Weeby tersenyum kecut, ia tidak habis pikir dengan situasi kali ini. Resti yang salah, kenapa dirinya yang harus disalahkan? Weeby masih mematung di tempat, mencoba memutar otak untuk mencari ide yang layaknya cukup sebagai acuan agar Bu Arum percaya.
"Weeby, ayo buruan keluar, kasih tahu orang tua kamu buat nemuin ibu. Ibu nggak punya waktu lama, satu jam lagi ibu ada urusan."
"Tapi Bu, saya nggak salah, kenapa harus saya yang repot begini? Kenapa nggak Resti? Dia yang salah Bu, bukan saya."
Di tempatnya, kaki Weeby terus menghentak-hentak di lantai, perintah yang terlontar dari bibir Bu Arum sama sekali tidak mau Weeby laksanakan.
"Cukup Weeby, kamu ini kenapa malah bantah perintah ibu terus? Ibu ini udah cukup sabar buat nggak marah sama kamu, dikasih tahu malah ngeyel, buruan keluar!"
Tanpa sadar, Bu Arum yang notabene guru BK paling baik pun sampai marah besar seperti itu. Dengan kilatan api yang memancar disepasang bola matanya, semburat lava yang mendidih siap menyembur keluar, Bu Arum menunjuk ke arah pintu, mengisyaratkan agar Weeby lekas pergi dari ruangan ini.
Weeby masih enggan menurut, ia masih memproses otaknya, tatapannya beralih menatap keramik ruangan BK yang berwarna putih tulang.
Kemudian, binar mata Weeby seketika tercipta, matanya kembali mengerjap, sedetik setelahnya tatapannya segera ia alihkan kembali menatap Bu Arum lamat-lamat. Kali ini disertai dengan sepasang senyuman lebar. Tak mungkiri, tindakan Weeby itu membuat kening Bu Arum kian membentuk garis-garis lurus vertikal.
"Ada apa? Ibu suruh kamu keluar!"
Rupanya, emosi Bu Arum belum kunjung larut. Weeby menarik napas, kemudian mulai mengangkat suara.
"Saya punya bukti lain Bu, saya yakin ibu akan percaya sama saya."
Bu Arum terlihat sedang mengeluarkan napas panjang, sepertinya beliau sudah kesal dengan semua tindakan Weeby.
"Udah, nggak penting. Itu cuma akal-akalan kamu aja supaya mengulur waktu. Saya nggak mau tahu, kamu buruan keluar dari ruangan ini."
Sekali lagi, suara tegas dari Bu Arum menggema ditelinga Weeby. Mati-matian Weeby menahan kesabaran yang sesikit demi sedikit mulai terkikis.
"Nggak Bu, kali ini aja. Beri saya kesempatan Bu, saya yakin ibu akan percaya sama saya."
Setelah memohon dengan suara serak sembari menunjukkan mimik wajah memelas, Weeby tersenyum tipis saat anggukan kepala dari Bu Arum terlihat di depan mata Weeby, ia kemudian mengerjap karena tidak manyangka bahwa Bu Arum mau menurut.
"Oke, saya beri kamu kesempatan. Tapi, kalo bukti kamu nggak bantu apa-apa dan kurang kuat, kamu harus hubungin orang tua kamu sekarang."
Weeby berpikir sejenak, mencerna dengan baik ucapan Bu Arum, setelah berpikir beberapa detik, Weeby langsung mengangguk mengiyakan. Menurut Weeby, bukti yang akan dirinya tunjukkan sangatlah kuat. Dengan percaya dan keyakinan yang dibuat, Weeby pastikan Bu Arum akan percaya.
"Baik Bu, makasih."
"Ya udah, apa yang akan kamu tunjukkan ke ibu?" Bu Arum menyentak, dengan hunusan mata yang setara dengan elang turut ia keluarkan untuk menatap Weeby.
Walaupun agak takut, tetapi Weeby segera fokus pada tujuannya. Sebelum mengangkat suaranya kembali, Weeby memejamkan matanya sesaat. Detik kian berlanjut, Weeby dengan mantap mulai bercerita pada Bu Arum, sementara guru BK itu dengan khidmat menyimak kata demi kata yang terlontar dari bibir Weeby yang tipis.
Setelah cukup lama bergulat dengan ucapan untuk menjelaskan perihal masalah ini kepada Bu Arum, akhirnya usaha Weeby sama sekali tidak mengecewakan, hasilnya berbuah sempurna. Bu Arum percaya pada dirinya.
Weeby tidak bisa menggambarkan perasaan yang kini hinggap didadanya, ia merasa senang dan lega dalam waktu bersamaan. Sekarang, Weeby menyeret langkah kakinya untuk menemui seseorang.
Entah ada perasaan apa yang masuk dan bertengger di tubuhnya, Weeby seolah prihatin dan kasihan dengan nasib Resti. Pasti, cewek itu akan menjadi bahan bulian dan cacian seperti dirinya beberapa saat yang lalu. Mungkin saja lebih buruk dari itu.
Dengan helaan napas yang terdengar gusar, Weeby terus melangkah hingga terseret sampai di kelasnya. Manik mata Weeby menyapu pandangan seisi kelas, teman-temannya sedang menatapnya penuh jijik, bahkan mereka semua sudah berdiri di belakang kelas, enggan berdekatan dengan Weeby.
Tidak bisa mengelak lagi, d**a Weeby terasa sesak menerima kenyataan pahit seperti ini. Tak lama setelah itu, Weeby menelan ludahnya beberapa detik, lalu tatapannya jatuh pada seorang cewek yang berdiri paling depan dibandingkan teman yang lainnya. Ya, dia Resti.
Weeby maju satu langkah ke depan, lalu dia berkata. "Resti gu—"
Belum juga sempat menuntaskan kalimatnya, dengan ucapan dingin dan sarkastis, Resti langsung menyela. "Jangan panggil nama gue, nama gue terlalu berharga buat lo sebut-sebut, dasar cewek nggak tahu malu, ingat woy, lo belum nikah, malah main gitu-gituan. Sampai hamil pula tuh."
Perasaan Weeby semakin mencelos saat kata-k********r dari Resti tertuju untuknya, jantungnya terasa diremas, napasnya sudah tercekat. Perkataan Resti benar-benar sudah kelewat batas, hati Weeby terasa dongkol dan sakit.
Masih mencoba bersabar dan tegar, Weeby kembali memancarkan sorot matanya ke arah Resti, kali ini dengan pandangan lamat-lamat.
"Resti, dengerin gue dulu. Gue cuma mau ngomong sama lo." Weeby seketika memilin bibir bawahnya, ia melangkah maju sekali lagi, bersamaan dengan langkah kaki Weeby, mereka semua juga menjejalkan kakinya untuk mundur.
Weeby sekarang terlihat seperti jangkitan virus yang patut untuk mereka hindari.
"Mau ngomong sama gue?" Dengan suara remeh yang khas dari Resti, cewek itu menunjuk dirinya, lalu tak lama setelah itu ia kembali mengeluarkan kalimat. "Gue nggak sudi ngomong sama cewek kayak lo. Udah, sekarang lo pergi aja dari kelas ini, cewek kayak elo sama sekali nggak dibutuhkan di sini."
Dengan angkuh, Resti mengibaskan tangannya berulang kali, mengisyaratkan agar Weeby segera menjauh dari hadapannya, ucapan Resti seratus persen didukung oleh teman kelasnya. Mereka semua bersorak, setuju dengan perkataan Resti.
Weeby tidak mau menurut, baginya informasi ini sangat penting, tidak boleh terlewat. Berulang kali salivanya Weeby teguk dengan susah payah, lalu beralih membasahi bibirnya yang terasa kering. Dipojokan seperti ini sangat membuat batin Weeby tersiksa.
"Ya ampun, kenapa lo malah diam lagi? Nungguin apa sih lo?"
Resti sudah tidak sabar lagi karena Weeby masih diposisi yang sama, tidak berpindah satu langkah pun, Resti semakin frustrasi, wajahnya geram menahan amarahnya.
Tak lama, pandangan Resti beralih pada kertas yang sudah berbentuk bola, senyumannya tercetak sinis. Beberapa saat kemudian cewek itu melempar benda itu hingga mengenai kepala Weeby.
Masih mencoba bertahan pada pendiriannya, Weeby harus menerima kesalahpaham ini, ia tidak boleh marah kepada mereka.
Sikap Weeby yang dulu memang benar-benar sudah hilang.
Beberapa menit kemudian ketika semua anak kelas akhirnya keluar dari dalam kelas untuk menuju laboratorium karena ada pelajaran di sana, Weeby seketika saja menarik tangan Resti hingga cewek itu terhuyung ke belakang karena tarikan Weeby yang begitu kencang.
"Lo di panggil Bu Arum di ruangannya, itu yang mau gue omongin sama lo." Weeby berkata tajam. Sorot matanya terus memancarkan ketidaksukaan kepada Resti.
"Buat apa gue ke sana?" Resti menyahut angkuh, kedua tangannya terlipat didepan dadanya. Dagunya mendongak, menghunuskan tatapan tidak suka kepada Weeby.
"Bu Arum udah nunggu lo, kalo lo nggak ke sana, percuma aja karena Bu Arum bakal terus nyari lo. Jadi, lo nggak bisa ke mana-mana lagi sekarang." Setelah berucap, Weeby tersenyum kecut.
Ekspresi Weeby yang terlihat menantang seperti itu membuat bulu kuduk Resti tiba-tiba saja meremang. Resti menelan ludahnya dengan kasar, ia bertanya-tanya dalam hati apa yang Weeby maksud dari semua ini?
"Apa yang lo katakan ke Bu Arum soal gue?"
"Sebuah kebenaran. Dan lo siap-siap aja, semuanya bakal terbongkar, lo nggak bisa fitnah gue lagi. Dan lo nggak bisa merasa menjadi orang paling suci lagi, padahal yang terjadi sebenarnya adalah lo orang paling kotor. Dan lo nggak bisa nuduh gue sembarangan."
"Gue benci sama lo." Resti mendorong d**a Weeby ke belakang.
Tapi Weeby justru malah menerbitkan senyuman sinis. "Dan gue? Gue bahkan berkali-kali lipat benci sama lo. Permainan lo berakhir Resti, lo sudah kalah."
Dengan cepat, Weeby kemudian berbalik badan, berjalan menyusul teman-temannya yang sudah terlebih dahulu melangkah menuju laboratorium.
Dengan perasaan yang bergejolak di dalam dadanya, langkah kaki Resti semakin cepat, informasi yang ditujukan dirinya dari Weeby barusan membuat Resti semakin gelisah, ia bertanya-tanya dalam hati. Kenapa Bu Arum mau bertemu dengannya?
Jika sudah berurusan dengan guru BK, nyali Resti pasti menciut, ia takut menghadapi guru macam ini. Walaupun Bu Arum terkenal baik hati, namun tidak mungkiri, d**a Resti juga berdebar, napasnya kian tersendat-sendat.
Ketika sudah sampai, Resti berdiri di hadapan Bu Arum.
"Ibu mau ngomong sama kamu," ucap Bu Arum dengan pandangan yang lurus menatap Resti dengan lamat setelah menyuruh Resti duduk di hadapannya.
Resti semakin kikuk, dibuat bingung dengan situasi kali ini, "ada apa ya Bu kalau saya boleh tahu? Kenapa ibu panggil saya ke sini?" tanya Resti lemah, suaranya sedikit serak, lalu ia menyingkirkan anak rambutnya yang sedikit menutup wajahnya.
Bu Arum menghela napas panjang, lalu mulai bangkit dari duduknya, Resti yang melihat pergerakan beliau sempat terbongong.
"Ayo, kamu ikut saya."
Bu Arum sudah melangkah menjauh, tetapi Resti tidak beringsut menurut, otaknya masih memproses kejadian ini. Sikap Bu Arum membuatnya semakin dilanda bimbang.
Setelah Bu Arum menengok ke belakang, barulah Resti teperenjak dan lantas bangkit, lalu menyusul Bu Arum yang menatap garang ke arahnya. Selama langkah kaki ini terus melangkah, pikiran Resti juga sama, berlarian ke sana kemari, mencari jawaban yang tepat dan masuk akal. Namun, apa yang diinginkan sama sekali tidak terwujud, Resti tidak menemukan jawaban yang tepat.
Dia mengembuskan napas pelan, kali ini yang hanya Resti lakukan adalah menunggu Bu Arum berbicara kepadanya mengenai masalah itu, Resti tahu, guru BK-nya ini pasti memiliki alasan yang hakiki kenapa Resti di suruh ikut dengannya.
Lantas apa? Resti rasa, dirinya tidak pernah membuat kesalahan yang fatal, bahkan berurusan dengan BK sekalipun.
Setelah menyeret kakinya kurang lebih lima menit dari ruang Bimbingan Konseling, Bu Arum segera membuka pintu ruangan. Untuk memproses kelancaran otaknya, Resti butuh beberapa saat untuk mencerna, namun kerutan dikeningnya semakin bertumpuk, menandakan ada kebingungan yang tercipta di kepalanya.
Kenapa Bu Arum membawanya ke ruang CCTV? Memangnya di dalam sana ada apa? Karena sangat penasaran, Resti ikut membuntuti Bu Arum yang berjalan terlebih dahulu. Resti menatap ruangan ini beberapa kali, terasa sangat asing karena dirinya baru kali ini menginjakkan kaki di sini.
"Resti, sini."
Suara panggilan dari Bu Arum masuk ke telinga Resti, kemudian Resti sedikit tersentak, dan lantas segera menghampiri Bu Arum yang tengah berdiri di hadapan layar yang di penuhi gambar-gambar letak sekolah.
Sampai detik kian berangsur, Resti masih tidak menemukan titik kejelasan kenapa Bu Arum mengajaknya ke ruangan ini seraya memperlihatkan hasil rekaman CCTV kepadanya.
Untuk sesaat, Resti masih belum mencerna dengan baik, namun pada detik ke sepuluh, ia terfokus pada rekaman itu. Jari-jemari bergerak lincah di bawah, kepalanya tidak mau berpindah dari layar dihadapannya. Resti fokus pada tayanganan itu.
Dengan tubuh tegapnya, Resti berdiri mematung, bola matanya terlihat hampir keluar dari tempatnya saat menangkap sosok dirinya dan Gama, mantan pacarnya, telihat dengan jelas di sana.
Semakin lama detik kian berangsur, bertepatan dengan itu, perasaan Resti semakin takut menatap tayangan itu. Bibir bawahnya ia pilin sedikit demi sedikit. Resti masih bertanya-tanya dalam hati, bagaimana bisa semua ini terjadi?
Di tempatnya, Resti semakin gelisah, gerakan tubuhnya terlihat limbung, dadanya seperti ditimpa beberapa benda berat hingga menyisakan rasa sakit yang mendalam.
Resti tidak kuat lagi, ia memindahkan pandangannya ke arah lain, ia baru sadar kalau tempat kejadian dirinya berdebat dengan Gama berlangsung, memang terpasang CCTV. Resti merasa sangat bodoh. Saat itu, Resti meminta Gama agar tidak putus dengannya, dan Resti juga meminta cowok itu untuk tanggung jawab dengan kehamilannya.
Bu Arum sudah tahu semua tentang ini, Resti sudah tahu ending cerita ini akan mengarah ke arah mana. Kalau tidak di keluarkan dari sekolah, terus mau apa lagi? Sementara salah satu peraturan menyatakan bahwa siswi yang hamil diluar pranikah akan langsung dituntut untuk keluar.
Resti terdiam, tidak bisa mengeluarkan suara, hanya sesekali ia mengusap peluhnya yang membanjir keningnya. Ketika tatapan Bu Arum teralih ke arahnya, Resti lantas segera menunduk, menahan malu sekaligus takut jika terkena omelan dari beliau.
"Resti, kamu hamil?"
Dengan sorot matanya, Bu Arum bertanya, terus lurus menatap Resti, bersamaan dengan itu, tangan Bu Arum menepuk-nepuk pundak anak didiknya itu. Desahan singkat juga ikut keluar dari bibirnya.
Sudah terlanjur terbongkar, Resti sekarang tidak bisa mengelak maupun mencari alasan yang lain. Bu Arum kembali mendesah saat Resti mengaku dengan anggukan kepala singkat.
"Resti, kamu tatap mata Ibu." Resti segera menggeleng cepat, rasa malu yang mendomisi hatinya membuat nyali Resti ciut untuk menurut. Arah pandangannya sedari tadi menatap ke arah lain.
Bu Arum yang melihat itu langsung menangkup wajah Resti, lalu mengarahkan wajahnya untuk menatap dirinya. Setelah tatapan beradu, Bu Arum dengan wajah datarnya langsung mengusap air mata Resti yang entah sejak kapan sudah mengalir di kedua pipinya.
Entah apa maksud dari Bu Arum, Resti tidak bisa mendeskripsikannya, guru itu terkesan baik-baik saja, tidak meluapkan kemarahannya atas perilaku Resti yang sudah diluar batas siswi normal. Perasaan Resti semakin kacau, hatinya juga terasa seperti tertampar. Perlakuan Bu Arum seperti ini tidak pantas untuk di dapatkan Resti.
"Kandungan kamu udah dapat berapa?"
Resti memalingkan wajahnya sekilas, namun ia berusaha kembali menatap Bu Arum. "Tiga bulan Bu," jawabnya lirih dan dihadiahi anggukan kecil dari guru BK tersebut.
"Ibu marah sama saya?" Setelah keheningan menginterupsi suasana, Resti bertanya dengan lugunya.
"Jelas ibu menahan marah sama kamu, tapi ibu tidak bisa memarahi kamu. Kelakuan kamu udah diluar batas Resti, sekarang ibu minta, kamu panggil orang tua kamu beserta pacar kamu itu."
Resti bisa-bisa saja menyuruh mamanya untuk ke sini, namun bagaimana dirinya memerintah Gama? Apa cowok itu mau? Tanpa ditanya langsung pada orangnya pun, Resti sudah menemukan jawaban sendiri untuk menyimpulkan perkataan Gama. Sudah pasti Gama akan menolak itu.
Bu Arum sudah cukup baik untuk menanggapi situasi ini, mau membantah saja rasanya juga malu. Resti memutar otaknya, mengorek lebih dalam lagi untuk mencari secuil ide yang pantas untuk dilakukan. Jujur saja, perasaan Resti kepada Gama masih sama seperti dulu.
"Ibu yang akan kasih tahu ke pacar kamu soal ini. Jadi kamu langsung kabarin orang tua kamu buat cepat ke sini."
Sekali lagi, Resti mengangguk patuh. Pikirannya sekarang berkecamuk tak tentu arah, rahasia terbesarnya sudah terbongkar. Resti merasa malu pada dirinya sendiri.
"Oh iya, boleh jelasin kenapa kamu nuduh Weeby yang terlibat dalam kasus kehamilan ini? Ibu nggak mau kamu tutup-tutupi masalah ini lagi. Dan ibu juga minta kalo kamu harus minta maaf sama Weeby. Dia nggak salah apapun di sini."
Dengan lemah, Resti mengangguk. "Baik Bu."