DELAPAN

1879 Kata
Lima puluh tahun lalu awal awal pemerintahan Jafar yang Agung, terkenal seorang wanita penghibur yang di gandrungi oleh para laki-laki. Seluruh Altar mengenalnya, perempuan itu bernama Lohye. Dia muda dan cantik. Suatu malam Lohye tidak bisa melayani para kesatria karena demam, demam Lohye sangat lama sampai berminggu-minggu. Satu persatu laki-laki yang terkhir kali tidur dengannya tumbang, sakit, lalu mati dengan kulit yang kehilangan warnanya menjadi putih pucat dan juga rambut mereka berubah menjadi putih pucat.  Tidak lama Lohyepun ditemukan mati di rumah bordir dimana dia bekerja, dengan kondisi yang sama. Satu-satu orang terdekat Lohye sakit dan mati dengan kondisi yang sama. Sleuruh Altar ketakutan, Raja Jafar kala itu masih belia, dia belum cakap memirintah kerajaan. Hingga menyebarlah wabah Lohye, menghabiskan sebagain dari penduduk Altar, banyak kejadian lain yang memperburuk keadaan, kelaparan, perampokan dan perkelahian antar Klan memanas. Mayat-mayat yang memutih bergelimpangan di jalan tidak ada yang berani menyentuh karena takut terkena wabah. Keadaan kerajaan hampir saja berada dalam kehancuran.  Jafar dengan perdana mentrinyapun mengumpulkan orang-orang yang terkena wabah dan mengirim mereka ke pulau kecil di tangah danau mati. Keputusan besar Jafar itu menjadikan Altar kehilangan tiga perempat penduduknya. Jafar kembali membangun Altar dengan bersusah payah, meminta kerja sama para Klan. Akhirnya Altar sampai pada hari ini, ketika pemusnahan besar-besaran itu terjadi.  Aku duduk malas, masih bersandar pada pohon zaitun, pura-pura tidak tertarik dengan cerita-cerita Deba tentang pulau Lohye.  "Apa yang terjadi setelah mereka datang ?"  Deba cerita sewaktu dia kecil pernah datang kesatria kerajaan ke pulau Lohye "Raja Jafar, entah apa yang dikatakan kesatria itu hingga yang Sang Raja Agung sudi bertandang ke pulau kami. Sang Raja Agung datang bersama dua orang kepercayaannya. Kedatangannya terlihat dirahasiakan. Kami sangat berharap, Sang Raja datang untuk membawa berita baik untuk kami. Tapi kami salah..." dia diam mencuri pandang padaku Aku cepat-cepat memalingkan wajah, tidak mau dia tahu kalau akupun sedang mendengar dongengnya.   "Raja ingin semua anak yang memiliki kelebihan ditenggelamkan"  Walau aku sedang pura-pura tidak peduli, tanganku  tetap mengepal marah mendengar cerita Deba. Anak-anak itu tidak bersalah.  "Seperti yang sudah kuceritakan, buntut dari wabah yang kami bawa ditubuh kami adalah anak-anak Lohye yang terlahir dengan kelebihan" dia diam sebentar merasakan kedingiann di tubuhnya. Sezarab dengan cepat membuka luarannya. Pakaiyan Klan berbsiik memang berlapis-lapis  karena tempat tinggal mereka berada di daratan tertinggi bersalju di Altar "Kakakku seorang pemuda yang memiliki kelebihan sebagai penyubur, dia bisa menumbuhkan pohon yang mati, bunga yang layu bahkan nafas yang terhenti"  "Sepertinya kita akan membutuhkan kakakmu" Ungkap Jon penuh semangat  "Mereka menenggelamkannya juga"  Mataku terpejam mengingat kembali bagaimana anak-anak yang menangisi ibu mereka di tiang gantungan klan Amor. Aku tidak sanggup membayangkannya. Tapi wajah Deba tidak nampak gentar ketika bercerita, wajahnya tenang dan manis. Malah seloroh kesal dari Jon yang memekakan telingaku.  "Malam kedatangan Sang Raja Agung itu mendatangkan longlongan kesedihan pada setiap rumah, satu dari kami berhianat, dia membocorkan nama anak-anak yang memiliki kelebihan. Bagaimanapun kami berusaha menyembunyikan anak-anak itu, mereka tetap mati. Aku merasa  beruntung karena aku tidak memiliki kemampuan apapun. Tapi satu tahun yang lalu, saat ulang tahunku yang ketujuh belas, aku terserang demam yang hampir membuatku mati. Disanalah pertama kali aku memimpikan Matiti dan Altar. Semakin lama aku semakin sadar akan kemampuanku dan mimpi-mimpi itu terangkai begitu jelas dan nyata. Peduduk Lohye tidak banyak jadi apapun yang kita sembunyikan lambat laun akan terdengar dan nasibku akan berakhir sama dengan kakakku " dia diam, meletakkan sisa domba yang tidak habis dia makan dengan gerakan begitu anggun  "Aku bertahan dan diam selama satu tahun terakhir. Pengelihatanku tentang Matiti seperti peledak di dalam diriku.  Aku terus gelisah, aku tidak menyukai ini. Aku juga tidak mau mati kalau orang tuaku tahu mereka pasti akan sedih. satu-satunya cara adalah belajar menahan nafas, setelah berhasil aku ceritakan semuanya pada kedua orang tua dan juga pemimpin kami. Aku ditenggelamkan tapi mereka tidak pernah tahu aku bisa memotong tali tambang dengan sehelai besi tipis" dia terlihat sangat senang dengan kenyataan itu  "Kau terdengar lebih hebat dari Matiti"  Hidup tidak pernah mudah kan ? Ketika Deba menceritakan kekejaman yang dialaminya, wajahnya tidak menyiratkan apapun. Dia justru bertutur sangat tenang, seperti bisikan malam yang pelan-pelan menyusup di sela-sela kantuk yang berat. Suara Deba sangat menangkan.  "Bagaimana Matiti ?" Tiba-tiba saja Jon mengajukan pertanyaan padaku  Sezarab mengulangi pertanyaannya "Ada sebuah rumah yang terlihat menyala perapiannya di dekat sini, tidakkah lebih baik kita beristirahat dulu, bagaiman menurutmu ?"  Owh ternyata itu yang ditanyakan. Aku melihat malam yang sudah menjelang pagi "Akupun berpikir berpikiran sama. Terlalu berbahaya berjalan pada siang hari" pandanganku berjalan melihat mereka satu persatu "Tapi kurasa kau harus penyekap pemilik rumah itu" imbuhku Mulut Jon menganga tidak percaya,  Deba berseloroh  tidak setuju "Tapi kenapa ? mereka mungkin hanya orang biasa"  "Kita perlu menyembunyikan identitas kita, bertamu seperti biasanya terlalu berbahaya untuk saat ini" kataku meyakinkan "Kita gunakan apapun yang ada di rumah penduduk itu sesuai kebutuhan kita. Kau harus mengganti pakaiayanmu" aku melihat Deba dan dia terlihat bingung "Aku harus beristirahat dengan nyaman dan kita perlu menyiapkan perbekalan untuk perjalanan ini "  "Maksudmu kau ingin menjarah rumah penduduk tak berdosa ? Kau terdengar seperti Olexys sekarang" Jon tidak sependapat denganku "Kita bisa menggantinya dengan Late yang kita miliki. Siapapun mereka, mereka adalah orang-orang yang punya mulut buat mengadu pada Olexys, dan saat ini belum waktu untuk membangun citra baik, Jon"  "Bagaimana kalau aku mencari tahu" Deba menawarkan diri "Aku bisa menggunakan pengelihatan hewan-hewan di dekat rumah itu" matanya meyakinkan "Apa bila ada anak-anak di rumah itu, kau tidak boleh menyekap mereka"  "Bisa kupertimbangkan" aku penasaran dengan pengelihatan apa yang dimaksud, kupikir kemampuannya hanya melihat masa depanku saja ? "Gunakan pengelihatanmu dan berikan aku informasi yang lengkap" kataku menuntut  Deba mendengus marah, dia menghela nafas berkali-kali memangutkan matanya tak terlepas dari matakku. Bola matanya tiba tiba menjadi hitam bulat dan bagian putih matanya berubah berwarna kuning menyala. Tunggu.Tunggu, Apa yang terjadi pada anak ini. Tubuhnya membeku, seperi tidak memiliki nyawa. Dia mematung.  "Biarkan dia" Sezarab memperingati aku dan Jon. Kami saling pandang mencoba membaca pikiran masing-masing tapi yang sama-sama keliatan dari wajah kami adalah ekspresi kebingungan. Sesungguhnya aku dan Jon adalah laki-laki yang besar jauh dari sihir atau tetekbengeknya. Kami tumbuh di Klan yang penuh perhitungan, Baba sendiri tidak mempercayai dukun tapi sangat menghormati orang-orang yang menyebut dirinya pelajar.  Kami mendengar suara burung hantu berkukuk dari kejauh terbang melintasi kami, jauh ke arah selatan "Apakah sekarang dia sedang menggunakan pengelihatan burung hantu ? "  "Ku rasa begitu" jawab Sezarab, Sezarab melihatku "Anak ini tidak berbohong Matiti. Apapun yang dikatakannya tentang pulau Lohye benar dan apapun pengelihatannya tetang dirimu itu benar. Dia tidak pernah ragu sedikitpun padamu, jadi aku berharap kau juga menaruh kepercayaan pada Matiti di masa depan itu"  Mungkin dia benar tapi aku masih berpikir ada yang salah dari semua ini. Mungkin seharusnya aku percaya sepenuhnya tapi masih ada ruang hampa, pada sepetak ruang itu gadis ini bisa menaruh belati, peledan dan racunnya, yang bisa menyulitkanku di kemudian hari.  Kami menunggu pengelihatan Deba kembali, aku terus-terusan melihat bola mataku kuningnya. Aku lebih suka melihat bola mata itu berwarna biru laut, seperti sebelumnya waktu dia berkaca-kaca karena tangannya ku lempari kayu.  "HUFTT" Tubuhnya tersentak kebelakang.  Jon sekali lagi hampir menyentuhnya, untungnya aku dapat menahan tangannya. Deba, kembali dengan nafas yang terburu-buru. Deba kembali terduduk menegakkan diri. Pandangan Deba langsung mengarah padaku "Mereka sepasang suami istri, tidak ada anak-anak. Mereka memiliki kuda, ayam yang banyak dan domba-domba. Rumah mereka cukup nyaman. Sang istri sedang memasak dan suaminya terlihat cemas. Mengasah senjatanya mungkin mereka sedang bersiap untuk menghapadapi pasukan Olexys..." Deba terdiam "Mereka tidak terlihat berkepala besar, mereka terlihat normal seperti penduduk pesisir"  "Senjatanya ?"  "Hanya pedang yang tumpul"  "Kau yakin tidak melihat ada orang lain disana ?"  Dia mengangguk. Akupun bangkit berdiri dengan sangat yakin "Tidak ada anak-anak, itu berarti kita menyekap mereka"  Deba terlihat tidak suka dengan keinginanku. Tapi Jon nda Sezarab ikut berdiri dan tidak membantah.  Rumah mereka terlihat sangat hangat, mereka mungkin hanya pendatang yang membeli peternakan salah satu klan kepala besar dengan negosiasai sepadan hingga bisa hidup dengan nyaman di perklanan yang terbilang sengit di Altar.  "Kau bisa dari depan" kata Deba meyakinkan  Aku melihatnya awas, ketika menutup wajahku. Aku memgang kunaiku erat "Kau tidak memerintah Deba, mundur"  Debapun berjalan kebelakang dengan tampang sebal padaku. Sezarab mendobrak pintu, tapi dia tidak berhasil Jon tahu kalau itu persoalanan bobot tubuh maka seharusnya dia yang mendobrak. Sekali membanting tubuhnya seluruh gubuk itu hampir dibuatnya rubuh.  Nampan masakan jatuh dari tangan mungil seorang istri yang cantik. Seorang suami yang sedang duduk langsung mengangkat senjatanya, mencoba melindungi istrinya menarik sang istri untuk berdiri di belakangnya.  "Ha-ha" si Bodoh Jon dia tidak harus menakut-nakuti.  Sebelum Sezarab membuka sarung pedangnya aku maju. Ku letakkan tanganku di udara "Seharusnya tidak terjadi perkelahian"  "KALIAN MASUK TANPA IJIN, SIALA**AN" Bentak laki-laki bertubuh tinggi dan berperawakan sangat kurus. Dia mengacungkan pedang dengan tangan gemetar  Aku memintanya untuk tenang "Paman, teman-temanku ini akan mengurus kalian. Aku pinjam rumah kalian. Untuk kepentingan bersama. Berbaik hatilah pada kami, kami cuma seorang peziarah miskin. Dia" aku menunjuk Jon "Menghabisi sisa makanan kami"  Sezarab maju, dengan gerakan cepat menggoyangkan pedangknya hingga pedang di tangan si sumi terpental jauh, tidak ada apa-apanya dengan pedang berat hasil curian Sezarab "Dan kami tidak menerima penolakan !"  Wajah si peria seketika pucat, dia mundur. kakinya seirama dengan sang istri. Aku mengedikkan kepalaku ke kiri. Sezarab menaruh pedangnya di leher laki-laki itu "Berlutut tuan pengembala"  Laki-laki itu tidak punya pilihan banyak, sambil tidak melepaskan tangan istrinya dia berlutut di lantai. Jon maju mendorong kepala laki-laki itu ke bawah agar tidak terus menerus melihat wajah mereka. Dia segera mengambil tali. Meringis melihat sup yang keliatannya sangat enak tertumpah di lantai batu. Setelah mengikat dan menyumpal mulut mereka. Jon dan Sezarab membawa suami istri itu kebelakang.  Aku bisa bernafas lega sekarang, rumah mereka hangat sekali. Tidak banyak ruangan untuk di periksa. Hanya ada satu kamar tidur yang hangat dan satu kamar tidak terpakai. Ruang utama rumah ini cukup luas dengan perapian menyala di tengah ruangan, dapur berada di sisi yang lain ruangan. Ada meja makan dan satu kursi panjang yang empuk.   Aku memperhatikan Deba yang sedang memeriksa persediaan makanan di dapur "Ganti pakaiayanmu Deba ! Gunakan yang tertutup kalau kau bisa menemukan sarung tangan di rumah ini gunakanlah" Aku membuka kamar suami istri itu "Istirahat di dalam"  Dia terdiam  "Kamu mau tidur dengan kami ?"  "Tidak.Tidak..."  "Ketika matahari terbenam kita tinggalkan rumah ini"  Dia masih terdiam, mulut terbuka untuk bicara tapi dia mengurungkan niatnya. Sementara aku mengelilingi rumah melihat-lihat, apa yang bisa kami bawa dari rumah ini.  Deba masuk ke kamar suami sitri tadi. Sebelum masuk dia membuka pintu "Matiti" panggilnya  Aku  menoleh "Aku turut berduka" dia berdaham sebentar "Keluargamu pasti orang baik"  "Tutup mulutmu dan tidurlah"  Raut wajahnya berubah kesal, dia membanting pintu dengan suara debaman cukup keras. Aku berdecak.  Aku menyangga tubuuhku dengan tangan di sebuah meja dapur melihat ke luar jendela padang bukit kecil-kecil Bokrok terlihat menukik turun naik seperti awan-awan yang timbul tenggelam. Aku menghela nafas dalam. Menyebut nama mereka satu persatu dalam diriku. Ibu, Baba dan Hariti.. dan juga Lio. Seharusnya sahabatku itu menikah dulu sebelum hal seburuk ini menimpanya. Kini tinggal sisa Jon dan aku.  Untuk sejenak malam itu, yang menjadi titik balik hidupku aku ingin membiarkan diriku larut dalam kesedihan. Tidak menangis, cuma merasakan sesaknya duka.  Malam ini akan segera berlalu, aku masih harus hidup. Untuk Altar
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN