Tentang Keluarga

1054 Kata
#Tandai ya kalau ada yang Typo ******** "Ini apa Kar?" tanya Bunda begitu melihat dua orang sedang mengangkat lemari televisi. "Biasa Bun." Karina mengkode ke arah Bara yang sedang membayar ongkos mobil. Bunda menggerutkan dahi, bingung. "Kebiasaan. Tadi Kami ketemu bapak - bapak, jualan lemari ini sambil di pikul. Terus karena kasihan pak Bara beli deh," jelas Karina. "Terus kenapa dibawa ke sini?" "Pak Bara tu nggak butuh benda beginian. Dia beli cuma karena kasihan jadi dengan kata lain Karina yang menampung barang tak penting yang beliau beli." "Jadi maksudnya mau dikasih buat rumah sini?" Karina mengangguk. "Nggak enak ah Kar, masa Kita nerima gitu aja." "Udahlah Bun. Nggak Kita terima juga paling dia kasih ke orang lewat. Mending buat Kita kan?" Bunda masih nampak ragu. Tapi tak lagi berkomentar. Bara berjalan menuju ke arah mereka "Nak Bara. Bunda jadi nggak enak terima barang begini." "Nggak apa - apa Bun. Syukur - syukur Bunda butuh. Jadi Saya nggak repot nyari orang yang mau." Bunda tersenyum canggung. Bos anaknya ini persis seperti yang Karina ceritakan. Semalam saja ia membayar tekwan entah berapa karena ia melihat Bara begitu banyak mengeluarkan uang berwarna biru dari dompetnya. "Terimakasih kalau begitu." Siangnya tak ada yang istimewa, Bara diajak Bapak ke toko untuk melihat - lihat. Bapak begitu semangat ingin meminta tips agar toko menjadi ramai pembeli. Barulah saat sore harinya mereka berkumpul kembali. Karina sedang duduk di teras belakang saat Bara kembali ke rumah. Karina menoleh saat Bara berjalan ke arahnya. "Baru balik Pak?" sapanya walau masih terasa canggung, tapi paling tidak ia sudah menyingkirkan sedikit rasa malunya. "Iya baru sampai." Bara ikut duduk di samping Karina, Hening, mereka memandangi halaman belakang yang ditumbuhi bunga dan beberapa tanaman bumbu dapur. Suasanya nyaman membuat Bara justru merebahkan diri dan berbaring berbantalkan lengan. "Gimana, setelah pulang ke rumah?" Karina menoleh pada Bara. "Gimana apanya Pak?" "Perasaan Kamu, apa jadi lebih baik?" Karina kembali menghadap ke depan. "Iya. Paling nggak walau nggak lama, rasa kangennya berkurang." Hening kembali. "Saya minta maaf, gara - gara Kamu mengurusi Saya di rumah sakit, cuti Kamu jadi terbuang sia - sia." Karina merasa aneh dengan semua ini. Kenapa dia jadi merasa tak senang dengan permintaan maaf bosnya itu. "Santai aja Pak. Toh Saya kok yang memilih untuk jagain Bapak daripada pulang." "Terimakasih kalau begitu." Suasana kembali hening, tak ada lagi yang bersuara. Karina fokus melihat ke arah halaman, entah apa yang ia pikirkan. Tanpa ia sadar saat ia menoleh ke samping Bara sudah menutup mata, napas teratur pelan. Karina beranjak ke dalam mengambil selimut dan bantal karena ia yakin leher bosnya itu pasti sakit kalau tidur beralasakan tangan. Dengan pelan ia mengangkat kepala Bara dan berdoa dalam hati kalau bosnya itu tak akan bangun. Belum Karina berhasil menaruh bantal di atas kepala Bara, pria itu lebih dulu terbangun. Mata mereka bertatapan, Karina jadi teringat kejadian memalukan di kantor yang disaksikan oleh Tomi dulu. Karina cepat - cepat menarik tangannya dari kepala Bara sampai kepala bosnya itu terbantur ke lantai. Bara kaget. "Kamu mau buat Saya geger otak ya?" Karina panik, bingung harus berbuat apa. Dalam hati ia berdoa semoga kepala bosnya itu tak sampai benjol. "Hah? Ya...yaa salah Bapak tiba - tiba buka mata. Kan Saya jadi kaget," elaknya. "Tapi nggak dilepas juga kepala Saya." "Namanya juga kaget Pak. Ya refleks jadinya. Bapak kalau mau tidur ke dalam gih. Nanti di sini banyak nyamuk." Bara mendudukkan diri. "Saya udah nggak ngantuk lagi," katanya dan Karina sedikit merasa bersalah. "Maaf Pak," sesalnya. Bara tertawa kecil. "Kenapa minta maaf?" "Yah gara - gara Saya Bapak jadi kebangun." "Nggak baik juga kalau tidur sore - sore." Karina memilih duduk di samping Bara kembali, kadang dirinya tak mengerti dengan bosnya ini. Kadang ia nampak seperti orang yang tangguh dan tak tersentuh kadang juga seperti sekarang, ada tatapam kesepian di matanya. "Gimana Pak rasanya di rumah Saya dua hari?" Bara tersenyum mengingat kebaikan dan kehangatan keluarga Karina. "Keluarga Kamu hangat dan Baik sekali menyambut orang asing seperti Saya. Sangat menyenangkan kalau punya keluarga seperti keluarga Kamu." Karina terenyuh sesaat, ia tak oernah tahu seperti apa keluarga bosnya, seperti apa Bara tumbuh dulu. Yang ia tahu hanya seorang Bara yang gila kerja dan sangat sukses. "Alhamdulillah kalau Bapak merasa begitu. Saya juga bersyukur karena walau Bunda bukan ibu kandung Saya tapi beliau tak pernah membeda - bedakan Saya dengan anak kandungnya." Bara sebenarnya sudah sedikit tahu tentang keluarga Karina, tapi tentu ia ingin mendengar langsung ceritanya dari Karina. "Ibu Saya meninggal waktu Saya umur lima tahun karena sakit. Setahun kemudian Bapak menikah dengan Bunda yang juga kehilangan suaminya karena jatuh dari kamar mandi. Bunda itu sebenarnya bibi Saya loh. Apa ya istilahnya itu, naik ranjang atau turun ranjang gitu." Karina tanpa sadar mulai bercerita. "Lalu baru lahirlah Rendi, adik Saya." "Saya belum pernah ngelihat adik Kamu." "Lagi kuliah Pak di Jogja. Jadi jarang pulang. Kemarin libur semester juga nggak bisa pulang karena ada kegiatan kampus katanya." Bara dengan sangat baik mendengarkan cerita Karina. "Sepertinya menyenangkan punya banyak saudara." "Iya sih. Tapi ya itu kalau ketemu suka berantem. Haha. Saya malah maunya Saya sama adik Saya akur kayak Bapak sama Hosea." "Iya. Saya bersyukur ada Hosea di sisi Saya." Bara menoleh ke arah Karina. "Juga karena ada Kamu di sisi Saya," sambungnya. ******** Malamnya entah mengapa Karina tak bisa tidur. Ia sulit memjamkan mata, terngiang ucapan Bara tadi sore. Apa maksud Bara bicara begitu? Bagaimana ya reaksi Bara saat ia tahu nanti kalau Karina hendak resign? Hati kecil Karina sedikit goyah, dia mulai ragu apakah dia benar - benar harus resign atau tidak. Satu sisi hatinya tak tega meninggalkan Bara. Apalagi tatapan kesepian bosnya itu membuat hati kasihan atau mungkin tersentuh lebih tepatnya. Kalau saja Bara punya istri atau pacar mungkin Karina tak akan merasa terlalu kasihan. Karina bangun dari pembaringannya, lekas menggeleng, kenapa perasaannya malah jadi kesal membayangkan Bara punya istri? Karina merinding melihat respon dirinya sendiri. "Karina Lo udah gila," desisnya. "Bisa - bisanya Lo merasa kesal karena membayangkan hal kayak gitu aja? Lo siapanya Pak Bara emang?" tanyanya pada diri sendiri. Karina sadar betul dia hanya sebatas sekretaris dan rekan kerja bosnya. Tak ada ikatan lebih dari itu, tapi kenapa ia merasa seperti terikat dengan Bara akhir - akhir ini? Sikap Bara sedikitnya membuat hatinya merasa, luluh? ******** #VOTE dan KOMEN biar author tetap semangat walau kena marah bos ??
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN