"Pak, gak mau ke dokter aja?" tanya Karina saat Bara mengantarnya pulang.
Wajah bosnya itu nampak sedikit pucat. Belum lagi ia nampak lesu dan lebih banyak diam. Tapi ada baiknya juga sih karena sekarang mereka sudah di jalan pulang, padahal jam baru menunjukkan pukul enam sore.
"Saya gak apa - apa, cuma agak pusing sedikit."
"Tadi pagi Bapak juga ngomong gitu loh. Masa pusing yang katanya sedikit itu seharian?"
"Nanti Saya minum obat, setelah bangun tidur juga enakkan."
Karina hanya menghela napas berat. Sejak dulu Bara itu sangat sulit dibawa untuk cek up ke dokter. Boro - boro rumah sakit, puskesmas saja dia tidak mau. Karina sendiri tak tahu apa alasannya.
Mereka memang bekerjasama cukup lama, tapi tak sejauh itu sampai membicarakan masalah pribadi. Hanya sebatas pembicaraan ringan.
"Bener ya Pak minum obat. Kalau ada apa - apa bisa hubungi Saya," pesan Karina saat ia turun dari mobil.
Bukannya apa, Bara tinggal berdua dengan adiknya Hosea, dan saat ini Hosea sedang bekerja sebagai co pilot dan jarang sekali pulang. Kali ini juga ia pergi bekerja sekaligus berlibur merayakan pernikahan temannya di Bali yang mungkin memakan waktu lebih dari seminggu.
Karina menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Sebenarnya seharian ini ia masih kepikiran apa keputusan yang akan ia ambil.
Sesaat ia ingin mengakhiri kontrak kerja dan sesaat kemudian ia berpikir kapan lagi dapat pekerjaan yang gajinya melebihi level manager. Dua digit pula.
[Kar, Kamu mau Mbak kenalin sama teman Mbak gak? Usianya di atas Kamu dua tahun.]
Bunyi pesan dari Susan, Kakak tirinya. Dulu setelah Ibunya meninggal, Bapak menikah lagi dengan Bunda, Ibu dari Susan yang merupakan tante Karina sendiri. Walau begitu hubungan mereka amat sangat baik.
[Ganteng gak? Gaji Oke?] balas Karina tak ada jaim sama sekali karena ini menyangkut masa depannya.
[Kalau kata Bapak sih Oke. Kerjanya juga bagus di perusahaan kelapa sawit.]
[Loh Bapak tahu?]
Sepertinya seniat itu keluarganya mencarikan ia jodoh. Bukannya apa usia Karina sudah nyaris kepala tiga dan boro - boro mau menikah, pacaran saja kandas terus. Terakhir dengan Dodi yang sukses menguras dompetnya dan Karina benci mengingat hal itu.
[Bapak bilang biar PDKT dulu. Mbak izin ngasih nomor Kamu boleh?]
Karina ragu namun kemudian menjawab Ya.
*****
Pagi ini Karina sudah berada di meja kerjanya. Jam suda menunjukkan pukul sepuluh lewat namun tak ada tanda - tanda Bara akan datang. Di chat tak dibaca, di telpon tak dijawab. Karina agaknya khawatir kalau - kalau ada sesuatu yang terjadi pada bosnya itu.
"Bos ada?" Farhan datang membawa laporan mingguan.
Hari ini sabtu, pulang tengah hari, tentu karyawan lain bergegas cepat mengerjakan pekerjaan agar bisa pulang tepat waktu.
"Gak tahu ke mana. Gue telponin gak diangkat."
"Apa sakit ya? Lo ada nomor orang rumahnya gak? Coba tanyain."
Karina berpikir sejenak, setahu Karina keluarga bosnya itu hanya Hosea, itupun sedang di luar kota.
Setelah ragu cukup lama, Karina memantapkan diri mendatangi apartement bosnya. Kalau sampai ternyata Bara sakit atau pingsan sendiriankan barabe.
"Pak Bara ada gak di rumah?" tanya Karina pada resepsionis apatement. Mereka cukup akrab saking seringnya Karina kemari.
"Kayaknya sih ada. Gak kelihatan turun."
"Bentar Saya hubungi dulu ya."
Resepsionis bernama Anggi itu mencoba menghubungi, tapi tak kunjung ada jawaban.
"Gak di respon."
"Saya naik langsung aja deh kalau gitu."
Karina beranjak menuju lift khusus. Bukannya apa, sebenarnya ia punya kartu unit milik Bara. Hosea yang memberinya dulu saat ia sedang sekolah penerbangan, ia takut kalau - kalau Bara sakit sendirian.
Dengan berani Karina masuk dan alangkah kagetnya ia saat melihat Bara yang juga nampak kaget melihat ke datangannya yang tiba - tiba.
"Hwaaah," teriak Karina kaget.
Ia kaget melihat Bara yang hanya memakai celana pendek selutut tanpa atasan. Karina sepertinya lupa kalau dia datang ke rumah bujangan.
"Kamu ngapain di rumah Saya?"
Karina berbalik sebisa mungkin tak melihat ke arah Bara. Jantungnya berdetak tak karuan.
