar Marcell emang, nggak disaring dulu kalau mau ngomong. Bukannya ia sendiri yang menyebalkan? Bisa-bisanya ia memfitnah Weeby seperti itu. "Benarkah?" Marcell lantas mengangguk mantap. "Makanan kesukaannya spaghetti, minuman kesukaannya jus jeruk, Weeby nggak suka dengan bulu kucing soalnya suka bersin kalo deket-deket dengan hewan itu, artis favoritnya Selena Gomez, dia suka selfie, dia juga suka bunga mawar dan Weeby paling benci dengan sikap gue yang katanya nyebelin." Marcell berkata dengan keras dan menggebu-gebu, begitu lancar. Resti yang mendengar penuturan itu lantas terbengong. Masih belum percaya. "Itu doang?" "Lo mau lagi?" tantang Marcell. "Udah cukup, lo kayaknya hapal banget tuh. Menurut Lllo Weeby cantik nggak Cell?" "Lumayan sih kalo dipandang, kadang gue juga heran kenapa dia kelihatan cantik saat lagi marah-marah," jelas Marcell, suaranya berat, lalu ia spontan memikirkan ekspresi Weeby yang sedang marah nggak jelas pada dirinya. Mengingat itu, Marcell tersenyum miring. "Kenapa lo nggak pacaran sama Weeby aja, kenapa gue?" "Karena gue sukanya sama elo, lagian Weeby belum juga cantik kalo bangun tidur. Kalo gue lihat dia bangun tidur dengan wajah kusut sama rambutnya acak-acakan, gue bakal foto dia dan gue tempel dimading sekolah. Udah pasti tuh dia bakal marah-marah nggak jelas sama gue."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN