*********
Karina memperhatikan tampilan gadis di depannya ini, perempuan yang lebih muda lima tahun darinya itu memakai rok pendek lima jari di atas lutut dan blouse putih yang lumayan menampilkan lekukan tubuhnya.
Kening Karina menyerjit, kok bisa orang ini datang ke kantor dengan pakaian begini.
"Kamu waktu interview sudah diberitahu soal peraturan berpakaian di sini?" tanya Karina.
Gadis itu menaikkan satu bibirnya, menampakan senyum congkak sembari menatap Karina.
"Ini sudah zaman modern, seharusnya bebas dong mengekspresikan diri."
Karina mendesah pelan, baru hari pertama saja sudah membuat masalah.
"Terserah deh. Yang penting Saya sudah ingatkan."
Karina tak ambil pusing, toh yang akan dimarahi nanti bukan dirinya, apa pedulinya.
"Waw," decak Marta sembari menggelengkan kepala. Kemarin ia dimintai data penjualan bulan ini oleh Bara, jadilah jam segini ia sudah harus menghadap.
"Adem di dalam? Atau sudah berkobar?" tanyanya kemudian.
"Belum."
"Oh baguslah. Gue masuk duluan ya," pamit Marta sebelum mood bosnya itu menjadi jelek karena melihat pakaian calon sekretaris barunya.
Karina mendesah pelan melihat calon sekretaris Bara ini, baru hari pertama sudah berulah.
Tak lama Marta keluar dan menyemangati Karina, bukannya apa, jelas Karina juga akan kena imbasnya. Mungkin.
Menarik napas dalam, ia mengetuk ruang Bara dan langsung masuk begitu Bara mengizinkan.
Bara yang tadinya tersenyum langsung mengendurkan wajahnya karena melihat Karina tidak masuk seorang diri.
Keningnya menyerjit melihat penampilan perempuan yang Karina bawa.
"Pak, Saya mau memperkenalkan calon sekretaris baru Bapak."
Karina mengamit dan menyuruh perempuan itu memperkenalkan diri.
Gadis itu menatap genit dan menyampirkan rambutnya ke belakang telinga. "Perkenalkan Pak, nama Saya Cindy, Saya......"
Ia ingin mengenalkan diri lebih jauh tapi Bara lebih dulu menginstrupsi.
"Saya beri waktu satu jam. Ganti pakaian Kamu atau Kamu tidak perlu datang lagi," tegasnya dan Karina menahan tawa.
"Ngeyel sih dikasih tahu," desisnya.
Cindy nampak terpukul dengan reaksi Bara.
"Tapi apa yang salah dengan pakaian Saya Pak?" protesnya.
Ya Tuhan, nyari perkara sekali pikir Karina.
"Perusahaan ini punya peraturan, peraturan yang harus dipatuhi oleh seluruh karyawan. Ini perusahaan tempat bekerja, bukan klub malam."
Bara sudah nampak menahan emosi.
Cindy akan menjawab lagi namun Karina lekas pamit dan mengajaknya keluar, bukannya apa, ingat mood Bara itu sangat rentan kalau soal pekerjaan. Jangan sampai masih pagi saja moodnya sudah jelek, bahaya untuk kesehatan jantung dan ketentraman karyawan lainnya.
"Jadi Kamu mau ganti baju atau gimana?" tanya Karina.
"Kenapa sih? Apa yang salah coba? Seharusnya kalau orang normalkan suka ngelihat penampilan Saya," ucapnya makin tak tahu malu.
Karina rasanya ingin menepuk kepala orang ini, ia merasa sangat kesal.
"Dengar ya, Kamu harus bisa bedain yang mana pakaian buat kerja, yang mana buat main. Jangan disamain. Kalau masih mau kerja, sana ganti baju. Pak Bara itu orangnya on time, dia bilang satu jam berarti ya satu jam tepat, telat satu menit aja bisa dibantai," jelas Karina.
Cindy nampak tak bergeming.
"Aku nggak mau ganti baju," kekehnya.
"Ya udah kalau gitu pulang aja, nggak usah kerja."
Cindy nampak tak terima, ia melipat tangannya lagi - lagi memperlihatkan kecongkakannya.
"Saya ini keponakannya Pak Burhan, Branch manager."
Karina berdecak, pantas Karina kenal gaya songong begini, mirip seseorang rupanya, dasar manusia titipan umpatnya.
"Dengar ya Dek. Kamu itu cuma keponakan kepala cabang, lah Pak Bara? Direktur. Kamu pikir tinggian jabatan siapa? Om Kamu itu aja bisa dipecat sama dia. Dan dengar ya, Pak Bara itu paling nggak suka ada karyawannya masuk jalur siluman. Ada tuh satu orang di sales counter udah berkali - kali dibuat nangis sama bos. Jadi jangan gaya songong kayak anak pemilik perusahaan!" kesalnya.
Karina berjalan menuju mejanya dan merasa bodo amat, mau guling - guling di lantai juga tu orang ia tak peduli.
Cindy yang nampak kesal mengambil tasnya dan berjalan pergi.
"Kok bisa Bu Irda lulusin orang begitu?" ucap Karina tak habis pikir, padahal seharusnya ia lebih tahu soal Bara yang tak suka orang titipan begitu.
Intercom di atas meja Karina berbunyi dan Bara menyuruhnya masuk sembari membawa berkas yang kemarin Bara minta.
Karina menyodorkan berkas tersebut. "Ini Pak. Saya sudah periksa dan yang digaris merah ini yang agak janggal," jelasnya.
"Lalu sekretaris baru?"
"Nggak tahu Pak. Dia ngotot nggak mau ganti baju terus ngambil tas pergi, nggak tahu deh balik lagi atau nggak."
"Ganti. Saya tidak mau orang seperti itu. Bilang dengan bu Irda, jangan terus memasukkan orang tidak jelas."
Karina mengangguk, iya juga. Kapan serah terimanya ia kalau begini terus, dikira jadi sekretaris Bara itu main-main saja?
"Baik Pak. Berikutnya Saya interview langsung."
"Memangnya yang ini bukan Kamu yang interview."
"Bukan Pak. Bu Irda katanya yang suruh dia masuk."
Bara meletakkan berkas yang tadi ia pegang kemudian memandang ke arah Karina.
Ia menarik lacinya kemudian mengeluarkan dasi. Iya sudah beberapa hari ini Bara terus datang tanpa dasi dan meminta Karina yang memasangkannya.
Karina mengambil dasi berwarna maroon tersebut kemudian memasangkannya ke leher Bara.
Mereka saling diam, Bara membiarkan Karina fokus menyimpul dasinya.
Ketukan terdengar dari pintu dan Karina lekas menjauh setelah ia selesai memasangkan Bara dasi.
"Saya permisi Pak," ucapnya formal, bukannya apa sejak ia punya hubungan pribadi dengan Bara, Karina jadi merasa was - was kalau - kalau ada yang mengetahui hubungan mereka.
Karina keluar dan berpapasan dengan Tomi yang rupanya tadi mengetuk pintu.
"Habis ngapain Lo di dalam?" tanyanya sambil menaik turunkan alisnya.
Karina mencebik, tangannya gatal menggetok kepala Tomi dengan berkas di tangannya.
"Lo ganggu," ucap Karina yang malah terdengar ambigu.
"Ughhh ganggu banget ini Gue? sorry deh," balasnya masih dengan senyum jahil.
"Jangan ikir yang aneh - aneh deh, udah masuk sana."
Tomi berdehem di depan pintu sebelum masuk, berusaha menetralkan ekspresi agar tak senyam senyum sendiri memikirkan apa yang bosnya dan sekretaris bos itu lakukan berdua di dalam ruangna barusan.
************
"Gila banget sekretaris baru bos Lo Kar, mau kerja apa dugem? seksoy amat," ucap Marta yang masih tak habis pikir dengan apa yang ia lihat pagi tadi.
"Seseksi apa sih, kepo Gue."
"Ye dasar laki." Marta mendorong lengan Farhan yang malah nyengir tak bersalah.
"Yah Guekan cuma kepo."
"Alah."
Mereka sedang makan siang.
"Terus apa kata bos Lo Kar? Terus sekretaris barunya mana?"
"Kabur. Tadi disuruh ganti baju sama bos eh malah pergi ngilang nggak balik lagi. Tapi syukur deh. titipan dia."
"Wegela, beneran? titipan siapa?" tanya Neneng, karyawan baru yang baru dan baru bergabung dengan geng b***k korporat mereka.
"Pak Burhan," jawab Tomi.
"BM?"
Tomi menggangguk mengiyakan.
"Kacau, makin banyak aja titipan Gue lihat."
"Tahu nih HRDnya gimana? capek bener, tahu sendiri pak Bara gimana, malah disuguhin yang model begitu."
"Iya, padahalkan yang pak Bara suka yang modelan Karina begini," ucap Tomi dan langsung mendapatkan sepakan kaki dari Karina yang memang duduk di depannya.
"Iya Kar. Nggak usah resignlah, ngapain? Mending Lo pepet pak Bara, lumayankan, muka, oke. Duit jangan ditanya."
"Dengar tuh Kar apa kata Marta."
Dan kali ini Karina tanpa iba menginjak kaki Tomi sampai pria itu mengaduh.
"Kenape Lo?" tanya Farhan begitu melihat Tomi yang nampak kesakitan.
"Kaki Gue barusan kayak diinjak kaki ghoib."
"Ih serius Lo Bang?" tanya Neneng yang memang gak penakut.
"Iya ini, Hadow," teriaknya lagi karena Karina malah menginjak kakinya lagi.
Neneng menoleh ke bawah meja, tak ada apapun, tapi kenapa Tomi seperti kesakitan? pikirnya. Ia mengerutkan dahi.
"Itu cuma halunya Tomi aja Neng, jangan dipikirin," ucap Karina santai.
"Btw, Sesil mana?"
"Oh Sesil diangkut bu Ve ke Bank kayaknya tadi," jawab Farhan yang memang satu devisi dengan Sesil.
"Oh pantas nggak kelihatan, biasanya paling duluan sampai Kantin."
"Lah Lo sendiri Kar? Tumben nggak makan sama ayang beb Lo?" pancing Tomi, Karina melotot. Ini orang sepertinya ingin sekali minta di jitak pakai palu.
"Iya tumben seorang Karina Kapur yang bagai perangko sama pak Bara kagak diajak makan siang bareng?" sambung Farhan.
"Lebay deh Kalian, kayak aja tiap hari Gue makan siang sama bos? biasanya juga sama Kalian kok," protes Karina, ia juga sering kok makan dengan mereka.
"Tapikan akhir - akhir ini jarang. Apalagi setelah balik dari Bali." Semua mata tertuju ke arah Karina.
********
#VOTE KOMEN YA KISANAK.....
#KOK AUTHOR JADI TAKUT KEPANJANGAN YA NI CERITA KARENA ALURNYA PANJANG. GIMANA MENURUT KALIAN??Aa