"Bapak tu gak bisa dihubungi. Jadi Saya khawatir takutnya Bapak tumbang."
"Oh. Hp Saya kayaknya di charger di kamar," jawabnya enteng. Karina ingin marah tapi tak bisa melihat ke arah Bara.
"Bapak mending pake baju dulu sana," pintanya.
Karina bernapas lega saat mendengar suara pintu dari arah kamar sang bos.
"Itu bos saban hari duduk, kerja kok bisa badannya bagus begitu?" Karina menggeleng, sebisa mungkin menghalau pikirannya yang mulai absurd.
"Lo mikir apa sih Kar?"
Karina larut dalam pikirannya, bisa - bisanya dia terus terbayang kejadian barusan.
"Lupakan Karina, lupakan." Ia meepuk kepalanya sendiri, menghalau bayangan itu.
"Jangan dipukulin kepalanya, nanti bodoh."
Bara dengan santainya berjalan kemudian duduk di sofa seberang Karina. Pria itu memakai pakaian rumah, celana katun dan kaos berwarna army. Hidung Karina bisa sangat jelas mencium aroma sabun yang menguar dari badan bosnya itu.
"Bapak kenapa gak masuk?" tanyanya to the point.
"Gak ada. Pengen istirahat aja."
Karina mengeratkan gigi mencoba tersenyum profesional.
"Kenapa gak ngabarin?"
"Lupa," jawabnya santai.
Lupa? Astaga, apakah Bara juga lupa mereka mempunyai banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Kenapa akhir - akhir ini bosnya semakin seenaknya.
"Bapak lupa juga kalau siang ini Kita ada janji makan siang sama orang toko?"
Bara seperti berpikir sesaat, kemudian mengangguk. Karina hanya bisa menghela napas berat, bagaimanapun Bara adalah bosnya.
"Batalin aja. Saya lagi gak napsu makan."
Biasanya juga makan ala kadarnya, cecar Karina dalam hati.
Waktu sudah mepet dan bosnya ini meminta janjinya di batalkan? Wah alamat Karina yang kena amukannya.
"Mepet Pak."
"Biar Saya yang batalkan."
Bara mengambil hpnya, menelpon. Dan dengan santainya ia cuma bilang kalau tidak dalam kondisi fit untuk makan siang. Syukurnya mereka mengerti.
Tapi kalau Bara mau santai - santai di rumah Karina harus ngapain? Apa dia pulang saja ya? Pikirnya.
Bara membaringkan dirinya di sofa, meletakkan tangan kanannya ke atas kepala seolah hendak tidur.
"Kepala Bapak masih sakit?"
Bara bergumam.
"Mau Saya pijitin kepalanya?"
Sebenarnya Karina tak mau melakukan ini, tapi kalau Bara sakit, ia takut itu akan mengacaukan rencana cutinya.
Karina memijat kepala Bara pelan. Sebenarnya ia sudah termasuk sering melakukan ini, tapi kenapa ya akhir - akhir ini saat bersama bosnya ini jantungnya sering berdegup kencang, apa mungkin dirinya ada gejala sakit jantung? Pikirnya namun kemudian menggeleng cepat.
Tak lama terdengar suara hembusan napas teratur, wajah Bara yang biasanya datar dan lempeng itu terlihat tenang dalam tidurnya.
*****
Karina bersenandung senang, beberapa hari ini Bara terlihat sehat. Besok dia sudah mulai cuti jadi hari ini sebisa mungkin ia menyelesaikan pekerjaannya termasuk meminta bantuan bu Anne untuk mengatur jadwal bosnya.
Untung saja jadwal Bara tak padat dan kebanyakan di kantor saja.
Karina menyekesaikan pekerjaannya tepat jam tujuh malam, ia harus packing mempersiapkan barang yang akan ia bawa untuk pulang. Bukannya apa ia baru sempat karena beberapa hari ini ia banyak pekerjaan seperti biasa, dan saat pulang sudah tepat duluan.
Ia mengetuk ruangan Bara. Pria itu nampak fokus bekerja.
"Bapak masih lama? Kerjaan Saya sudah selesai jadi Saya mau pulang duluan, mau packing."
"Hmm.. Iya."
Karina ke luar, mengambil tasnya di meja kemudian turun, hendak pulang duluan.
Kantor sudah sepi, hanya ada satpam yang bertugas. Dalam hati Karina tak tega meninggalkan bosnya itu sendirian. Lagiankan kalau pulang bareng dia bisa hemat ongkos.
Dengan ragu akhirnya ia kembali ke atas. Padahal ia sudah sampai parkiran.
Ia ketuk kembali ruangan Bara. Tak ada sahutan, memberanikan diri ia membuka pintu, kosong.
"Ke toilet apa ya?"
Karina masuk, dari jauh ia seperti melihat tangan dari balik meja kerja Bara, seketika ia merasa takut, takut kalau sebenarnya Bara sudah pulang dan yang tadi ia pamiti ternyata makhluk halus seperi di film - film.
Sayup - sayup ia mendengar seperti suara rintihan. Dengan pelan Karina mendekat dan alangkah kagetnya ia melihat Bara yang tergeletak di lantai.