Dengan harapan yang penuh dengan keyakinan, Weeby masih setia menyeret langkahnya ketika pandangannya menangkap dua sosok manusia yang dirinya kenal. Senyumannya seketika mengembang tanpa bisa dicegah, lesung pipitnya juga tampak terlihat.
Dengan tergesa, Weeby lantas mempercepat kakinya, ia sekarang setengah berlari.
"Kenya! Netta!" Weeby berteriak, memanggil nama dua sahabatnya yang sedang berjalan ke arah kantin. Sudah lama sekali mereka tidak berkumpul bersama-sama dengan dirinya lagi.
Weeby yakin dan percaya, kedua sahabatnya ini pasti beda sama yang lain. Walaupun Weeby masih diterjang kasus kehamilan itu, niatan untuk menemui Netta dan Kenya tidak lantas hilang. Weeby sangat hafal tipikal mereka, Netta maupun Kenya tidak mungkin percaya akan fitnah yang menyebar atas nama dirinya.
Ketika pendengarannya menangkap namanya disebut, sejurus kemudian, degan kompaknya Netta dan Kenya menoleh ke belakang. Lalu Netta menyipitkan matanya, mencoba menangkap gestur tubuh seseorang yang berjalan tergesa ke arahnya, sementara Kenya sudah tahu siapa gerangan cewek itu, sedari tadi mulutnya sudah terbuka.
"Apa kabar kalian berdua? Gue kangen banget!"
Setelah berada tepat dihadapan Netta dan Kenya, tanpa dikomando lagi, Weeby segera menghambur ke pelukan sahabatnya itu. Kedua tangannya ia kalungkan dileher mereka masing-masing. Weeby melepas kerinduan, sudah cukup lama tidak ada interaksi diantara dirinya dan mereka berdua. Weeby benar-benar menahan haru.
Netta tersenyum dengan getir, raut wajahnya nampak jijik dengan pelukan dari Weeby, sementara Kenya juga tampak tepaksa dengan serbuan tiba-tiba itu, giginya juga bergemelutuk.
Secara kompak, mereka berdua segera melepaskan ikatan tangan dari Weeby yang membaur dileher. Weeby terheran untuk sesaat, senyuman hilang bersamaan dengan kepalan tangannya. Pikiran Weeby sejurus kemudian langsung tidak kondusif saat Netta menyentak tangannya begitu sarkas.
Apa mereka juga sama seperti yang lain? Tetapi kenapa? Weeby tidak percaya dengan itu. Weeby kemudian segera menangkis pikiran buruk itu, selang lima detik ia menggelengkan kepalanya penuh yakin seraya memejamkan matanya.
"Kalian berdua mau ke mana? Ke kantin, ya? Gue ikutan dong, udah lama nggak ngumpul bareng." Weeby tersenyum penuh arti, sangat berharap keinginan itu terwujud dengan anggukan kepala dari mereka berdua.
Ya, keinginan itu seketika langsung pupus saat gelengan kepala dari Kenya serta helaan napas kasar yang keluar dari hidung Netta. Bersamaan dengan itu, perasaan Weeby langsung dongkol, hatinya seperti tertampar begitu saja menerima kenyataan ini.
Kenapa begitu sakit merasakan seperti ini? Kalian semua pasti juga sama merasakan sskit jika sahabat terdekat kalian sudah tak mau menerima kehadiran kalian hanya karena kalian mempunyai setitik noda kecil yang menghinggapi didiri kita. Dan yang lebih parah, sebenarnya kalian nggak salah apa-apa, tapi mereka tetap menjauh.
Weeby menundukkan kepalanya, menahan air mata lebih tepatnya. Ia tidak mau menangis.
"Sori By, gue nggak ngijinin lo ikut dengan kita, lo tau sendiri kan kalo lo sedang digosipin hangat-hangat di sini?"
Weeby hanya diam seraya berusaha mati-matian menahan air matanya yang sudah bertumpuk dipelupuk matanya.
"Iya, kita berdua juga nggak mau digosipin kayak lo By, kalo semua murid lihat gue sama Netta temenan sama lo lagi, apa kata mereka? Gue nggak mau ya kalo itu terjadi. Gue nggak mau dijadikan bahan gosip."
Kini giliran Kenya yang melontarkan perkataan yang begitu memohok, batu berukuran besar seperti menimpa d**a Weeby begitu saja. Tiba-tiba saja kedua pipi Weeby terasa hangat saat bulir cairan bening lolos dari pelupuk mata yang sudah tak bisa dibendung lagi.
Tidak mau dilihat oleh Netta dan Kenya, Weeby segera menyekanya. Walaupun sedikit merasa malu pada dirinya sendiri, Weeby mendesah, dan tatapannya jatuh ke arah mereka berdua.
"Maaf kalo gue gangguin dan udah nunda kepergian lo untuk pergi ke kantin. Sekali lagi gue minta maaf."
Dengan suara serak dan tipis, Weeby berkata begitu terpaksa. Napasnya terengah-engah ketika menyadari sahabatnya itu sudah tidak mau berteman dengannya lagi.
"Ya udah, gue mau ke kantin dulu. Kalo lama-lama deket sama lo gini, mampus gue digunjingin siswa lain. Ayo Nett, kita pergi."
Kenya berjalan cepat sembari menggandeng lengan Netta, sementara Netta yang berniat akan mengeluarkan kata-kata kepada Weeby lantas segera terurung. Netta sudah terseret membelakangi Kenya.
Tatapannya begitu teduh, Weeby melihat dengan nanar kepergian kedua sahabatnya yang meninggalkan sejuta rasa sakit didada Weeby. Tidak bisa menahannya lagi, Weeby lantas mengangkat kedua tangannya, lalu tangannya itu ia gunakan untuk menutup wajahnya, ia menangis lagi.
"Lo berdua rupanya sama aja kayak yang lain, ini itu cuma fitnah, kenapa kalian percaya sama gosip itu?" Weeby berkata dengan lirih, hanya dirinya yang mampu mendengar, d**a Weeby terlihat naik turun mengikuti napasnya yang terdengar sangat memburu ditelinga.
Weeby menahan napas untuk sesaat, ia segera menurunkan kedua tangannya yang tadi ia gunakan untuk menutup tangisannya. Pandangannya teralih ke samping. Tampak orang lain tengah memeluknya begitu erat, mencoba menyalurkan ketegaran kepada diri Weeby.
Tersenyum begitu lembut, Weeby membalas pelukan orang itu lebih kencang. Setelah itu, derai air matanya kembali jatuh.
"Lo nggak usah sedih lagi, gue selalu ada disamping lo. Lo sedih, gue juga ngerasa sedih, kalo lo senang, gue juga merasakan itu. Jadi, kapan dan di mana pun lo mau bagi keluh kesah, gue sanggup kok jadi pelampiasan lo By."
Weeby dapat merasakan bahunya diusap dengan lembut secara berulang kali, begitu menenangkan. Mendengar suaranya saja membuat tangisan haru Weeby semakin pecah, ia tidak peduli jika air matanya mengenai seragam orang itu.
"Makasih Ti. Lo udah mau jadi sahabat gue satu-satunya. Gue nggak tau ngadepin situasi ini bagaimana lagi kalo nggak ada lo."
Eratan jari jemari Weeby yang membungkus ujung seragam Uti semakin kencang. Dengan cara seperti itu Weeby bisa menyalurkan sedikit emosinya. Weeby mencoba tidak terisak dan mengeluarkan air mata lagi, namun pelupuk matanya terus saja mendesak dan mengeluarkan air mata lebih banyak lagi.
Cukup lama kepala Weeby terbenam dalam dekapan sahabatnya itu, tanpa dapat Weeby lihat, Uti sedang tersenyum tipis ke arahnya. Apa yang dialami Weeby juga tersalur ke arahnya, seperti sudah ditakdirkan Tuhan jika diantara mereka berdua terikat jalinan batin yang kuat dan menyeluruh.
"Lo jangan sedih lagi, mending kita balik ke kelas kalo lo nggak mau dihukum."
Di tempatnya, Weeby mengangguk kecil, sedetik kemudian ia mengangkat kepalanya, terlihat sepasang matanya sedikit sembap, Weeby lantas mencoba mengusap pipinya yang terasa hangat karena linangan air mata. Setelah dirasa sudah tidak ada lagi bekasnya, Weeby menatap Uti dengan penuh haru, ia lalu tersenyum begitu lebar, dan tentu saja senyuman Weeby dibalas oleh senyuman dari Uti, sahabatnya yang kini merangkap sebagai penyalur kesedihan atas keterpurukan dirinya.
Sementara itu, di tempat lain, Resti mulai merasa gelisah. Ketakutan terbesar sebenarnya sudah dimulai sejak detik ini. Selepas kepulangan dari ruang CCTV. Langkah Resti semakin menciut, tidak bisa dimungkiri, Resti merasa sesak napas.
Dan hingga saat ini, Resti sedang menuju rooftop sekolah karena Marcell memintanya untuk bertemu dengannya. Resti sedikit tesentak, tidak biasanya Marcell bersikap seperti ini.
Resti dapat melihat Marcell dari kejauhan, cowok itu tengah berdiri membelakangi dirinya, Marcell tengah menatap hiruk-pikuk kericuhan kota di bawah sana. Memang gedung sekolah ini cukup tinggi.
Walaupun perasaan tidak enak masih mendomisi hatinya, Resti berusaha tegar, ia harus berpikir positif, Marcell pasti akan mengajak kencan di tempat ini.
Langkah kaki Resti semakin mengikis jarak diantara dirinya dan Marcell, punggung tegas milik Marcell dapat Resti lihat dengan jelas.
Tak butuh lama bagi Resti untuk berdiri di belakang cowok itu, Marcell juga belum menyadari keberadaannya, Resti tampak memilin bibir tipisnya, lalu sedetik kemudian ia memeluk Marcell dari belakang.
Marcell yang masih berkecamuk dengan pikirannya sendiri seketika tersentak begitu saja saat tubuhnya merasa dipeluk, Marcell kemudian mengalihkan perhatiannya, ditatapnya tangan kecil yang melingkar di perut kerasnya.
Menghela napasnya secara gusar, Marcell segera melepaskan eratan itu, begitu sudah terlepas dengan sempurna, walaupun tadi agak sedikit susah karena pelukan itu semakin erat, kini Marcell berbalik badan dan menemukan Resti yang memaparkan senyuman paling lebar.
Marcell bersikap datar, wajahnya juga sama, namun kadar ketampanan Marcell tidak bisa dihilangkan. Ditatapnya cewek dihadapannya ini dengan lekat-lekat.
"Marcell, lo mau ngomong apa sama gue? Kenapa di sini? Lo mau ngajak kencan, ya? Ih Lo kok so sweet banget sih?"
Resti sama sekali tidak bisa menghilangkan kegembiraan, raut wajahnya terlihat sangat bahagia. Bahkan, 8a sudah berjingkrak-jingkrak ke udara.
"Gue mau bicara serius sama lo, ini bukan soal kencan seperti apa yang lo bicarakan barusan."
Resti tampak berpikir sejenak, "terus mau apa kalo bukan itu? Kenapa di sini, nggak ada orang lain juga."
Rooftop sekolah memang jarang didatangi oleh para siswa dan siswi SMA Angkasa, letaknya yang agak jauh dan akses untuk menuju ke tempat itu cukup memakan waktu yang lama membuat niat kalangan murid menjadi urung untuk pergi ke sana.
"Gue mau lo sama gue nggak ada hubungan lagi."
Marcell menatap Resti dengan pandangan lamat-lamat, menunggu respons dari cewek dihadapannya. Namun yang Marcell dapatkan justru kekehan ringan dari Resti hingga kerutan didahinya semakin bertumpuk-tumpuk mewakili keheranan.
"Ngomong apa sih lo Cell? Maksud lo kita putus, gitu?" Resti kembali terkikik kecil, Marcell sangat menggemaskan menurutnya. Resti tahu, Marcell sedang bercanda, pacarnya itu sedang usil mengerjai dirinya.
"Gue serius, nggak ada lagi kata elo, gue, menjadi kita. Hubungan ini udah nggak ada lagi. Anggap aja gue nggak ada di kehidupan lo mulai detik ini."
Mendengar penuturan Marcell itu membuat hati Resti tersentak dan pecah hingga berkeping-keping, Resti kini tidak lagi menyunggingkan senyuman, tawa yang tadi terdengar juga sudah lenyap. Yang ada, kini matanya mencancap dengan panas, menghunus begitu tajam dan masuk ke dalam mata Marcell.
"Marcell gue lagi serius, jangan main-main gini deh, gue nggak suka tau." Resti masih berusaha menyangkal perkataan Marcell, ia yakin ini hanya ulah Marcell yang sedang mengerjai dirinya. Resti kemudian memegang lengan Marcell, namun secepat kilat si pemilik lengan langsung menepis tangan lain yang sedang menjamahnya itu.
"Gue serius, apa lo pikir gue lagi main-main?" Marcell kini mencengkeram kuat tangan Resti, matanya menajam.
"Gue nggak mau, gue nggak ngijinin lo pergi," ucap Resti, tangannya memberontak untuk menghindari cekalan lebih kuat lagi.
"Terserah lo mau apa, yang penting gue nggak nganggep lo sebagai pacar gue lagi."
Seketika bersama dengan ucapan Marcell yang menyatu dengan udara, tubuh Resti menegang, mulutnya sedikit terbuka lantaran tidak percaya Marcell berkata seperti itu. Tidak kuasa lagi, pelupuk matanya sudah digenangi oleh air mata.
"Marcell, gue sayang sama lo, gue nggak mau putus sama lo. Please, lo jangan pergi."
Resti semakin bingung menanggapi situasi yang sedang tercipta ini, ia tidak mau putus dengan Marcell. Sementara hati Marcell benar-benar sudah tertutup, dan tidak menerima kedatangan cewek seperti Resti lagi.
Marcell merasa sudah dibodohi olehnya, ia juga baru menyadari jika perut Resti sudah sedikit membesar, lantas senyuman miring jelas terlihat. Tetapi, Marcell kagum dengan Resti yang sangat pandai menutupi tentang ini semua, Marcell juga tidak melihat sedikitpun celah.
"Nggak bisa, gue udah benci sama lo," sentak Marcell dengan suara yang menggelar hingga membuat satu bulir air mata Resti terjun dan membasahi pipinya.
"Marcell, tolong kasih gue kesempatan." Dengan suara yang nyaris terisak, Resti beralih memegang tangan Marcell dengan kuat, takut jika cowok itu meninggalkan dirinya. Namun nahas, tidak sesuai apa yang ada dipikiran Resti, Marcell malah menyentak dan menepis tangan Resti yang masih membungkus tangannya.
"Nggak ada kesempatan buat orang kayak lo, nyesel gue nggak dengerin omongan Weeby kemarin. Dia selalu sebal dengan tingkah gue, tapi hati Weeby lebih baik dari lo. Buktinya, walaupun dia sering marah-marah nggak jelas sama gue, Weeby mau ngomong soal kehamilan lo. Dia ngomong jujur soal ini, padahal ini nggak ada hubungan apa-apa sama dia."
Resti diam, meresapi kata-kata Marcell yang satu persatu masuk ke dalam otaknya. Sekarang, Marcell menyesal dengan tingkah dirinya yang mengabaikan perkataan Weeby begitu saja. Weeby tidak bohong soal ini, tetapi Marcell malah tidak percaya dengan itu. Detik ini juga Marcell seperti satu-satunya makhluk paling bodoh di muka bumi ini. Ia sendiri juga tahu jika Weeby pasti merasa sakit hati karena perkataannya sama sekali tidak dianggap oleh Marcell.
"Gue nggak akan ngelepasin lo Marcell, nggak akan pernah." Resti berteriak kencang bersama dengan air mata yang lolos untuk kali kedua. Tanpa diminta komando lebih lanjut, cewek itu langsung menguar ke dalam pelukan Marcell.
Dada bidang milik Marcell yang tegas membuat kharisma tersendiri menurut Resti, ia lalu memeluknya dengan erat, jari jemarinya meremas ujung seragam Marcell. Tidak sampai di situ, Resti melanjutkan dengan membenamkan kepalanya di d**a Marcell.
Pergerakan Resti yang tidak Marcell sangka sebelumnya membuat dirinya tergelak, ia sedikit shock dengan aksi nekatnya Resti.
Bukannya memelas, Marcell sungguh frustrasi dengan tingkah Resti. Kekecewaan yang terpupuk diraganya semakin menjadi. Marcell mencoba memberontak, memegang lengan Resti, dan langsung menghempaskannya begitu saja. Namun, cekalan Resti yang telanjur kuat sungguh menyulitkan Marcell melakukan hal itu.
Kemudian, sepasang mata milik Marcell bertemu dengan sorot mata dari depan. Ada orang lain yang melihat pelukan itu, apalagi di tempat ini tidak ada orang lain selain mereka. Marcell tidak mau dicap sebagai cowok berengsek, ia akan meluruskan masalah ini dengan orang yang melihatnya tadi. Orang tadi tidak boleh salah paham.
Gosip yang sedang beredar saat ini adalah kehamilan Resti yang sudah terkuak, itu bukan cuma gosip semata, melainkan salah satu fakta yang sesungguhnya. Resti juga telah difonis akan di keluarkan dari sekolah bersama dengan Gama. Orang tua mereka telah sepakat bahwa akan menikahkan mereka berdua.
Walaupun perasaan lega kini mulai bersarang didada Weeby, namun ada hal lain yang lebih mewakili isi hatinya. Entah kenapa, saat melihat Marcell berpelukan dengan Resti di rooftop tadi membuat perasaan Weeby hancur dan sakit.
Weeby sendiri juga tidak tahu mengapa hatinya bisa merasa sesakit ini, Weeby masih berpikir, maksud dari pelukan yang barusan dilihatnya tadi apa? Apakah Marcell masih sayang kepada Resti?
Entahlah, Weeby tidak ada berhak mengurusi mereka berdua. Tetapi, nyatanya sangat sulit. Weeby tidak setuju dengan hubungan itu, terkadang perasaannya merasa seperti disayat oleh pisau tajam saat melihat Marcell sering berdekatan dengan Resti. Sebenarnya, ada apa dengan hatinya?
Weeby segera menepis pikiran itu dalam otaknya, langkah kakinya semakin panjang, menjauh dari tempat di mana matanya telah melihat peristiwa tidak mengenakkan itu. Napasnya juga kini terdengar tersendat-sendat.
Kepala Weeby sedikit pusing, entah dari mana rasa sakit itu muncul. Weeby menduga, ini disebabkan oleh obat pemberian sang ayah. Weeby merasa, setiap hati tubuhnya tidak fit, berbagai macam obat lain bentuk dan warna, Weeby sudah merasakan semuanya.
Masih berusaha menerjang rasa sakit yang terus menjadi dikepalanya, Weeby kini berjalan semakin cepat ke arah parkiran sekolah, ia butuh kasur untuk pelampis rasa penat dan pusing ini.
Weeby memejamkan matanya sebentar saat langkah kakinya terhenti karena ia merasa ditahan oleh seseorang dengan cara memegang lengannya. Weeby masih diam berdiri di tempatnya, ia tidak mau melihat ke belakang, sebab hatinya masih tidak bersahabat.
Ini masih mending, untung saja Weeby tidak mengamuk pada orang itu karena telah mengganggunya.
"By, tadi nggak seperti apa yang lo lihat, sumpah gue nggak pelukan sama Resti."
Weeby perlahan membuka kelopak matanya yang semula mengatup begitu rapat, setelah matanya terbuka dengan sempurna, lantas napas gusar keluar dari lubang hidungnya. Tak lama berselang, tubuh Weeby bergerak hingga menghadap ke belakang.
"Terus, apa masalahnya sama gue? Itu terserah lo berdua." Weeby kembali mendengus kesal, memang hal itu terserah mereka berdua mau melakukan hal apa, tetapi ketika ucapan itu meluncur dengan lancar, perasaan Weeby seakan menolaknya. Weeby sebenarnya sakit hati.
Weeby melanjutkan ketika Marcell hanya diam saja. "Dan kenapa lo harus repot-repot jelasin itu ke gue? Lo nggak perlu kayak gitu."
"Gue udah putus sama Resti, gue nggak ada hubungan apa-apa lagi sama dia."
"Terus? Gue harus apa kalo lo sama Resti udah putus? Lagian mana ada baru putus main peluk-pelukan segala?"
Weeby sudah tidak mau mendengar penuturan yang akan Marcell lontarkan lagi, ia memilih untuk pergi dari sana, itu sama sekali tidak penting bagi dirinya. Namun, baru satu langkah berjalan, Marcell sudah menariknya lagi hingga tubuh Weeby terhuyung ke belakang dan berakhir tepat di d**a bidang Marcell. Jaraknya hanya terpaut beberapa senti.
Weeby sebelumnya tidak pernah sedekat ini dengan Marcell, wajah Marcell terlihat tepat di depan matanya, tanpa sadar, degup jantung Weeby sudah meronta-ronta. Canggung sekali menghadapi segala situasi ini. Bahkan Weeby tidak bisa berkata-kata.
"Apa-apaan sih lo, gue mau pulang." Weeby mendorong d**a Marcell ke belakang, namun usahanya tampak tak membuahkan hasil, Marcell dengan cekatan langsung menghentikan tubuh Weeby.
"By, dengerin gue dulu, gue mau minta maaf sama lo, sumpah gue nyesel nggak percaya sama lo waktu itu."
Dengan pandangan remeh, wajah Marcell yang sudah terlihat murung Weeby lihat dengan pandangan lamat-lamat, dari sorot matanya Weeby tidak melihat kebohongan di sana.
"Gue maafin lo," kata Weeby dengan ketus, ia lalu berbalik badan lagi sebelum rasa pusing terus berlanjut hingga di keningnya. Menghadapi Marcell kali ini juga membuat kepalanya tambah berdenyut, Weeby rasa sebentar lagi ia tidak akan kuat menopang tubuhnya, ini terlalu sakit dari sebelumnya. Weeby cepat-cepat harus pulang.
"Nggak, lo masih marah sama gue, tolong By, lo maafin gue. Gue bakal janji nggak akan usil lagi sama lo," kata Marcell lagi, terus memohon kepada cewek itu. Tidak ada kata menyerah di kamus hidup Marcell.
Weeby bahkan tidak memedulikan ucapan Marcell, rasa pusing dan ingin muntah tiba-tiba kembali menyerang tubuhnya. Weeby menyentuh wajahnya, masih bertahan dan berusaha untuk tegar. Dengan tertatih, ia mengayunkan kakinya menjauh dari Marcell.
Marcell membuang napasnya dengan kesal, permintaan maafnya sama sekali diabaikan oleh Weeby, dengan perasaan yang masih berkecamuk di dalam raganya, Marcell mengusap wajahnya dengan frustrasi, ia harus memikirkan ide matang-matang untuk meyakinkan Weeby bahwa dirinya benar-benar menyesal tidak percaya kepada cewek itu. Dilihatnya Weeby yang sudah berada di depan sana, langkah kakinya melambat. Apakah Weeby mau dicegah oleh Marcell?
Tangan Weeby kini beranjak dan mendarat dikeningnya, langkahnya semakin limbung, pandangannya mulai mengabur, tak lama kemudian tubuh Weeby mulai melemas, kaki kecilnya sudah tidak mampu menopang berat badannya, dan pada akhirnya, Weeby ambruk ke tanah dengan pandangan yang sedikit demi sedikit mulai menjadi gelap.
Marcell yang sedari tadi memandangi punggung Weeby langsung tersekat heboh, bola matanya terlihat hampir keluar dari tempatnya, dengan tergesa dan perasaan masih terkejut, Marcell berlari tunggang langgang menyusul Weeby yang sudah terkapar di tanah.
"By, lo kenapa?" Tangan Marcell sudah bergetar, ditepuknya pipi Weeby berulang kali, berharap cewek itu akan bangun dari tidurnya. Namun nahas, Weeby tidak berkutik sama sekali, hanya bibir pucat yang ia perlihatkan pada Marcell dan alam semesta.
Marcell sangat khawatir pada keadaan Weeby, wajahnya sudah pucat pasi, dilihatnya ruang UKS dari sini. Dan mulut Marcell terlihat mengumpat kesal lantaran sepasang bola matanya menangkap ruangan itu sudah di tutup dengan rapat.
"By, gue khawatir sama lo, tolong By, lo harus bangun. Gue nggak tega lihatnya." Entah kenapa kali ini Marcell benar-benar merasa bersalah pada Weeby, otaknya sudah berpikir yang tidak-tidak. Tanpa menunggu waktu lama lagi, Marcell membopong tubuh Weeby ala bridal style.
Sebelumnya, Marcell sudah merogoh saku dan tas milik Weeby untuk mencari ponsel cewek itu. Marcell langsung menghubungi Erza untuk meminjam mobil sahabatnya itu dan segera ke sini menyusulnya.
Dan singkat waktu, Erza pun meminjamkan mobilnya itu. Dan kom
Tanpa menunggu di komando lagi, dengan pedal gas yang ditancap dengan tinggi, roda-roda ban mobil sudah melesat meninggalkan parkiran sekolah yang sudah kosong, hanya menyisahkan beberapa kendaraan yang masih terparkir dengan tegap di sana.
"By, lo tahan sebentar, ya?"
Marcell dengan fokus mengalihkan pandangannya ke arah depan, bagi dirinya, yang paling penting sekarang adalah keselamatan Weeby. Marcell berpikir sejenak, akhir-akhir ini ia juga sering melihat Weeby pingsan, bahkan muntah di kamar mandi. Sebab saat rumor tentang kehamilan Weeby, Marcell percaya seratus persen karena hampir setiap waktu Weeby pergi ke kamar mandi dan berakhir dengan suara-suara seperti orang muntah.
Dan Marcell sudah salah tanggap, bahwa Weeby memang mau membantu dirinya agar terbebas dari Resti, kali ini Marcell ingin membalas jasa cewek itu.