My Boss and I (3)

1288 Kata
"Pak. Saya sudah menginfokan ke bagian produksi kalau hari ini Bapak tidak jadi meninjau," jelas Karina. Apalagi penyebabnya kalau bukan karena pembatalan meeting dadakan yang berakhir membuat semua jadwal hari ini berantakan kecuali pertemuan dengan investor tentunya. "Iya." jawab Bara singkat. Pria itu sedang fokus memeriksa email di tabnya dan seperti biasa selaku sekretaris Karina juga merangkap menjadi sopir, mereka baru saja pulang dari mengantar investor ke bandara. "Habis ini langsung pulang Pak?" Karina bertanya iseng kalau - kalaukan bosnya ini kesambet penunggu bandara terus mengajaknya pulang cepat, entah kapan terakhir Karina bisa pulang tepat waktu, mungkin sudah sangat lama sekali. "Iya Kita pulang ke kantor." Karina menganga hey memangnya kantor itu rumah mereka sampai sebutan pulang ditujukan pada kantor. "Itu bukan pulang Pak tapi kembali kerja." "Sama aja." Karina gemas ingin menggetok kepala bosnya ini, mana ada sama Pak, rutuknya dalam hati. "Yah gak gitu konsepnya Pak." "Fokus aja nyetir jangan banyak omong." "Ngomong salah gak ngomong dibilang tumben, gini amat punya bos absurd," desis Karina yang masih dapat didengar jelas oleh Bara. "Saya masih bisa dengar." Bara masih fokus membaca laporan penjualan di tabnya. "Baguslah. Berarti telinga Bapak masih berfungsi dengan baik." Karina lelah, sungguh ia lelah fisik dan batinnya menghadapi Bara. Bara ini sebenarnya baik, royal juga cuma ya itu kalau kerja gak kenal waktu mana hobinya menumpuk file di meja Karina apa gak stres dibuatnya. "Kalau kerjaan Kamu selesai sebelum jam pulang besok, Kamu boleh beli jam tangan yang Kamu mau itu," ucap Karina nyaris berteriak kencang, untung saja dia tidak sampai mengerem mendadak. "Beneran Pak?" "Hmm." "Skin care gak sekalian Pak?" tawar Karina bukannya apa skin carenya sudah mulai menipis. Gaji, uang lembur dan bonus Karina memang cukup besar tapi Karina sendiri adalah tulang punggung, ayahnya jatuh sakit semenjak kejadian naas itu, ibunya hanya membuka warung kecil - kecilan, kakaknya sudah menikah bisa saja membantu tapi anaknya mengidap kanker dan butuh banyak biaya sementara adik laki - lakinya saat ini masih kuliah dan tentunya dengan biaya Karina, belum lagi harus membayar cicilan hutang bank, Karina yang malang. "Biasanya juga gak bilang lagi," sindir Bara. Karina hanya tersenyum lebar memamerkan giginya, bahkan tak merasa bersalah. "Yah gimana Pak kan kadang khilaf salah kasih kartu debit," alasannya terkesan tidak masuk akal, jelas - jelas Karina bahkan tidak punya akun bank yang sama dengan kartu debit yang Bara berikan padanya untuk keperluan pekerjaan. "Tapi boleh kan Pak? Saya izin loh ini." "Hmm." Bara hanya bergumam dan Karina bodo amat selagi Bara tidak marah dengan apa yang dilakukan dirinya tidak masalah. Memang salah satu jobdesk Karina sebagai sekretaris Bara adalah bayar membayar makan, hotel, atau apapun yang dilakukan Bara di luar saat bekerja. Tentunya dengan kartu ajaib milik bosnya itu, tak tanggung - tanggung isi kartu tersebut bahkan sanggup untuk membeli sebuah rumah ukuran 36. Untung saja Karina ini tidak mata duitan banget, bisa saja ia kalap dan melarikan uang tersebut, walau akhirnya setiap dia kesal dengan Bara dia akan belanja seenaknya menggunakan kartu tersebut, apalagi kalau kepepet akhir bulan. Awalnya ia takut saat itu pertama kalinya ia memakai kartu tersebut untuk kebutuhan pribadi, seingatnya ia memakai kartu itu untuk membeli sepasang baju untuk dipakainya bekerja, dan berita baiknya walau ada sms masuk di hp Bara tentang pemakaian pribadi Karina itu, pria itu sama sekali tidak menyinggungnya. Semenjak itu Karina sering iseng membeli kebutuhannya dengan kartu ajaib milik pribadi sang bos. Sebenarnya Karina itu punya kebiasaan, jika dia ingin sesuatu dia akan mengeprint gambar barang tersebut kemudian menempelkannya di dekat monitor komputernya karena itu Bara selalu tahu benda apa yang sedang diinginkan sekretarisnya ini. "Kita sudah sampai Pak," ucap Karina riang, sikapnya bahkan berbanding terbalik dengan beberapa jam yang lalu saat Bara memintanya mengundur meeting. Mereka sampai di kantor pas sekali saat jam pulang, di saat karyawan lain pulang Karina malah kembali ke kantor untuk bekerja. "Karyawan teladan ya, orang pulang Dia kerja," ejek