Sekelebat bayangan tentang kejadian kemarin membuat Weeby kini berdecak sebal, mengingatnya saja sudah menyebabkan Weeby ingin muntah sendiri. Memang dari sananya Marcell sudah menyebalkan seperti itu.
Selepas duduk di samping Marcell, Weeby tidak mengalihkan pandangannya. Cewek itu hanya diam sembari mencoret-coret bukunya dengan asal. Hatinya sedikit merasa sakit, entah bagaimana mendeskripsikannya, Weeby sekarang mau mengakui bahwa dirinya benar-benar jatuh hati pada cowok di sampingnya ini. Weeby juga tidak tahu perasaan itu timbul dari mana. Yang pasti, Weeby selalu saja merasakan sakit hati saat Marcell bersama dengan Resti.
"By, lo beneran nggak terpaksa, kan, duduk sama gue lagi?" Marcell menepuk pundak Weeby, berharap cewek itu akan segera menoleh, tetapi Weeby masih seperti tadi. Sepertinya tidak ada niatan untuk sekadar menengok ke samping. Apa Weeby benar-bebar marah kepadanya?
"Ya udah, kalo lo marah, nanti gue kasih hadiah ke elo deh. Gue yakin lo nggak bisa nolak ini, asal lo tahu. Hadiah yang gue buat ini udah gue siapin jauh-jauh hari. Dan gue nggak percaya kalo lo nolak gitu aja."
Marcell tersenyum sangat puas, sementara Weeby sama sekali tidak terkecoh. Hanya desahan singkat yang Weeby keluarkan dari lubang hidung dan mulutnya secara bersamaan.
Tentu saja Weeby tidak mau terlalu berharap dengan Marcell. Weeby tidak mau terkecoh dengannya. Sudah cukup sampai ini lagi kalau hatinya masih ingin baik-baik saja.
"Gimana By, lo mau kan gue kasih hadiah? Mau, dong harusnya! Masa lo mau nolak sih? Kalo lo nolak, itu artinya lo nggak ngehargai usaha gue."
Marcell menyenggol lengan Weeby, tetapi masih tak dihiraukan oleh cewek itu. Marcell rasa, Weeby memang benar-benar marah besar. Tetapi karena apa? Marcell sendiri tidak tahu letak kesalahannya ada di sebelah mana.
"By, lo dengerin gue ngomong, kan?"
"Ih, apaan sih lo? Nggak usah gangguin gue. Gue masih pengin sendiri."
Tepisan tangan dari Weeby yang begitu kasar membuat Marcell membuka mulutnya tak percaya. Kenapa Weeby berubah jadi singa buas seperti ini? Marcell lantas menghela napasnya dengan gusar.
"Lo mau gue nunjukin hadiahnya sekarang juga? Oke kalo lo mau itu."
"SETOP! Cukup Marcell, gue nggak mau denger lo ngomong lagi. Gue pusing denger lo ngoceh terus. Plis, kali ini aja lo biarin gue duduk tenang tanpa ada gangguin dari lo. Emang lo mau kasih gue hadiah apa? Sontekan tugas? Pulpen baru? Atau sisa permen karet yang udah dikunyah elo? Gue mau sekarang lo diem aja!"
Weeby menghirup udara dalam-dalam, mengisi paru-parunya. Dadanya naik turun serta hidungnya kembang kempis. Tatapannya begitu tajam hingga Marcell menghentikan napasnya sesaat. Weeby sudah marah besar kepada cowok itu.
"Iya deh, gue minta maaf karena udah gangguin lo. Tapi lo udah salah, gue nggak bakal ngasih hadiah lo kayak gitu."
"Terus apaan?" Intonasi suara Weeby semakin keras, hal itu membuat Marcell mendesah pelan dengan susah payah.
"Gue mau tanya sama lo dulu. Gue kali ini nggak main-main. Lo yakin mau lihat hadiah gue sekarang?"
"Emang mau kasih apaan?"
"Jawab dulu!"
"Iya, gue mau. Ya udah apa? Emang lo bawa hadiah itu?" Nada suara Weeby masih jutek, ia sangat sensitif terhadap Marcell.
"Gue setiap hari udah bawa, cuma nunggu waktu yang tepat untuk nunjukin ini ke elo. Mungkin ini waktu yang tepat, lo udah siap?"
Weeby meneliti wajah Marcell, alisnya naik ke atas. Weeby sudah berpikiran yang tidak-tidak. Bisa jadi, kan, Marcell memberi kotak kado yang berisikan banyak sekali kodok atau ulat bulu? Bulu kuduk Weeby tiba-tiba saja meremang. Tidak salah jika Weeby berpikir seperti itu, memang lantaran sifat Marcell yang suka jail dan menyebalkan.
"Gue tunggu," balas Weeby cuek. Tetapi Marcell tersenyum dengan cerah.
"Oke, lo tutup mata lo kalo gitu!"
"Nggak usah aneh-aneh, kalo lo niat kasih gue hadiah tinggal tunjukin aja, emang apa susahnya? Nggak ada tutup-tutup mata segala!"
Rasa kesal masih belum kunjung surut dari diri Weeby, Marcell sudah membuat perasaannya campur aduk tak keruan.
"Nggak bisa, ini biar surprise gitu. Buruan, katanya lo udah pengin lihat hadiah dari gue."
Terpaksa, Weeby pun akhirnya menurut, sembari mengerucutkan bibirnya dengan kesal, ia mulai merapatkan matanya. Ingatkan Weeby kalo semisal hadiah Marcell sebagus apapun, rasa kesalnya masih tidak bisa dihilangkan. Weeby harus mengingat itu.
Lima menit berlalu, tetapi Marcell tidak kunjung mengomando agar Weeby membuka kelopak matanya. Mata Weeby sudah perih menahan ini. Pikiran negatif sudah menyerang ke otaknya. Apa Marcell meninggalkannya sendiri di sini? Ish, Weeby sungguh kesal. Ingin membuka matanya secepat mungkin. Tapi, ia tidak bisa melakukan perbuatan itu. Bagaimanapun juga ia harus menghargai usaha Marcell.
"Weeby, gue sayang sama lo. Lo mau kan jadi pacar gue?"
Bisikan apa ini? Kenapa telinga Weeby terasa sangat panas? Tidak, ini pasti hanya pikiran liarnya yang selalu mengharapkan hal itu dari Marcell, ia tidak boleh teracuni oleh hal itu. Weeby menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Gue serius, ini hadiah gue. Gue mau lo jadi cewek gue, gue nggak mau lo nolak hadiah dari gue. Seperti yang gue bilang tadi, gue udah nyiapin hadiah ini udah dari lama."
Tetapi, jika itu khayalan, kenapa terdengar sangat nyata? Weeby meneguk ludahnya. Perlahan ia mulai membuka mata, dan saat kelopak mata itu sudah melebar, pemandangan yang Weeby lihat adalah wajah Marcell yang sangat dekat dengannya. Wajahnya begitu sangat memesona dengan senyuman yang indah dan raganya yang kokoh dan kuat.
Jadi ini hadiahnya? Weeby menatap Marcell dengan datar. Ada perasaan senang dan gugup yang bercampur menjadi satu. Weeby masih belum percaya sepenuhnya karena Marcell suka main-main kepadanya.
"Eh?" Weeby mengerjap, genggaman hangat dari tangan Marcell membuat dadanya seketika berdebar kencang. Weeby sudah menelan salivanya. Rasa gugup sudah menyelusup ke raganya begitu saja.
"Gue nggak main-main soal perasaan ini. Lo nggak nolak, gue, kan?"
Sembari menunggu jawaban dari Weeby, Marcell mengusap punggung tangan Weeby dengan sapuan jempolnya. Gerakannya yang begitu halus, membuat Weeby tersipu. Pipinya sedari tadi sudah memerah. Demi apapun ini, jantung Weeby tidak bisa di ajak kompromi. Kenapa Marcell begitu pandai mempermainkan perasannya seperti ini?
Weeby menarik sepasang sudut bibirnya ke atas, tanpa membutuhkan waktu lama lagi ia menghambur ke dalam pelukan Marcell.
Marcell yang tidak menyangka mendapatkan pelukan dari Weeby sedikit tersentak kaget, namun dengan segera ia bisa mengontrolnya. Marcell mengulum senyum tipis, baru kali ini ia merasakan hatinya melayang bebas diudara. Perasaannya lega, kemudian tangannya terulur dan jatuh di puncak kepala Weeby. Dengan gemas, Marcell mengacaknya. Tanpa menunggu jawaban dari cewek itu sekalipun, Marcell sudah mengetahuinya.
Weeby semakin erat memeluk tubuh maskulin Marcell, kepalanya ia tenggelamkan dalam d**a bidang cowok itu. Perasaan Weeby tidak bisa digambarkan, sungguh sulit untuk dideskripsikan.
"Gue mau jadi pacar lo, gue juga sayang sama lo, Marcell."
Setelah terucap dengan sempurna, Weeby menahan malu, pipinya kembali memanas, walaupun ia tahu Marcell tidak akan melihatnya karena Weeby sedang dalam pelukan cowok itu. Cekalan tangan Weeby semakin erat, sepertinya ia tidak mau kehilangan Marcell.
Mereka berdua bagai dua insan yang tidak peduli dengan suara sekitar. Lihatlah, walaupun ditatap oleh teman kelasnya, mereka tidak malu, bahkan menunjukkan keromantisan secara terang-terangan kepada teman temannya. Dengan kompaknya, seluruh siswa dan siswi memberi sambutan tepuk tangan meriah. Weeby tersenyum kecil, entah kenapa kekesalannya pada Marcell seketika hilang dan digantikan dengan tawa yang selalu tertancap dibibir mungilnya.
Marcell, cowok yang menyebalkan, cowok yang setiap hari membuat dadanya memanas menahan keusilannya, cowok yang selalu menyita emosinya, dan kali ini. Detik ini juga, Marcell sudah menjadi kekasihnya.
Cowok super menyebalkan itu mulai sekarang akan menemani hari-hari Weeby berikutnya. Cowok itu sudah menjadi pacarnya. Senyuman Weeby sedari tadi tersungging sempurna.