Gosip Ibu Komplek

1943 Kata
“Eh, Nala. Baru pulang kerja, Nak?” “Iya, Nek. Nenek banyak banget bawa barangnya. Sini, Nala bantuin bawa setengahnya,” jawab Nala, dengan membantu membawakan barang yang dibawa Nenek Kemala. “Terima kasih Nala cantik.” “Sama-sama Nenek. Jangan lupa kasih mangga buat Nala.” “Ah iya, Nenek sampai lupa. Mangga di belakang rumah sudah banyak yang matang. Kemarin Nadhief sudah Nenek suruh buat kasih tahu ke kamu. Pasti belum di kasih tahu Ya?” Nala mengangguk, dia teringat jika sudah lama tidak menjahili idola Malika. “Biasalah, Nek. Kak Nadhief mana pernah mau kasih tahu Nala. Dia pasti akan menghabiskan mangga untuk dirinya sendiri.” “Dasar anak nakal!” gerutu Nenek kemala pada cucunya. “Besok kalau kamu libur kerja main saja ke rumah Nenek.” “Siap, Nek.” Nenek Kemala dan Nadhief tetangga depan rumah Nala. Hubungan mereka sangat dekat sudah seperti saudara. “Terima kasih, Nak. Sudah membantu Nenek,” ucap Nenek Kemala ketika sudah sampai di depan gerbang rumahnya. “Sama-sama. Lumayan berat kardusnya. Isinya apa, Nek?” “Buku-buku bekas yang dikumpulkan teman-teman Nenek. Tadi ada acara arisan sekaligus pengumpulan donasi untuk korban meletusnya gunung berapi.” “Gak diantar supir? Nenek bisa sakit pinggang kalau bawa sendiri tadi.” “Tadi mobilnya mogok di jalan dekat komplek. Dari pada lama menunggu di bengkel, Nenek milih naik angkot. Sebenarnya tadi mau di bantuin sama Satpam tapi Nenek tolak.” “Kenapa di tolak, Nek. Malah bagus ada yang bantuin.” “Karena Nenek lihat kamu dari kejauhan pasti bakalan di bantuin.” “Owalahhhhh, untung saja Nala bantuin. Kalau enggak bakal sakit encok.” Nenek Kemala tersenyum, mengelus lengan Nala yang tertutup cardigan rajut. Dia sangat menyayangi Nala sudah seperti cucu kandungnya sendiri. Sebelum Nala pulang ke rumahnya, dia mengatakan pada Nenek Kemala jika mau menyumbangkan sebagian dari novel dan komik yang tersusun rapi di rak bukunya. “Baju Nala sebenarnya banyak yang sudah tidak muat. Tapi Nala besok masih kerja belum bisa milih mana yang akan di sumbangkan,” teriaknya lagi saat sudah di depan gerbang rumahnya. “Relawan akan membawa barang-barang donasi ke posko pengungsian tiga hari lagi. Kamu masih ada waktu untuk memilahnya, Nak.” Nala membalas jawaban Nenek Kemala dengan mengacungkan kedua jempolnya kemudian masuk ke dalam rumah. Hari keempat Nala kembali masuk kerja setelah cuti panjang. Dia mengerjakan hampir semua pekerjaan yang ada di dapur meskipun itu bukan tugasnya. Hingga membuat teman-temannya bahagia karena dibantu olehnya. Awalnya dia sedikit takut jika masih ada teman yang tidak menyukai dan bertindak jahat padanya. Namun saat dia sampai di rumah sakit teman-temannya menyambutnya dengan senyuman hangat membuat Nala bisa bernafas lega. “Sayang, ada Nadhief di bawah,” panggil Mamanya saat Nala sedang membuat resep baru. Setelah makan malam dia langsung pamit kembali ke kamar terlebih dulu karena ingin menuliskan ide yang tiba-tiba terlintas di kepalanya. “Ngapain dia ke sini, Ma?” tanya Nala saat keluar kamar. “Sayang, tidak boleh ngomong gitu. Gak sopan!” tegur Husna. Nala hanya meringis lalu meminta maaf. Keduanya bergegas turun ke bawah untuk menemui tamu yang datang. “Akak ...” teriaknya di belakang Danesh, sedang serius menonton berita. “Adek! Ngagetin saja,” omel Kakaknya. “Lagian serius amat nonton beritanya kayak orang penting saja.” “Mau kemana?” tanya Danesh melihat adiknya menuju ke arah pintu utama. “Nadhief datang,” Jawab Husna. Nala berjalan menuju ke gazebo kecil yang ada di taman depan rumahnya. Tempat dimana dia dan Malika sering nongkrong saat malam minggu. Kadang juga jika dua sahabat itu sedang gabut, mereka akan tidur siang di sana. “Ngapain Kakak ke sini?” tanya Nala dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya. “Katanya kamu sakit?” “Sudah telat nanyanya!” “Maaf, aku baru tahu kemarin dari Nenek. Aku baru pulang dari Kalimantan.” “Oh iya kah?” tanya Nala dengan melirik plastik yang ada di samping Nadhief. “Iya, Nala. Ngapain aku bohong sama kamu, gak ada faedahnya sama sekali,” jawabnya dengan memberikan makanan yang dia bawa. “Ngapain sih harus repot-repot segala! Aku tadi ‘kan sudah makan malam.” “Gak mau?”