Tomi yang pas - pasan dengan Karina di depan pintu lift, Bara sudah naik duluan sedangkan Karina tadi izin ie toilet dulu. Karina yang kesal malah menjulukan jari tengahnya saat pintu lift yang ia naiki menutup dan hal itu membuat Tomi justru tertawa tebahak. Kembali berkutat dengan banyak file, tapi bedanya kali ini Karina nampak bersemangat. "Baiklah. Apa kalian siap untuk Gue periksa?" Karina menepuk kedua tangannya ke atas tumpukan file tersebut. Tanpa ia sadari Bara sedang melihatnya dari balik Horizontal blind penutup kaca yang menghubungkan langsung ruang kerjanya dan tempat Karina berada. Bara menarik senyum melihat tingkah laku Karina yang memang selalu membuatnya terhibur. Gadis itu nampak bersemangat, dengan teliti ia memilah laporan mana saja yang harus ia berikan kepada Bara. Bukannya apa bisa dibilang hampir semua laporan cabang biasanya dicek Karina dulu baru berikutnya Bara yang mengeceknya, sudah macam wakil direktur pemasaran saja dirinya, pikir Karina. "Yes. Selesai. Ya Ampun hebat banget Gue udah beres begini," puji Karina pada dirinya sendiri. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan dia sudah menghabiskan dua kotak jus jambu dan mangga. Tok tok.. Karina mengetuk ruang Bara, kemudian masuk begitu saja tanpa menunggu izin bosnya itu. "Pak filenya sudah Saya sortir mau di cek sekarang atau besok?" Bara melihat ke arah Karina lalu mengecek jam. "Besok aja. Kalau sudah selesai Kita pulang," katanya membuat senyum Karina mengembang. "Saya sudah bisa check out jam Saya kan Pak?" Karina tersenyum malu - malu, dia sudah mendambakan jam itu sejak dua minggu lalu, kalau saja tidak terdesak kebutuhan tentu Karina bisa membelinya sendiri dengan gajinya. Bara nampak berpikir sesaat, padahal tenggatnya besok tapi Karina sudah menyelesaikannya. "Kan belum Saya cek." Karina menyun, dia sudah tidak sabar menekan tombol pesanan di keranjang belanja onlinenya. "Kalau sudah selesai, matikan komputer Kamu. Atau Kamu masih mau lanjut lembur?" Karina dengan cepat menggeleng, dia sebenarnya sudah merasa ngantuk sejak tadi dan sangat merindukan kasurnya yang nyaman. "Mau makan apa?" tanya Bara begitu mereka keluar dari parkiran kantor, kalau malam begini biasanya Bara sendiri yang menyetir. "Terserah Bapak deh. Saya manut aja kalau gratisan mah," jawab Karina. Ini sudah seperti rutinitas mereka, makan dulu sebelum pulang ke rumah kalau mereka tidak terlalu lelah. Sebenarnya Karina sih kalau lelah jangan ditanya, tapi dia paling tidak suka menolak makan gratis, lumayankan bisa menghemat uang. Lagian Karina sendiri termasuk kategori perempuan yang makan banyak tapi tidak gemuk - gemuk jadi dia bisa santai makan sepuasnya, paling dia harus sit up saja karna lemaknya kadang menimbun di bagian perut. Mereka mampir di salah satu nasi pecel langganan mereka. "Mang kayak bisa ya," pesan Karina. Saking seringnya mereka makan di sini bahkan penjualnya sampai hafal apa saja yang biasa mereka pesan. "Siap Mbak Nana," ucap penjual tersebut. Warung tenda ini biasanya buka sampai jam dua pagi jadi tidak heran kalau jam sepuluhan seperti sekarang masih cukup ramai. Pesanan mereka datang. Seporsi nasi pecel dengan dua ayam goreng milik Karina dan seporsinya lagi nasi pecel ayam biasa milik Bara. "Em uenak." Karina makan dengan lahap. Entah kapan terakhir ia jaim di depan sang bos. Bisa dibilang Bara ini bahkan sudah puas melihat segala kejelekan Karina, mulai dari wajah tidurnya yang kadang mangap dan ngiler, sampai makannya yang serampangan. "Mau nambah?" tanya Bara. Pria itu sudah makan porsi keduanya. "Mau ayamnya lagi." Mereka kembali makan dalam diam, Bara memperhatikan sudut bibir Karina, kemudian mengambil tisu, tangannya terulur membersihkan sudut bibir Karina. Sesaat Karina terpaku loh kok jadi kayak adegan drama - drama romantis begininya, bengong Karina. Tapi tak lama Karina merasa ada yang janggal, Bara mengusapnya agak keras seolah itu adalah noda yang membandel. "Pak!" sergah Karina, bukannya seperti adegan romantis Bara malah dengan barbarnya mengusap sampai lipstick yang sengaja ia touch up terasa bergeser. "Oh ternyata lipstick, Saya pikir sambal," ucap Bara santai. Ayolah padahal tadi jantung Karina tadi terasa berdetak cepat sekarang ia malah merasa akan naik pitam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN