********
"Kita mau ke mana Pak?" tanya Karina begitu mobil yang ia tumpangi justru berjalan melewati gedung kantor mereka.
Bara menoleh singkat. "Kayaknya Saya butuh healing," jawabnya.
"Bapak mau liburan? Apa mau ke rumah sakit?"
"Ikut aja," jawab Bara lagi.
Karina sih oke oke saja toh jadwal Bara juga semenjak ia sakit dipangkas nyaris lebih dari setengah jadwal biasa. Jadi ia lebih santai daripada dulu.
Mereka sedang berhenti di lampu merah, tapi sampai lampu hijau dan klakson bersautan Bara tak menginjak gasnya.
"Pak, udah lampu hijau."
Bara yang seolah melamun, tersadar dan langsung menjalankan mobilnya lagi. Sejak dari tadi Bara terlihat sepeti sedang memikirkan sesuatu yang menyita fokusnya.
"Bapak nggak apa - apa?"
Bara hanya menjawab dengan deheman, membuat Karina bingung. Cepat sekali berubahnya mood bosnya ini, sudah macam perempuan saja pikirnya.
Mereka sampai di depan sebuah gedung yang Karina tahu sebagai showroom mobil.
"Bapak mau beli mobil?"
Bara lagi - lagi menjawab dengan deheman sembari mengangguk dan keluar dari mobil.
"Ini healing yang Bapak maksud?"
"Iya. Saya mau beli mobil impian Saya," jawabnya. Kemudian berjalan masuk ke showroom mobil asal inggris tersebut.
"Sultan mah gitu, healingnya bukannya istirahat di rumah atau shopping di mall tapi shoppingnya showroom mobil," desisnya tapi jelas Bara bisa mendengarnya. Ingat entah karena telinga Bara yang kelewat peka atau Karina yang kalau berdesis atau berbisik terlalu kuat.
"Terus kalau Bapak beli mobil baru, mobil itu gak mau dikasih ke Saya aja Pak?" tanya Karina sengaja. Mana tahukan iseng - iseng berhadiah, haha.
Bara menoleh padanya.
"Boleh. Tapi syarat dan ketentuan berlaku."
Karina mencebik, tidak suka dengan kalimat syarat dan ketentuan berlaku tersebut, bisa - bisa bukannya resign dia malah jadi harus bekerja seumur hidup.
"Nggak bisa gratis aja Pak?"
"Nope. Nggak ada yang gratis di dunia ini."
"Oksigen gratis Pak. Ini bisa nafas bebas tanpa dipungut biaya apapun."
"Itukan kalau Kamu sehat kalau sakit beda lagi ceritanya."
Karina lagi - lagi cemberut, memang kapan dia bisa menang berdebat dengan Bara? Tidak pernah.
"Bapak mau beli yang mana?" tanya Karina begitu mereka berjalan berkeliling melihat mobil - mobil yang harganya bisa membuat Karina kehilangan satu ginjalnya.
"Yang mana yang bagus."
Karina bergumam, celingukan melihat deretan mobil mahal tersebut.
"Itu aja Pak. Atapnya bisa dibuka," sarannya.
Bara menggeleng. "Gak cocok buat Saya. Kalau Kamu yang perempuan baru cocok."
Karina yang mendengar itu, jiwa gratisannya kembali terpanggil.
"Gak mau beliin Saya Pak?"
"Nanti Saya belikan."
"Serius Pak?" tanya Karina tak percaya mendengar ucapan Bara.
Bara menoleh, tersenyum penuh makna. "Ingat ada syaratnya."
Karina mencebik lagi. Dia sebenarnya ingin tahu syaratnya apa, tapi dia terlalu takut untuk mendengar jawabannya.
"Gak deh Pak. Makasih."
"Yakin nggak nyesel?"
"Nggak. Bisa nebeng mobil Bapak tiap hari aja udah syukur. Nanti kalau ada yang nanya pernah naik mobil model begini? Saya bisa dengan bangganya menjawab kalau Saya udah pernah naik."
"Apa bangganya kalau cuma pernah naik?"
"Cih. Bapak tu jangan ngerusak kebahagiaan orang kenapa? Semua orang itu bisa bahagia dengan hal kecil sekalipun."
Belum Bara menjawab sebuah panggilan terdengar.
"Loh, Ditya," seru seorang pria berseragam showroom.
Mereka menoleh, bahkan karyawan yang mengekori mereka saat masuk tadi menoleh.
"Dityakan?" tanyanya lagi memastikan.
"Herman?" ucap Bara.
"Iya Gue Herman. Apa kabar Lo?"
"Baik. Kamu apa kabar?"
"Kabar baik."
Mereka mengobrol saling sapa, Karina hanya celingukan bingung, mereka saling kenal. Tapi kenapa orang yang sependengaran Karina bernama Herman yang merupakan teman SMA Bara ini memanggil bosnya itu dengan panggilan Ditya?
"Lo ke sini mau beli mobil?" tanya Herman, lalu melirik ke arah Karina, gadis itu langsung tersenyum formal.
"Iya. Kamu kerja di sini?"
"Iya Gue kerja di sini. Ini siapa?"
Lagi - lagi Herman melirik ke arah Karina dengan pandangan ingin tahu. Karina tersenyum lagi, kemudian memperkenalkan diri sembari mengeluarkan kartu namanya, formalitas Karina saat bertemu dengan klien atau teman sang bos.
"Saya Karina, sekretaris Pak Bara," jawabnya. Herman menatap Karina dan Bara bergantian.
"Bara? Lo sekarang dipanggil Bara?"
Bara hanya mengangguk.
"Wih, udah punya sekretaris aja Lo. Sukses banget kayaknya ya."
"Alhamdulillah."
"Jadi mau beli mobil yang mana?"
Mereka masih mengobrol, sedangkan Karina mengekori mereka, sampai akhirnya Bara memilih satu mobil yang harganya paling uwah diantara yang lain. Orang kaya mah bebas, pikir Karina. Kapan dirinya bisa begitu juga?
"Makasih ya udah beli. Lumayan bonus Gue jadi makin gede," ucap Herman.
" Tapi Gue salut sama Lo, Lo sukses banget sekarang. Ratu pasti nyesel banget tuh kalau tahu sekarang Lo udah jadi direktur. Bahkan jauh lebih sukses daripada suaminya?"
Karina yang ikut duduk di meja yang sama memandang bingung. Ratu siapa? Karina asing dengan nama itu.
Bara hanya tersenyum kecil tak menjawab.
"Sudah masa lalu. Mungkin dari itu juga Aku jadi bisa lebih maju."
"Iya sih. Dulu itu parah banget. Tapi Lo hebat bisa bangkit dan sesukses saat ini. Ingat dibalik kesuksesan ada mantan yang menyesal,haha."
"Eh mantan? Pak Bara punya mantan?" ucap Karina dalam hati. Sepertinya ia baru saja mendapatkan informasi yang berpotensi menjadi gosip hot.
"Oiya. Gue mau anniversary pernikahan sabtu malam. Bentar Gue kirim undangan virtualnya. Datang ya mana tahu ketemu mantan," canda Herman.
Karina yang mendengar itu jadi kepo, seperti apa mantan masa lalu dari bosnya ini. Bahkan selama ia bekerja sebagai sekretaris Bara, tak sekalipun ia melihat bosnya itu menjalin hubungan dengam perempuan. Teman dekat perempuan saja tak ada selain anggun.
Apa mungkin karena si Ratu ini mangkanya Bara jomblo begitu lama?
"Hmm." Bara melirik ke arah Karina.
Karina tak mengerti apa maksud dari tatapan Bara.
"Bapak sabtu malam ini kosong kok. Sekalipun ada jadwal bisa Saya atur supaya kosong," ucap Karina. Bara rasanya ingin menganga. Bukan itu maksud yang hendak Bara sampaikan. Ia sebenarnya benar - benar tak berniat bertemu dengan teman SMAnya.
Karina menatap Bara bingung. Apa dia salah bicara? Maksud Karina kan Baik.
"Waah. Ditunggu kedatangannya ya. Pasti pada heboh ni alumni kalau dengar Lo mau datang."
Bara tertawa canggung. Dan obrolan berakhir dengan hembusan napas berat dari bosnya itu.
"Kenapa Pak?" tanya Karina polos begitu mereka di jalan kembali ke kantor.
"Kamu yang wakilkan Saya datang ke pesta Herman akhir pekan ini."
Karina yang sedang menyetir menolah." Loh Pak kok gitu?"
"Kan Kamu yang mengiyakan."
"Lah kan Bapak emang gak ada jadwal. Kan biar Bapak bisa sekalian reuni."
"Saya gak minat."
"Kenapa sih Pak. Kan lumayan bisa pamer kalau sekarang Bapak udah sukses."
"Justru itu malasnya Saya kalau pergi ke reuni."
"Malas karena itu atau takut ketemu mantan Pak?" tanya Karina. Bara tak menjawab, matanya hanya fokus melihat ke arah luar jendela.
Seharian ini Bara tak banyak bicara, ia kebanyakan diam dan tumben - tumbennya tak meromusa Karina dengan tumpukan pekerjaan jadi Karina sedikit santai.
Dia sebenarnya mau segera bergosip sengan gengnya, tapi ia bersabar sampai saat ia melihat wujud perempuan bernama Ratu yang pernah bertahta di hati bosnya yang terkenal dingin pada perempuan itu.
Tapi bagaimana caranya ia bisa melihat si Ratu itu? Masa iya ia harus ikut Bara? Memang sih selama ini Karinalah teman kondangan Bara selama hampir lima tahun ini. Tapi apa iya kali ini Bara akan mengajaknya.
Dan berkat mood Bara yang tak menentu itu mereka jadi pulang lebih awal. On time malahan.
"Bapak masih marah gara - gara tadi?" tanya Karina melihat Bara yang mendiaminya. Susah kalau punya bos ambekan begini.
"Nggak. Kan nanti Kamu yang harus nemanin Saya."
"Tapi nanti Saya dibeliin gaun baru gak Pak?" tanya Karina, iseng siapa tahu nggak dapat mobil minimal dapat gaun pestalah.
"Iya."
"Tapi nggak ada syarat dan ketentuankan Pak?"
"Ada kalau Kamu mau."
Karina mencebik.
Mereka sampai ke kontrakan Karina. Karina lekas turun, ia lihat Rani sedang bermain dengan anak perempuannya di halaman rumah.
"Sore Mbak Rani," sapa Karina. Kalau Rani sih tak masalah kalau disapa, tapi kalau tante Widya kalau bisa Karina pulang tengah malam saja supaya tak bertemu sapa.
"Sore Kar. Tumben udah pulang."
"Hehe iya nih Mbak. Tumben si bos baik."
"Kamu pulang sama siapa?" Rani melihat ke arah mobil Bara yang masih belum beranjak dari posisi tadi.
Karina juga melihat ke arah yang sama, biasanya Bara langsung tancap gas setelah Karina turun, lah ini malah ngetem.
"Oh itu bosnya Karina. Mungkin lagi nelpon mangkanya belum jalan."
Rani hanya mengangguk dan mengobrol singkat dengan Karina sampai mobil yang Bara kendarai berlalu pergi.
********
#Jangan Lupa Vote Kome dan follow akun author yak. Kalian komen Next aja author sebahagia itu.