“Terimakasih atas makan malam yang benar-benar lezat. Kupikir, mulai malam ini, aku akan lebih sering datang kemari.”
John dan Diana sontak tertawa pada perkataan Justin barusan. Sedangkan Ellina dan Vionna saling pandang, kegirangan.
Hana ada di sana, namun hanya menunduk, terlihat tidak terlalu memperhatikan. Sedangkan Justin yang melirik padanya tampak tidak senang dengan sikap Hana yang seperti itu. Sesuatu mengilas di matanya, dia berdecak pelan, namun tidak satupun yang menyadarinya.
“Kau tahu pintu rumah kami akan selalu terbuka untukmu, Son.” John menyahut, benar-benar tidak menyadari raut di wajah Justin yang sejenak berubah masam.
Mereka tengah berada di teras. Mengantar Justin hingga mobil jemputannya datang. Dan tidak lama, sebuah mobil hitam yang kacanya juga berwarna hitam berhenti di hadapan mereka.
Justin menoleh ke belakang, sebelum turun dari tangga teras kediaman Fidelis, dia tersenyum dan berucap; “Sampai jumpa di kantor besok pagi, Paman. Dan bibi, sampai jumpa minggu depan.”
Justin melirik Ellina dan Vionna bergantian dan tersenyum pada mereka, yang sontak membuat pipi kedua perempuan itu bersemu merah.
“Sampai jumpa, Justin.” Ellina mengangkat tangannya, yang dijawab Justin dengan anggukan singkat sebelum pria itu akhirnya masuk ke dalam mobil.
Ellina, Vionna, dan Dianna melambaikan tangan ketika mobil Justin berjalan. Tapi Justin sama sekali tidak memperhatikan. Alih-alih, pandangannya jatuh pada sosok di samping Fidelis yang terus saja terdiam sedari tadi.
Namun kali ini, gadis itu mengangkat wajahnya dan menatap kepergian mobil Justin.
***
“Hana.”
Hana yang baru saja hendak kembali ke kamarnya ketika suara ayahnya yang memanggil namanya menghentikan niat gadis itu, pun berbalik.
“Ya, Ayah?”
“Bisa ikut denganku sebentar? Ada beberapa hal yang ingin kubicarakan.”
Menatap John sekilas, ada kilatan bahagia di mata Hana yang tidak bisa dirinya sendiri tahan. Dia menganggukkan kepala dan mengikuti ayahnya menaiki tangga di mana ruang kerja ayahnya terletak.
Hana menebak-nebak, kira-kira apa yang John hendak katakan? Karena setelah berbulan-bulan, mereka sama sekali tidak pernah berbicara serius berdua. Bahkan John hanya berbicara padanya ketika ada perlu saja. Tidak seperti ketika pria itu mengajak bicara dan mengobrol pada ketiga anaknya yang lain. Itu pernah membuat Hana iri, hingga dia pun sadar posisinya di dalam keluarga ini. Dan lagipula, Hana merasa, tidak ada yang perlu diirikan dari mereka.
Kita semua punya kelebihan masing-masing, begitu katanya.
Dan kali ini, Hana sampai dibuat berdebar ketika mengambil langkah demi langkah menuju ruang kerja John yang terletak di sayap Timur, bersebrangan dengan kamar Hana.
Pintu terbuka, dan aroma pinus langsung menyeruak ke indera penciumannya. Tanpa sadar Hana menghirup napas dalam-dalam, salah satu aroma yang dia suka, sama seperti aroma lembaran buku baru yang sudah familiar dia cium.
“Kau boleh duduk,” kata John, mempersilakan Hana duduk pada sofa berwarna cokelat tua di tengah-tengah ruangan.
Ketika John tengah menuangkan air dari teko ke gelas, Hana sibuk memperhatikan ruang kerja ayahnya.
Hampir semua lapisan tembok ditutupi oleh rak buku. Ada sebuah meja besar di ujung tengah ruangan lengkap dengan kursi putarnya, laptop, peralatan tulis, dan kertas-kertas yang Hana tebak adalah bagian dari pekerjaan ayahnya.
“Hana.”
Hana pun menoleh.
John memperhatikannya beberapa saat. Sungguh disayangkan sebab yang hanya bisa dia lihat hanya mata gadis itu saja. Namun mata kan juga mampu berkata-kata.
“Berapa usiamu?” tanya John tiba-tiba setelah beberapa menit terdiam memperhatikan putrinya.
Hana terhenyak. Ayahnya sendiri tidak tahu usianya berapa? Oh. Hana mencoba untuk mengabaikan perasaan sendu di dadanya dengan senyuman tipis yang sekalipun tidak terlihat, tetap juga dia lakukan.
“Delapan belas, Ayah.”
John mengangguk. Ini, bukan berarti dia tidak tahu. Bahkan seluruh biodatanya pun John sudah hapal, dia hanya mempertegas apa yang hendak dibicarakannya.
“Delapan belas, ya.” John bersandar pada sofa, mengusap dagunya pelan dan tampak seolah tengah memikirkan sesuatu. “Apa di umurmu itu, kau tidak berniat untuk menikah?”
Menikah?
Mendengarnya seperti tersiram air es di musim dingin. Hana membeku dengan mata terbelalak terkejut.
“Me-menikah?” tanyanya dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
“Apa kau pernah berpikir untuk melakukannya? Dari yang kudengar, perempuan sepertimu dianjurkan untuk menikah sedini mungkin. Benar, kan?”
Apa Hana pernah memikirkannya? Jawabannya adalah ya, dia pernah. Namun Hana hanya berpikir bahwa suatu hari nanti dia akan menikah dengan jodoh yang Allah pilihkan untuknya. Suatu hari nanti itu, entah kapan.
Bisa saja hari besok, lusa, atau minggu depan. Dia hanya tidak pernah terlalu memikirkannya. Dan lagi, semasa hidupnya ini, Hana terlalu jauh dari radius para lelaki.
“A-ayah… ayah benar, kami memang dianjurkan untuk menikah dini… jika memang sudah siap.” Hana pun akhirnya menjawab. Dia menatap ayahnya dan melihat lelaki itu tersenyum. Senyum yang Hana asumsikan bermaksud makna lain, bukan jenis senyuman tulus seorang ayah pada putrinya tercinta.
“Kalau begitu, apa kau siap untuk menikah?”
Sejenak, Hana menahan napas setelah mendengar pertanyaan ayahnya.
Tunggu dulu, apa ini?! Batinnya berteriak. Apa yang tengah ayahnya lakukan? Bertanya-tanya tentang pernikahan. Apa dia akan dinikahkan dengan seseorang oleh ayahnya? Perjodohan, kah? Tapi itu mustahil!
“Hana?”
Hana pun menoleh pada John lagi. Dia menarik napas dalam-dalam dan menjawab pertanyaan ayahnya tanpa keraguan.
“Aku siap, kapanpun. Asal dia memang jodoh yang Tuhan pilihkan untukku.”
Senyum John Fidelis semakin lebar.
“Hm… kalau begitu hal ini tidak akan jadi masalah untukmu.”
Hana sempat melihat, raut kelegaan di wajah ayahnya yang hanya bertahan sesaat karena tergantikan oleh raut puasnya.
Hana mengernyit, tidak mengerti dengan ucapan John barusan. “Apa maksud ayah?” tanyanya hati-hati. Di matanya, jelas terpancar raut kecemasan. Dan Hana berdoa di dalam hati, agar apa yang ada di benaknya saat ini tidak benar-benar terjadi.
“Kau akan menikah…”
Menikah?!
“…dengan Justin Claybourne.”