Semakin hari Weeby semakin gelisah, semenjak Resti duduk disamping Marcell membuat dirinya selalu ingin mencuri pandang apa yang dilakukan mereka. Tidak sedikit pula Weeby merasa kesal jika Marcell tertawa dengan nyaring bersama Resti.
Entah kenapa ada sebercik rasa tidak suka yang tertanam dibatinnya. Weeby menghela napasnya dengan gusar, lalu ia memilih untuk memalingkan wajahnya ke cewek bertubuh bengkak yang ada di sampingnya.
Terlihat Uti sedang sibuk dengan ponselnya, Weeby tidak mau mengganggu aktivitasnya. Alhasil Weeby memilih sibuk mencoret-coret bukunya dengan asal. Jujur saja, semenjak ia tidak duduk disamping Marcell, Weeby semakin merasa boring.
Sekali lagi, Weeby melirik ke belakang, menatap Marcell dan Resti lagi. Entahlah kenapa ia melakukan hal itu, Weeby hanya kepo apa yang mereka lakukan.
"Nggak usah lihatin gue mulu, udah gue bilang kalo gue itu ganteng," raung Marcell dengan keras, tapi wajahnya sama sekali tidak menatap Weeby.
Merasa tersinggung, Weeby segera membuang muka, debaran jantungnya semakin mencuat kala Marcell berujar dengan nyaring.
"Ih, apaan sih, siapa yang lihatin lo!" cibir Resti dengan jutek, ia mendadak kesal dengan Marcell.
"Gue nggak ngomong sama lo," balas Marcell cepat, sebab Resti salah tanggap mengenai ucapannya itu.
"Terus?" Resti menampilkan mimik wajah datar, mencoba menunggu ucapan Marcell selanjutnya.
Memutar malas kedua bola matanya, Marcell lalu kembali menatap Resti dengan perasaan sedikit kesal, "gue ngomong sama cewek yang duduk di sana," ucap Marcell seraya menunjuk Weeby dari arah bangkunya.
Ekor mata Resti menyapu pandangan, fokus pada telunjuk Marcell, "Weeby?"
Kening Resti tampak berkerut, sebab jari telunjuk Marcell teracung ke arah Weeby. Marcell langsung mengiyakan, menganggukkan kepalanya dengan mantap sebanyak dua kali.
"Lo kenal dia?" tanya Marcell singkat.
"Gue udah cukup hapal kok semua penghuni kelas ini, walaupun ada yang sedikit lupa sih, maklum karena gue baru pindah ke sini," balas Resti. Tidak lama setelah itu, Resti kembali menatap punggung Weeby lalu mencibir.
"Kalo gue sih terkenal di sini, gue kan ganteng," cengir Marcell sama sekali tak punya malu. Cowok itu kelewat pede.
"Iya iya, serah lo aja deh."
"Kenapa dia nggak mau duduk sama lo lagi?" Kini tatapan Resti sepenuhnya mengarah ke arah Marcell, meminta penjelasan lebih.
"Gue kan nyebelin, dia suka marah-marah kalo gue buat rusuh, padahal gini-gini gue juga baik lho."
Penyakit marcell sudah mulai kumat sepertinya. Lihatlah, ia berlagak sombong, memuji dirinya sendiri. Emang dasar Marcell!
"Ih, beruntung banget gue kalo Weeby pindah, sekarang gue kan bisa duduk sama elo." Resti tersenyum semakin lebar sementara Marcell menatap Resti dengan satu alis yang naik satu ke atas.
Ketika istirahat tiba, Weeby dan kedua temannya kini sudah duduk di salah satu bangku kantin. Ketika diajak, Uti tidak mau. Jadi cewek itu tidak bergabung saat ini.
"By, itu si Resti kenapa nempel terus sama Marcell sih?" tanya Kenya setelah menyuapkan sesendok bakso ke dalam mulutnya.
Mereka bertiga sebelumnya memang sepakat untuk kumpul di kantin pada saat bel istirahat berbunyi. Alhasil di sini Weeby dan kedua sahabatnya itu berada.
Menghela napasnya frustrasi, Weeby akhirnya melihat Marcell yang duduk berduaan di kantin dengan Resti, sesekali mereka becanda ria. Melihat hal itu Weeby bertambah gondok, ia tidak suka segala tingkah Resti yang menurutnya sangat centil itu.
"Iya, tuh nempel mulu perasaan, jangan-jangan mereka jadian lagi," cerocos Netta dengan asal.
Weeby tercekat, secepat kilat ia langsung menatap garang ke arah Netta. Merasa raut wajah Weeby yang berubah seperti itu, Netta segera mengerutkan keningnya, bingung.
"Nggak boleh," komentar Weeby secara spontan. Lalu ia tersadar dan mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Weeby tidak tahu kenapa dirinya bisa bicara seperti itu.
"Nggak boleh? Maksud lo apaan By?" curiga Kenya, ikut-ikutan menatap Weeby yang sangat aneh.
"Nggak pa-pa lupain aja." Weeby tersenyum kecil, untuk menghilangkan rasa canggungnya ia akhirnya menyuapkan sesendok bakso ke mulutnya, ia merasa malu telah berkata seperti itu.
Netta tidak langsung mengiyakan, ia memilih menyipitkan matanya, menatap Weeby dengan curiga.
"Emang apa urusannya sama lo kalo Marcell pacaran sama Resti?" Kenya juga semakin curiga, gelagat Weeby sangatlah aneh.
"Nggak ada, udahlah mending jangan dibahas lagi."
Seulas senyum miring kemudian tercetak dibibir tipis Kenya dan Netta, "Lo suka sama Marcell, ya?" goda Netta, ia mencolek dagu Weeby dengan jari lentiknya, namun Weeby segera menepisnya dengan gerakan yang terbilang kasar.
"Ih apaan sih? Enggak lah!"
Gebrakan meja terdengar cukup nyaring akibat ulah Weeby, emosinya sudah memuncak. Seketika semua pasang mata terarah ke bangku yang Weeby duduki.
Sepuluh detik kemudian keadaan sudah kembali seperti semula, Weeby membuang wajahnya ke samping, tidak ingin bercengkrama dengan mereka berdua lagi.
"Kenapa Lmlo marah-marah gitu? Jangan-jangan ucapan gue benar lagi." Netta semakin sibuk menggoda Weeby, sesekali menatap Marcell yang masih saja duduk dengan Resti. Mereka berdua terlihat sangat serasi.
"Enggak, ngapain juga gue suka sama manusia nyebelin kayak dia, kayak nggak ada cowok lain aja." Weeby memutar malas kedua bola matanya, hingga berhenti saat Marcell sedang menyuapi Resti sesendok bakso.
Seketika hati Weeby semakin dongkol, entah kenapa perasaan menjadi sebal pada tindakan Marcell pada Resti itu.
"Tapi Marcell ganteng lho By, tuh lihat serasi banget kan mereka, pake acara suap-suapan segala lagi, gue jamin bentar lagi pasti mereka berdua bakal pacaran," seru Kenya dengan yakin.
Setelah menyimak ucapan Kenya barusan, Weeby kembali menyapu pandangan ke arah Marcell. Weeby sekarang mau mengakui bahwa Marcell memang memiliki wajah yang ganteng.
"Ih apaan sih Resti? Pacaran aja belum pake acara minta disuapin segala lagi," dengkus Weeby kesal.
"Tuh kan lo nggak suka gitu, ngapain lo kesel kalo nggak suka sama Marcell? Tinggal ngomong aja apa susahnya sih By," omel Netta menggebu-gebu. "Lagipula ya, bisa jadi emang Marcell sendiri yang mau nyuapin Resti, bukan Resti yang minta."
"Bodo amat ah, gue cabut dulu."
Weeby langsung bangkit dari duduknya, tanpa menunggu Kenya dan Netta angkat bicara, Weeby langsung melenggang pergi.
"Eh By, bakso lo belum habis nih!" teriak Kenya dengan suara cempreng, namun Weeby sama sekali tidak menggubrisnya, ia malah semakin mempercepat langkahnya.
"Aneh banget tuh anak," cibir Netta, lalu ia fokus pada baksonya lagi. Pusing jika memikirkan Weeby secara terus menerus.
Weeby memilih pergi ke kelasya lagi, setelah sampai ditempat itu, dengan segera ia hempasan tubuhnya dibangkunya, dan dilanjutkan mengerucutkan bibirnya sebal.
"Lo kenapa mukanya kusut gitu By, lo lagi kesal sama Marcell lagi?" Uti bertanya, ia sudah tahu jika Weeby sedang kesal pasti Marcell lah penyebabnya.