. Dengan kecepatan tinggi Nala menjauhkan plastik dari jangkauan Nadhief. Dia teringat kejadian di rumah sakit saat jual mahal pada batagor berakhir di habiskan oleh Kakaknya dan Pak Dokternya. “Kalau sudah dikasih gak boleh dia minta lagi,” omelnya dengan bibir mencebik. “Katanya kamu tadi sudah makan malam? daripada dibuang mending aku bawa pulang lagi.” “Meskipun sudah makan malam bukan berarti batagor ini akan aku buang.” Nala merasa ada yang aneh saat Nadhief menatapnya dengan lekat. “Kamu kenapa lihat aku sampai segitunya?” “Kamu masih bekerja di rumah sakit?” “Iya.” “Bagaimana dengan teman yang sudah mencelakaimu?” “Mereka sudah dipecat setelah proses penyelidikan selesai.” “Gak ada niatan buat pindah kerja?” Nala menggeleng, dia merasa sedikit aneh dengan sikap Nadhief. Kenapa dia tiba-tiba saja bersikap serius? biasanya hanya akan jahil membuat Nala meraung-raung seperti anak harimau sumatera. “Di kampusku ada lowongan chef junior. Kalau kamu mau, aku bisa bantu mendaftarkan.” “Buat apa? aku ‘kan sudah mendapat pekerjaan.” “Tapi disana tidak aman buatmu.” “Sekarang sudah aman kok. Juru masak yang kemarin membullyku sudah dikeluarkan dari sana.” Bukannya menjawab Nadhief justru mendekati Nala. Dia bahkan kini sudah memegang kedua tangan Nala. “Aku tetap saja khawatir. Temanmu itu bisa saja membuat perhitungan denganmu, La. Kamu ini polos dan juga sangat baik hati. Jadi tidak akan bisa membedakan orang yang tulus dan orang yang hanya ingin memanfaatkanmu saja.” “Kak Nadhief tidak perlu khawatir. Di sana aku punya sahabat namanya Arumi dia baik sekali. Ditambah lagi ada Pak Dokter yang akan melindungi Nala.” “Pak Dokter?” “Iya, Pak Dokter Ace,” jawab Nala dengan pipi merona. Nala melepaskan kedua tangannya yang sejak tadi di genggam Nadhief lalu membuka batagor dari tetangganya. Sepertinya gadis itu lupa jika baru saja mengatakan telah makan malam. Dengan sangat lahap Nala memakan batagor 2 bungkus sekaligus. Dia juga menghabiskan satu bungkus cilok. Senyum Nadhief langsung mengembang melihat kelakuan Nala. Satu minggu lebih tidak bertemu dengan tetangganya itu membuat rindunya menumpuk. “Ah ... penuh banget rasanya perutku,” ucap Nala setelah menghabiskan satu botol air mineral dingin. “Katanya sudah makan malam?” tanya Nadhief dengan nada mengejek. “Kalau ngak cepat di makan takutnya keburu basi,” kilah Nala agar tidak terlihat rakus. Padahal semua orang juga sudah tahu selain hobi memasak dia juga hobi makan. Nadhief kembali tersenyum dan menepuk kepala Nala dua kali. Setelah itu, dia pamit pulang untuk mengerjakan tugas kampusnya. Menjadi mahasiswa kedokteran sekaligus asisten dosen membuatnya menjadi manusia sibuk. Sampai gadis kesayangannya sakit saja dia tidak tahu. Setelah melihat kondisi Nala yang baik-baik saja membuatnya bisa sedikit tenang. *** Hari minggu bagi Nala adalah hari mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Sejak selesai sholat subuh berjamaah dengan keluarganya, dia langsung menuju ke dapur. Hari ini dia mendapatkan pesanan lasagna untuk arisan ibu-ibu komplek yang akan diadakan di rumah Bu RT. Karena bahan-bahan sudah disiapkan sejak semalam kini dia tinggal memasukkannya saja. Dia berniat mengirimkan separuh lasagna yang dibuatnya ke rumah keluarga Al-Fathan. Karena sudah terlanjur berjanji pada Ace, jika sedang libur akan membuatkannya lasagna seperti yang pernah di pesan Embun. “Kak Nadhief dari mana?” “Lari pagi. Kamu sendiri dari mana? Tumben pakai motor.” “Dari rumah Bu RT nganter pesanan.” “Pesanan apa?” “Lasagna, Kakak mau?” tawar Nala yang langsung diangguki Nadhief. Jarak rumah Nala dan Bu RT lumayan jauh dikarenakan rumah di kompleknya semuanya berukuran besar. Dia harus memakai motor untuk membawa 2 kardus lasagna sendiri. Pak Supirnya tidak ada dirumah karena sedang menjemput Kakaknya ke bandara. Meskipun motor bebeknya bisa untuk berboncengan namun dia tidak menawari Nadhief. Bukannya pelit, namun Nala memang secinta itu pada motor hadiah lomba memasak yang diadakan oleh mall dekat rumahnya. “Kak Nadhief tunggu saja di gazebo sambil lihat ikan Papa. Aku ambilkan dulu lasagna di dalam.” “Baiklah,” jawab Nadhief, berjalan menuju ke arah gazebo. “Oh iya, Mau minum apa Kak?” tanya Nala sebelum masuk ke dalam. “Air putih saja, kasih sedikit sirup melon.” “Yeee ... itu mah bukan air putih namanya.” “Beda dikit.” Nala tidak mengajak Nadhief masuk karena di rumah sedang tidak ada orang. Dia tidak mau ada fitnah jika membawa pria masuk ke rumah saat kedua orangtuanya tidak ada. “Air putih rasa melon datang,” seru Nala. “Lasagna?” “Ini,” ucap Nala dengan memberikan lasagna mini untuk Nadhief. “Kecil sekali, mana kenyang?” “Belum juga dimakan masak sudah bilang tidak kenyang.” “Aku biasanya makan lasagna buatanmu big size dua kotak, Nala.” “Seadanya dulu kali, Kak. Besok kalau ada pesanan aku buatin lagi deh.” “Biasanya juga ada lebihan banyak?” tanya Nadhief dengan mulai memakan lasagna buatan Nala. “Ini luar biasa, Kak. Makanya gak ada lebihan. Itu saja sisa satu-satunya.” Saat mereka berdua sibuk berbincang datang tetangga Nala yang bernama Tante Indira, beliau bertanya pada Nala apa Mamanya sudah berangkat arisan atau belum? “Mama gak bisa ikut arisan hari ini, Tan.” “Bu Husna sedang ke luar kota?” “Nggak, Tan. Mama sedang menjenguk teman Papa yang sedang sakit. Mungkin pulangnya nanti sore. Sekalian mau mampir ke rumah Eyang.” “Baiklah, Nala. Kalau begitu Tante berangkat arisan dulu ya?” pamit Tante Indira. Namun saat Tante Indira sampai di depan pintu gerbang rumah Nala, dia kembali lagi. “Oh iya, Nala. Tante lupa mau tanya sama kamu?” “Iya, Tan.” “Kemarin ada tamunya Bu Adel yang ke rumah kamu. Sepertinya, sangat akrab sekali sama kamu. Dia siapa?” Sebelum Nala menjawab, dia dan Nadhief saling pandang. Tante Indira sejenis dengan Tante Adel, biang gosip. Maka dari itu dia harus menjawab dengan sangat hati-hati. “Dokter yang bekerja di rumah sakit tempat Nala bekerja.” “Apa dia teman dari calon menantu Bu Adel?” “Iya, Tan. Kalau bukan teman mana mungkin ikut dalam rombongan.” “Nala, kamu bisa gak tanya sama Dokter itu. Apa benar calon menantu Bu Adel sudah memiliki istri?” Sebelum Nala sempat menjawab, Nadhief lebih dulu menyela. Meminta agar Tante Indira tidak mengajari Nala kepo dengan urusan orang lain. Tante Indira yang nampak kesal dengan jawaban Nadhief, dia langsung pergi tanpa berpamitan pada Nala. Memang begitulah kehidupan bertetangga. Pasti ada saja gosip dari ibu komplek setiap harinya. Nala pernah menjadi korbannya, saat dia memutuskan tidak kuliah lebih memilih bekerja sebagai juru masak. “Kak Nadhief keren sekali,” ucap Nala dengan mengacungkan jempolnya. “Kamu kalau di suruh yang kayak tadi jangan mau, tolak saja! gak baik ikut campur urusan orang lain.” Nala tersenyum, kembali duduk di depan Nadhief. Sebelum Tante Indira bertanya mengenai menantu Tante Adel. Dia sudah lebih dulu mencari tahunya. “Habis,” ujar Nadhief membuat Nala sedikit kaget karena melamun. “Cepet banget.” “Soalnya kecil sekali, tiga kali suap juga habis.” “Haha, lain kali deh aku bikinin yang besar.” “Janji! Aku akan tagih.” “Asiapppp.” Nala mengantar Nadhief yang akan pulang sampai ke depan gerbang. “Kamu jadi mau ambil mangga?” “Jadi, Kak. Tapi nanti agak siangan, soalnya aku mau masak dulu buat Kak Danesh.” Saat Nala masih berbincang dengan Nadhief mengenai rencana memetik buah mangga. Dia dikejutkan dengan sapaan orang yang selama beberapa hari ini tidak dijumpainya. “Dia siapa Nala?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN