Kedua pipi Nala sejak tadi masih saja berwarna merah. Bibirnya juga tak henti-hentinya menyunggingkan senyuman. Jangan tanya hatinya Nala seperti apa? yang pasti taman bunga saja kalah indahnya. Dasarnya si Nala anak kemarin sore yang belum pernah jatuh cinta! Mendengar kalimat ambigu yang dikatakan Ace bukannya protes dia malah merasa bahagia.
Arumi sempat khawatir dengan rona merah di wajah Nala. Sempat mengira sahabatnya sedang sakit. Namun Nala mengatakan jika dirinya baik-baik saja.
“Nala sakit kamu, Nak?” tanya Ibu San-San.
“Enggak, Ibu. Nala sehat kok.”
“Muka kamu merah sekali. Ibu pikir kamu sedang demam." Bu San-San yang baru sampai dapur langsung menghampiri Nala yang terlihat sedang demam.
“Tuh ‘kan, La. Ibu juga anggap kamu lagi sakit.”
“Rumi tadi juga menganggap Nala sedang sakit?”
“Iya, Ibu. Dari tadi saya sudah khawatir sama Nala. Mau saya antar ke klinik tapi gak mau,” ujar Arumi.
“Ya, memang aku nggak sakit masak mau dibawa ke klinik,” protes Nala pada sahabatnya.
Bu San-San mendekat, memegang kedua pipi Nala yang masih merona. “Gak panas.” ucapnya. “Gak demam.”
Nala terkekeh melihat ekspresi serius Ibu San-San. “Memang Nala nggak sakit, Ibu. Nala justru lagi sehat-sehatnya ini,” seru Nala dengan tersenyum lebar.
“Kamu pakai makeup tebal ya?”
Nala mengusap kedua pipinya dengan pelan. “Apa makeup Nala luntur, Ibu?” tanya Nala dengan nada jahil.
Arumi geleng-geleng kepala melihat Nala sengaja menjahili kepala dapur. Sepertinya hanya Nala saja yang berani.
“Ya, sudah kalau begitu. Di lanjutin lagi bungkus nasinya. Abis itu kalian bersih-bersih terus kumpul di tenda kita untuk makan siang.”
“Siap, Ibu,” jawab keduanya dengan kompak.
Kedua gadis itu, kembali sibuk membungkus nasi dan lauknya.
Semua kegiatan memasak sudah selesai setengah jam yang lalu. Mereka sekarang berbagi tugas, ada yang bagian membungkus nasi dan lauk. Ada juga yang memasukan es buah ke dalam gelas plastik.
Acara masak besar di dapur umum bagi Nala sangat menyenangkan. Dia bisa berbagi pengalaman dengan juru masak dari rumah sakit lain yang menjadi relawan juga.
Ternyata, hanya rumah sakit tempat dia bekerja yang menerima seorang juru masak lulusan SMK kejuruan sepertinya. Nala merasa dirinya sangat beruntung karena kebanyakan dari temannya lulusan dari D1 gizi.
“Nala mau makan sekarang apa nanti?” tanya Arumi selesai mandi dan berganti baju.
“Kita ke mushola dulu, Rum. Setelah itu baru makan siang.”
“Oke, kalau begitu kita taruh dulu baju kotor ke dalam tas,” ajak Arumi.
Nala dan Arumi berjalan menuju ke tenda dengan menyapa beberapa relawan yang berpapasan dengan mereka.
Setelah itu, langsung menuju ke mushola darurat yang tidak jauh dari tenda Rumah Sakit Al-Fathan.
“Nala cari apa?”
“Arumi imut sepatuku di mana? Aku cari dari tadi gak ketemu juga,” keluh Nala dengan wajah bingung.
“Bukannya tadi kamu taruh di dekat sepatu aku? Nah, ini sepatuku ada kok punyamu gak ada sih?” Arumi ikut mencari sepatu Nala.
Saat selesai sholat Arumi pamit ke kamar mandi sementara Nala menunggu di teras mushola.
Dia melihat ke sana kemari namun tak kunjung menemukan keberadaan sepatunya.
“Duh gimana dong, Rum. Masak aku nyeker sih? Mana di sini nggak ada toko sepatu lagi.”
“Ya, gak mungkin ada Nala. Ini ‘kan posko pengungsian bukan pasar malam.”
Nala mendengkus saat digoda sahabatnya. “Terus gimana dong, Rum. Masak aku harus nyeker? mana tempatnya banyak batunya nanti kaki aku sakit.”
“Aku tanya Ibu San-San dulu ya. Siapa tahu beliau bawa sepatu cadangan atau sandal. Kamu tunggu di sini jangan kemana-mana!”
Nala mengangguk, kembali duduk sesuai perintah Arumi.
Selama dia duduk, matanya tak henti mencari-cari sepatunya. Siapa tahu tadi sepatunya tertindih punya orang lain.
“Nala!”
Nala merasa ada yang memanggilnya langsung mendongak ke atas. “Kak Nadhief!” serunya.
“Kamu jadi relawan di sini?”
Nala mengangguk dengan cepat. “Kakak juga?”
“Hmmm, aku sudah dari kemarin di sini,” jawab Nadhief dengan melihat kaki Nala. “Kamu gak pakai sepatu kenapa?” tanya Nadhief.
Nala mencebikkan bibirnya. “Sepatu Nala hilang. Di cari dari tadi gak ketemu.” Wajahnya kembali sedih mengingat sepatunya.
“Bawa sepatu ganti apa gak?”
“Nggak bawa.”
“Ya, sudah. Kamu di sini dulu aku ambil sandal sebentar,” ucap Nadhief.
“Kakak bawa sandal ganti?” tanya Nala dengan mata berbinar.
“Iya, tunggu sebentar di sini.”
“Okay, Akak.”
Nala mengirim pesan pada sahabatnya saat sudah mendapatkan pinjaman sandal.
Selain itu, Nala juga menyuruh Arumi untuk menunggu di tenda tidak perlu menjemputnya. Nala tahu Arumi sangat kelelahan hari ini. Semalam dia berkata membantu Ibunya membuat pesanan kue dari tetangganya.
“Sedikit kebesaran tapi masih bagus dari pada gak pakai alas kaki,” ucap Nadhief saat Nala sudah memakai sandalnya.
“Mau bonceng ngak, Kak?”
“Maksud kamu?”
“Ini masih sisa banyak. Bisa loh buat bonceng berdua,” terangnya dengan menunjuk ke arah sandal yang masih tersisa banyak bagian belakang.
Nadhief tertawa dengan gurauan Nala. gadis itu, memang paling jago kalau di suruh lawak. “Kamu ini! Harusnya jadi pelawak saja gak usah jadi juru masak.”
“Oh, tidak bisa. Kalau masak itu bagaikan soulmate bagi Nala.”
“Kalau lawak apa bagimu?”
“Selingkuhan!” seru Nala dengan menjulurkan lidahnya.
Nadhief sangat gemas dengan kelakuan Nala. Dia menangkup kedua pipi gadis itu dengan kedua telapak tangannya yang besar. Kemudian menekannya hingga bibir Nala monyong ke depan.
“Kalian sedang apa?” suara datar nan dingin menginterupsi candaan mereka.
“Pak Dokter ...”
“Dokter Ace.”
Ucap keduanya bersamaan. Nala dan Nadhief tidak tahu jika sejak tadi Ace sudah memperhatikan interaksi mereka.
“Nala kamu kenapa tidak bergabung dengan tim untuk makan siang?” tanya Ace pada Nala.
“Tadi Nala kehilangan sepatu, Pak Dokter. Untung saja ada Kak Nadhief mau meminjamkan sandal. Abis itu malah keterusan bercanda lupa kembali ke tenda,” jawab Nala dengan tersenyum.
“Sekarang sudah selesai bercandanya?”
“Sudah, Pak Dokter. Ini Nala mau kembali ke tenda. Perutnya sudah berbunyi nyaring minta diisi.”
Ace hanya mengangguk mendengar jawaban Nala.
“Kak Nadhief terima kasih sandalnya. Aku balikin kalau sudah pulang ke rumah ya?”
“Ambil saja. Aku punya banyak stok sandal di rumah.”
“Wah, baiknya. Mau bonceng?” seru Nala dengan menjahili Nadhief lagi.
“Ehem ...” suara deheman Ace.
“Kamu kembali ke tenda sana. Jangan lupa makan siang. Aku mau sholat keburu habis waktunya.”
“Ok, Akak,” jawab Nala.
“Mari Dokter Ace,” pamit Nadhief dengan sopan.
Ace mengangguk tanpa tersenyum. Membuat Nala mendengkus sebal. Padahal, Nadhief sangat ramah sekali tapi Pak Dokternya tersenyum saja tidak mau.
“Kalau begitu, Nala pamit dulu Pak Dokter.”
“Bareng saja!” jawab Ace.
Tanpa menunggu Nala yang masih mematung di tempat. Ace berjalan lebih dulu. “Katanya ngajak bareng malah jalan duluan! Ngak sadar apa kalau kaki panjangnya membuat langkahnya lebar. Mana bisa Nala ngejarnya,” gerutu Nala dengan cemberut.
“Kamu lambat sekali! Sudah kelaparan sampai tidak punya tenaga?” tanya Ace, ternyata menunggu Nala di dekat pohon.
“Pak Dokter kakinya panjang. Nala susah buat ngejar!”
“Salah siapa kamu punya kaki pendek begitu.”
“Pak Dokter gak sopan ih! Nala ini ciptaan tuhan. Jadi, Pak Dokter gak boleh hina fisik!”
“Memangnya siapa yang ngatain fisik kamu, La? Saya tadi hanya bilang ‘Kakimu pendek’ itu bukan menghina tapi sedang mengatakan suatu kebenaran.”
“Halah ngeles saja terus. Pokoknya Nala gak terima Pak Dokter menghina fisik!”
Nala mencebikkan bibir, berjalan dengan sedikit berlari ke arah tendanya.
Sementara, Ace malah tersenyum melihat karyawannya marah padanya.
Nala merajuk tidak kelihatan seram justru semakin menggemaskan.
“Nala, sini ...” seru Arumi pada Nala.
“Hai, Rumi. Udah makan?”
“Hmmm, sudah habis ini. Kamu kok lama sih?”
“Kebablasan tadi ngobrol sama Kak Nadhief.”
“Cepetan makan. Kamu dari tadi udah ngeluh lapar ‘kan?”
Nala mengangguk lalu membuka nasi bungkus yang tadi dibuatnya.
Saat Nala akan makan. Dia mendengar Ibu San-San meminta maaf pada Ace karena tidak kebagian jatah makan siang.
Saat pembagian makan siang datang puluhan pengungsi baru. Dapur umum tidak di beritahu jadinya makan siang untuk para relawan di berikan dulu pada pengungsi yang belum makan sejak semalam.
“Tidak apa-apa, Bu. Saya bisa makan bersama Nala. Dia pasti tidak akan habis dengan nasi dan lauk sebanyak itu,” jawab Ace dengan melihat ke arah Nala.
Bu San-San berjalan mendekati Nala dengan tersenyum. Jenis senyuman yang dapat diartikan ‘Kamu harus berbagi dengan Dokter Ace!’ begitulah yang ada dipikiran Nala.
“Nala belum mulai makan?” tanya Bu San-San yang masih mempertahankan senyumnya.
Nala menggeleng. “Baru akan mulai Ibu.”
“Mau berbagi dengan Dokter Ace?”
Nala justru melihat Arumi. Dia meminta bantuan agar makan siangnya tidak dibagi dua.
Namun arumi malah mengangguk. Dia juga berbisik jika Nala harus mau berbagi nasi dengan pemilik rumah sakit.
“Mau, Ibu. Nala akan membaginya dengan Pak Dokter,” jawab Nala dengan setengah hati.
Sebenarnya Ace sudah ditawari akan dibuatkan makan siang khusus untuknya tapi ditolaknya.
Saat melihat Nala membuka nasi bungkusnya Ace memiliki ide untuk menjahili gadis itu.
Seperti dugaannya, wajah Nala berubah masam ketika harus berbagi makan siang dengannya.
“Kamu kalau makan jangan belepotan Nala!” tegur Ace dengan mengambil nasi di sudut bibir Nala.
Nala yang mendapatkan perlakuan tiba-tiba dari Ace hanya mematung dengan pipi kembali merona. Kali ini bahkan menjalar sampai telinganya.
“Pak Dokter, jangan di habisin tempe mendoan punya Nala!”
“Kamu tadi singkirkan ke samping. Saya kira gak suka.”
“Bukannya gak suka tapi biar gak kena nasi. Makanya Nala taruh ke pinggir!”
“Ya, maaf. Saya ‘kan ngak tahu. Lagipula ini juga masih setengah.”
“Tadi Nala dengar Bu San-San mau masakin buat Pak Dokter kenapa gak mau sih?!”
Ace hanya mengangkat bahunya cuek membuat Nala semakin menekuk wajahnya.
“Kamu harus berbagi kepada sesama, Nala! Gak boleh pelit. Nanti tuhan marah sama kamu,” ucap Ace saat sudah menghabiskan makanan bagiannya.
Nala membelalakkan kedua matanya. “Apa Nala akan berdosa karena menggerutu berbagi makanan sama Pak Dokter?”
“Sudah dicatat sama malaikat. Kamu gak ikhlas berbagi makanan sama Saya!”