Entah mengapa sejak tadi perasaan Karina tak karuan. Dia mau pulang kampung tapi juga tak tega meninggalkan Bara. Entah mengapa pula ada perasaan aneh yang membuatnya tak tenang saat memikirkan sekarang Bara sedang berdua bersama Anggun.
Karina menghentakkan gelas ke atas meja. Ia baru saja minum air dingin, untuk menenangkan pikirannya.
"Argh.. Kamu kenapa Karina," tanyanya pada diri sendiri.
"Kan dia udah ada yang jagain. Lo tinggal santai terus pulang kampung."
Menggaruk kepala yang tak gatal akhirnya Karina memutuskan kembali ke rumah sakit. Dia sendiri tak mengerti kenapa dia harus repot - repot mengurusi Bara yang sedang dirawat.
Saat ia masuk ke ruang rawat Bara, ada dua orang yang cukup ia kenal, dan salah satunya orang yang tidak ia sukai. Apa mereka datang untuk menjenguk? Tapikan masih jam kerja? Pikir Karina.
"Eh Mbak Karina, katanya cuti?" tanya salah seorang karyawan.
Karina hanya tersenyum canggung. Matanya menatap tak senang saat melihat Bara yang duduk di atas ranjangnya sembari memangku laptop.
Ia berjalan mendekati Bara yang sedang menatapnya kaget dan tatapannya seolah terlihat seperti sedang merasa bersalah.
Karina mengintip ke layar laptop tersebut, tab di layar seperti sedang membuka beberapa file Excel dan website perusahaan.
"Pak?" serunya pelan, matanya memincing.
"Saya cuma cek sedikit," alasannya.
Karina berbalik menatap dua karyawan yang rupanya bukan datang menjenguk tapi malah meminta sang bos untuk mengecek pekerjaan.
"Siapa yang suruh?" tanya Karina ke karyawan bernama Reni.
"Saya cuma minta cek Mbak, ada yang mis atau gak."
Karina mendesah berat, matanya sudah memancarkan aura penuh kekesalan.
"Kamu tu ngerti gak sih kalau pak Bara itu lagi sakit?"
Ia hanya menunduk sejenak.
"Siapa yang suruh Kamu ke sini? Yang minta Kamu bawa pekerjaan ke rumah sakit siapa?" tanyanya lagi.
"Apaan sih, gak usah lebay deh cuma sekretaris aja juga. Toh pak Bara kan mau ngeceknya," ucap Kintan nyolot, yang malah makin membuat sumbu Karina tersulut.
"Ini gak ada hubungannya ya sama Kamu. Kamu ngapain ke sini di jam kerja. Kamu itu resepsionis," sinis Karina. Sepertinya amarahnya serasa memuncak, dan perasaan kesal entah dari mana sejak tadi serasa bisa dilepaskan di momen ini.
Kintan hendak menjawab lagi, namun Anggun lebih dulu menginstrupsi.
"Udahlah Kar. Toh Bara mau ngeceknya sedikit kok."
"Mbak. Mbak tahukan pak Bara itu lagi sakit. Apa perlu Saya ulang? Kenapa sih kalian? Bisa gak biarin pak Bara itu istirahat dulu, baru semalam loh dia operasi, belum dua puluh empat jam yang lalu. Sayakan udah pesan sama Mbak tadi kalau pak Bara jangan di kasih kerja dulu. Mikirin kerjaan juga jangan. Ini malah dikasih laptop."
Anggun terdiam, tak menyangka Karina semarah ini. Tadi ia membiarkan saja saat Bara minta dibawakan laptop kerjanya. Toh pikirnya Bara hanya mengecek saja.
"Nana." Bara mencoba menenangkan.
"Bapak juga. Sengaja ya nyuruh Saya pulang kampung aja biar bisa bebas kerja pas lagi di rawat begini? Iya? Segitu pengennya lama di rumah sakit atau gimana?"
Ia benar - benar kesal dan sekarang seperti terluapkan. Bara hanya mendesah pelan kemudian menutup laptopnya.
Karina kembali menatap Reni dan Kintan yang ia rasa hanya akal - akalan saja menjadikan pekerjaan sebagai alasan agar bisa datang ke luar saat jam kerja.
"Sayakan sudah beri pengumuman di grup pusat kalau semua pekerjaan yang biasa dipegang pak Bara sementara di alihkan ke Pak Alex, Bu Vera atau Rasya. Yah tinggal cari hubungan kerjanya ke mana. Gitu aja harus diajarin."
Reni hanya menunduk merasa bersalah, ia tak menyangka kalau Karina akan memarahinya. Sejujurnya ia hanya diajak oleh Kintan dengan alasan ada yang mau di cek dan penting. Izinpun ia hanya lewat pesan ke Tomi. Awas saja setelah ini ia akan memarahi Tomi habis - habisan.
Suasana sunyi setelah kejadian tadi. Reni dan Kintan sudah pergi sedangkan laptop Bara sudah di sita Karina. Ia menyimpannya dalam lemari.
Belum lagi ia masih merasa kesal dengan Anggun. Kapan istirahatnya Bara kalau begini.
Karina menyentuh kening Bara. Panas tubuhnya sudah normal.
"Bapak tahukan apa kata dokter soal penyebab sakitnya Bapak karena apa?"
Bara hanya mengangguk, ia persis seperti anak kecil yang sedang dimarahi ibunya.
"Apa emang kata dokter? Coba ulangi?"
Bara mendongak, melihat ke arah Karina yang sedang menatapnya sambil melipat tangan.
"Saya terlalu kecapaian, kurang tidur, makan gak teratur, terlalu banyak pikiran."
"Nice. Ingat tapi ngeyel. Heran deh batu banget," kesalnya.
Ia bahkan sadar betul kalau orang yang sedang ia marahi saat ini adalah bosnya, orang yang membuatnya di gaji. Tapi masalahnya, semakin lama Bara sakit, semakin banyak juga pekerjaan yang keteteran. Belum lagi jadwal padat Bara yang terpaksa harus diundur dan diatur ulang, kan yang repot Karina.
"Udah minum obat?"
Bara mengangguk.
"Ya udah kalau udah minum obat, daripada kerja mending tidur. Ingat, Bapak itu kurang tidur."
Bara mengangguk lagi, ia sama sekali tak berniat untuk membantah, padahal bisa saja ia menolak, toh Karina hanya sekretarisnya. Tapi ia sangat mengerti kalau Karina begini juga demi kebaikan dirinya sendiri.
"Saya gak ngantuk."
"Mau Saya nyanyiin?"
Bara dengan cepat menggeleng, bukannya apa suara Karina ini cukup untuk membuat telinganya berdengung.
"Segitunya banget Pak gak sukanya sama suara Saya?"
"Saya baru operasi usus buntu, jangan sampai operasi gendang telinga juga."
Karina melotot, malah hendak membuka mulut untuk bernyanyi, tapi Bara lebih dulu menyela.
"Kamu gak jadi pulang kampung?"
Karina menggeleng.
"Nggak Pak. Ini baru Saya tinggal beberapa jam aja Bapak kerja lagi bukannya istirahat, apa kabar kalau Saya pulang kampung benaran? Yang ada pas Saya balik ke sini Bapak masih dirawat di rumah sakit."
Bara mendesah pelan, Karina ini kalau sudah mengomel kadang susah berhenti, ada saja sesuatu yang bisa ia sangkut pautkan dengan hal yang membuatnya mengomel.
********
Karina duduk di sofa sambil menonton televisi, sementara Bara sedang berbincang dengan Anggun, mereka sedang membicarakan seputar perkuliahan mereka dulu, nostalgia gitulah dan Karina sama sekali tak mengerti. Jadi ia memutuskan untuk menyalakan televisi sembari duduk santai di sofa.
Sesekali ia melihat ke arah dua sejoli itu. Entah apa yang mereka bicarakan, sesekali Bara seperti hendak tertawa tapi ditahannya karena bekas operasinya terasa nyeri.
Sejak kejadian tadi Anggun seperti agak tak acuh pada Karina. Karina sih bodo amat. Seharunya Anggun bisa lebih mengerti daripada dirinya kalau Bara itu butuh istirahat apalagi baru saja operasi eh ini malah di sodori laptop untuk bekerja, bagaimana Karina tak naik darah dibuatnya.
Lambat laun pandangannya menggelap, selain memang agak mengantuk, acara yang sedang ia tonton memang agak membosankan.
"Gue ke toilet dulu ya," ucap Anggun kepada Bara.
Bara menoleh ke arah Karina, gadis itu nampak terlelap dalam posisi duduk, kepalanya menadah ke atas dan terlihat tidak nyaman.
Dengan pelan Bara mendekat, mencoba membaringkan Karina dengan benar, ia tak mau saat bangun leher sekretarisnya itu malah jadi sakit.
Ia memindahkan posisi Karina dari yang tadinya duduk menjadi berbaring, dengan pelan pula ia menaikkan kaki gadis itu ke atas sofa kemudian mengambil selimut.
Bara mengelus kepala Karina pelan memperhatikan wajah tidurnya yang terlihat sangat kelelahan dan hal itu tak luput dari pengawasan Anggun yang menatap mereka dengan tatapan yang sulit diartikan.