“So, moon face, are you coming?”
Hana yang baru saja kembali dari danau bertemu dengan Vionna yang tengah berdiri di ambang pintu belakang. Sontak Hana menghentikan langkahnya dan menatap Vionna dengan tatapan bertanya. Dia bingung dengan pertanyaan Vionna yang ambigu.
Gadis berperawakan model itu pun memutar bola matanya jengah.
“Makan malam nanti.”
Ah. Barulah Hana mengerti. Ia memeluk sketchbooknya di d**a, dan tanpa pikir panjang Hana mengangguk.
“Bukankah ayah bilang begitu? Kita semua harus hadir.”
Hana tersenyum manis pada Vionna, kemudian ia melanjutkan langkahnya untuk masuk sebab sebentar lagi akan turun hujan di mana langit telah diselimuti awan kelabu tebal.
Vionna menarik tangan Hana dan memaksanya berbalik dengan kasar. Hal itu, membuat dzikir di bibir Hana terhenti dan berakhir pada lafaz Istigfar yang ia suarakan kencang karena keterkejutannya.
Vionna tidak terlalu mempedulikan hal itu. Dia menatap Hana rendah.
“Kau bilang, kita semua? Sayangnya, Hana, harus kukatakan bahwa kata semua itu mengacu pada keluarga Fidelis, sedangkan kau? Siapa kau pikir dirimu, hm?”
Hana menatap lantai, menggigit bibirnya keras, menahan rasa perih di dadanya yang entah bagaimana membuat matanya memanas. Dia adalah Hana. Dan mau bagaimanapun, John Fidelis adalah ayah kandungnya, bagaimana Vionna masih bisa mempertanyakan hal itu?
Ah, tapi Hana membenarkan juga dalam hati. Vionna memang benar. Di tengah kehidupan keluarga Fidelis yang harmonis, kemunculannya sebagai anak dari istri yang tidak pernah diketahui keberadaannya tentu saja merusak kata ‘harmonis’ itu. Belum lagi, Hana lah yang paling berbeda di antara mereka. Jauh berbeda. Namun hal itu tidak pernah menjadi masalah bagi ayahnya. John sendiri membebaskan Hana apapun keyakinannya. Dan untuk apa dia mempedulikan komentar Vionna yang jelas-jelas tidak tahu apapun.
Lagipula, dia tidak butuh ridho manusia untuk selamat di akhirat nanti. Hana datang jauh-jauh dari Palestina itu tujuannya cuma satu, bertemu dengan ayahnya. Lantas, dia pun mendongak, menatap Vionna. Dan tatapan Hana itu, semakin membuat senyum miring di bibir Vionna mengembang.
“Aku tetap akan ikut,” kata Hana kemudian. Dan raut puas di wajah Vionna tersapukan karenanya.
Jika Vionna pikir Hana akan mengalah begitu saja, maka ia benar-benar salah. Karena selanjutnya, gadis dengan kerudung hitam itu menghentakkan tangannya kasar dari genggaman Vionna dan melanjutkan langkahnya menjauh dari sana.
***
“Miliki keberanian, Hana. Karena kalau tidak, kau tidak akan mampu melawan. Dan itu artinya, kau akan kalah sebelum berperang.”
Hana sedang melamun di kamar, menatap langit malam yang tertutup awan kelabu kelam, ketika perkataan neneknya terlintas di kepala.
Satu jam lagi, Justin Claybourne akan datang. Hana seharusnya saat ini sedang bersiap-siap, seperti yang Diana kira tengah ia lakukan. Namun alih-alih demikian, gadis itu malah terdiam di ambang jendela dan melamun. Sedang pikirannya berkecamuk.
Kepala Hana menoleh ke belakang, menatap tanpa minat pada sebuah dress berwarna maroon yang seharusnya ia pakai untuk makan malam yang katanya penting ini. Jika Hana tidak melakukannya, Vionna dan Ellina mungkin akan senang sebab itu artinya dia tidak akan datang. Namun, Hana tidak ingin mengecewakan ayahnya. Sekalipun pria itu tampak seakan tidak peduli padanya, tapi beliau adalah seorang ayah yang selama ini Hana damba-dambakan, yang selama ini Hana impikan untuk miliki. Mau bagaimanapun, Hana tetap bahagia bisa bertemu dengan ayahnya. Dan dia menyayangi pria itu.
Tapi, satu-satunya masalah saat ini adalah fakta bahwa Hana begitu ingin datang, namun di sisi lain ia tidak akan sudi mengenakan pakaian yang Ellina sodorkan padanya sore tadi. Apa Hana masih bisa datang ke makan malam ini dengan mengenakan pakaiannya sendiri? Well, hanya makan malam, kan? Bukankah itu sama saja seperti malam-malam sebelumnya? Yang membedakan hanya sosok Justin Claybourne yang akan turut hadir bersama mereka.
Itu saja, pikir Hana.
Lagipula, untuk apa merasa takut memperjuangkan sesuatu yang benar?
“Ya Allah, apapun yang hamba lakukan, hamba mohon perlindunganMu,” bisiknya
***
Satu jam tidak terasa telah berlalu. Diana mengetuk pintu kamar Hana pelan. Wanita itu telah siap dengan gaun mewah berwarna cokelat serta dandanan yang sangat cantik. Ia menunggu pintu putih di hadapannya terbuka. Namun, sebuah suara lembutlah yang menyahut ketukannya.
“Kupikir, aku akan sedikit terlambat, Mama.”
Diana mengernyit dan bertanya khawatir, “Kau baik-baik saja, Hana?”
“Aku baik-baik saja,” jawab sebuah suara samar.
“Baiklah, kalau begitu segeralah turun, lima menit lagi tamu kita akan datang.”
Di dalam, Hana mengangguk. “Ya,” jawabnya kemudian.
Hana lantas bersandar pada pintu ketika suara ketukan heels yang dikenakan Diana terdengar menjauh. Ia menghembuskan napas pelan, kemudian menjauh dari pintu menuju sebuah cermin besar yang saat ini menampakkan seluruh tubuhnya yang telah terbalut pakaian berwarna maroon dengan kerudung panjang lengkap dengan niqabnya.
Hana sebenarnya sudah siap semenjak lima belas menit yang lalu. Dia hanya mandi, wudhu, bersisir, lalu berpakaian. Tidak ada tanda riasan apapun di wajahnya. Seperti yang Ellina bilang, bahwa malam ini, Hana harus tampil cantik supaya tidak mempermalukan keluarga Fidelis.
Sayangnya, definisi cantik dalam kacamata Ellina dan Hana jauh berbeda. Mungkin bagi Ellina cantik adalah pakaian yang kau kenakan, atau make up yang kau poles di wajah. Tapi bagi Hana, cantik tidak selamanya tampak dari luar. Karena kecantikan yang kuat akan terpancar dari dalam.
Setelah hampir satu menit Hana mempersiapkan mentalnya, Hana pun beralih dari cermin menuju pintu. Membukanya, kemudian menutupnya di belakang. Lalu Hana berjalan di lorong yang cukup panjang mengingat kamarnya terletak di bagian rumah paling barat. Dia pun sampai pada belokan tangga spiral.
Samar, Hana mendengar suara ayahnya tengah berbincang dengan seorang pria bersuara berat. Suara tawa kedua kakak perempuannya juga membuat dugaan di benak Hana semakin kuat.
Tamu mereka pasti sudah datang.
Hana berjalan pelan menuju ruang makan. Suara obrolan mereka pun kian jelas terdengar, hal itu membuat jantung Hana berdetak tidak beraturan. Sebab ini, hampir sama rasanya seperti ketika dia pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini dan bertemu dengan orang-orang baru yang sekarang harus dia sebut keluarga.
Ketika Hana muncul di ruang makan, tidak satupun dari mereka menyadari kedatangannya. Hingga sepasang mata hazel tidak sengaja tertuju padanya. Dan ya, hanya tertuju padanya.