Uti lantas mengembuskan napasnya dengan gusar lantaran Weeby yang tidak peduli pada pertanyaannya. Uti memilih untuk diam, membiarkan Weeby larut dalam pikirannya sendiri, mungkin saja Weeby sedang tidak mau berbagi masalahnya.
Lalu waktu bergulir begitu cepat, hingga bel jam pulang pun kini sudah terdengar.
Padahal bel pulang sekolah sudah berdering semenjak sepuluh menit yang lalu, namun Weeby masih bertahan pada posisinya, duduk dibangku sambil bergelut dengan pikiran liarnya.
Pada akhirnya Weeby memilih bangkit dari duduknya, dengan langkah kaki yang gontai, ia menuruni anak tangga.
"Gam, gue nggak mau putus sama lo!"
Weeby seketika langsung tercekat, langkah kakinya mendadak berhenti, indera pendengarannya baru saja menangkap seseorang mengeluarkan suara. Dan Weeby rasa, suara itu sangatlah familier.
Weeby melanjutkan jalan kakinya, kali ini ia lebih pelan seraya memasang telinganya lebih lebar lagi, Weeby ingin tahu dari mana sumber suara itu berasal.
Pantas saja Weeby tidak asing mendengar suatu itu, rupanya pemiliknya adalah Resti. Weeby terkejut, membulatkan matanya, dan dilanjutnya berjalan semakin mengendap bak seorang maling, iia ingin mendengar apa yang sedang Resti omongin.
Sekolah sudah mulai sepi, jadi Weeby tidak perlu takut apabila sedang menguping.
"Jadi lo minta gue nemuin di sini karena lo mau ngomong itu doang?" Gama melipat kedua tangannya, menatap tajam ke arah Resti. Setelah itu ia mengepalkan tangannya dan berdecih kecil.
"Gue masih sayang sama lo Gam, kenapa kita harus seperti ini?" lirih Resti lagi, mencoba membujuk Gama agar menarik kata-katanya. Resti menundukkan kepala dalam-dalam.
"Gue nggak bisa," balas Gama dengan suara tegas.
"Tapi gue masih sayang sama lo, nggak mungkin lo setega itu sama gue, kan?" Dengan segala tekad, Resti masih bersikukuh membujuk Gama supaya mau menurut. Bagaimanapun juga Gama adalah cowok yang dicintainya, rasanya sakit jika ditinggal seperti ini.
Mendengar percakapan itu Weeby langsung tercekat, ia tidak tahu bahwa Resti memiliki seorang pacar. Tapi sepertinya, dari apa yang ia dengar, mereka sudah putus dan Resti tidak terima dengan itu.
Weeby semakin larut, ia terduduk memasang telinga, mendengar pembicaraan itu lebih lanjut. Sungguh, Weeby sangat penasaran.
"Lo nggak boleh ningalin gue gitu aja," ucap Resti dengan intonasi suara yang terdengar sangat pilu, lalu kemudian ia terisak.
"Udah gue bilangin dari tadi, lo nggak denger? Gue udah nggak ada hubungan apapun sama lo, kita udah putus."
Semakin lama Resti semakin terisak, sementara Gama tidak peduli sama sekali. Gama malah merasa kesal dan illfeel dengan tingkah Resti yang menurutnya sangat lebay dan terlalu kenak-kanakan.
Resti kini memberanikan diri untuk menatap sang pacar, dengan derai air mata yang masih mengalir, Resti kemudian berucap, "gue hamil Gam, lo ingat kan waktu malam itu?" sedetik setelah itu raga Resti langsung menegang, isakan kecil kemudian mulai bermunculan.
"Apa?! Hamil? Nggak mungkin, itu bukan karena gue." Gama tersentak kaget, tidak percaya apa yang barusan Resti katakan.
"Gue nggak bohong, coba lo lihat ini." Resti menyodorkan sebuah testpack, dengan cekatan Gama langsung merampasnya dan melihat benda itu. Dua detik setelah itu Gama langsung tercengang, ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya itu.
"Bukan, nggak mungkin karena gue, lo pasti bohong, kan? Testpack ini pasti palsu, kan?" Gama menatap Resti lekat, tidak sabar dengan jawaban apa yang akan Resti keluarkan setelah itu.
"Ini asli, kalo lo nggak percaya, ayo ikut gue ke dokter," jawab Resti lebih mantap, namun suaranya sangat serak. Gama mendadak melamun, bergelut dengan pikiran liarnya.
"Itu nggak mungkin karena gue, pasti lo lakuin itu dengan cowok lain."
Gama mencoba mengelak, dituduh seperti itu membuat dirinya semakin frustrasi.
"Nggak, gue hamil memang karena lo, jadi lo nggak akan putusin gue, kan Gam?" Tatapan Resti semakin teduh, wajahnya mengisyaratkan agar Gama luluh.
"Jangan ngimpi, gue bakal tetep putusin lo karena lo udah nggak perawan lagi, gue nggak salah apa-apa," komentar Gama, masih membela dirinya.
"Please Gam, lo jangan putusin gue, gue hamil juga karena elo, oleh karena itu gue mau lo tanggung jawab atas perbuatan yang lo lakuin ke gue."
"Tanggung jawab?" Gama menaikkan satu alisnya ke atas, lalu ia tersenyum miring, "gue harus tanggung jawab sementara gue nggak salah apa-apa? Lo udah gila? Mana mungkin karena gue elo jadi hamil gini, pasti itu ulah cowok lain, bukan gue!" Gama semakin tersulut emosi, dengan nada suara yang tegas, dua berujar dalam satu tarikan napas. Sorot matanya begitu tajam.
Resti kemudian semakin terisak, mendengar penuturan Gama barusan membuat hatinya dongkol dan sakit. Bisa-bisanya Gama berbicara seperti itu.
"Gama, lo harus tanggung jawab atas perbuatan yang lo lakuin ke gue, lo harus mau bagaimana caranya!" Nada suara Resti naik beberapa oktaf.
"Nggak sudi, satu hal yang lo harus ingat, mulai sekarang lo nggak usah gangguin gue lagi."
Gama mengancam dengan suara tegasnya, ia kemudian melenggang pergi, meninggalkan Resti yang masih berdiri di tempat. Air mata Resti semakin turun dengan deras, kata-kata yang keluar dari mulut Gama sungguh menohok, begitu sakit membayangkannya.
Hanya dengan tangisan satu-satunya cara untuk menyalurkan keterpurukan ini, Resti semakin menangis dengan keras.
"Gama, kenapa lo jahat banget?" ucap Resti dengan suara lirih disela menahan isakan tangisnya. Resti sungguh kesal, ia lalu melempar testpeck-nya ke sembarang arah.
Bukan hanya Gama saja yang terkejut bukan main, nyatanya Weeby juga sama halnya dengan cowok itu. Saat kata hamil terlontar dari bibir tipis Resti, seketika Weeby langsung tercengang tak percaya, berulang kali ia mengerjap dan membulatkan kedua bola matanya dengan lebar.
"Resti hamil karena pacarnya?" Weeby berbicara sendiri, larut dalam pikirannya yang masih menyimpan banyak pertanyaan besar.
Weeby kembali menyaksikan Resti yang masih menangis, Weeby memilih tidak menghampiri cewek itu, lagi pula Weeby sama Resti belum akrab walaupun mereka sekarang dalam satu kelas yang sama.
Ekor mata Weeby masih terpaku ke satu titik, hingga Resti mulai beranjak dari sana, manik mata Weeby sama sekali tak lepas memantau cewek itu.
Dengan perasaan kacau dan pikiran yang sumpek, Resti berjalan dengan gontai. Hatinya sudah tercubit, perkataan tegas dari Gama beberapa menit yang lalu masih saja terngiang dan membekas diingatannya. Resti kemudian memberhentikan langkahnya, ia langsung tercekat.
Resti kembali berlari menuju ke tempat semula, ia ingin mencari testpack yang sudah dibuang tadi.
Resti masih saja mengorek-ngorek sampah, dedaunan kering yang berada di sekitar tempat itu, namun benda penting itu tidak kunjung ketemu.
Resti semakin limbung, ia merutuki kebodohan dirinya karena telah membuang testpack itu.
"Duh, di mana sih? Kalo ketemu orang lain bisa gawat nih," gerutu Resti lirih, ia masih mencoba mencari lebih teliti lagi. Pasti benda itu tidak jauh dari sana.
Mendadak Resti semakin gelisah, testpack miliknya tidak kunjung ditemukan, ketakutan-ketakutan yang kini hinggap di raganya semakin mencuat.