Sementara itu di UKS, Sia mengambil kotak P3K yang tersimpan di dalam lemari kecil sudut nakas meja sebelum melangkahkan kaki di tempat tidur yang Gilang duduki saat ini. Bisa-bisanya pria itu dengan cekatan membuka sebungkus sandwich isi daging dan memakannya dalam satu suapan besar. Namun langsung merintih kesakitan sebelahnya karena melupakan luka yang tertoreh di sudut bibirnya.
"Aww sakit banget. Baru kali ini gua ngerasain pukulan orang sakit jiwa. Sakit juga ternyata ya." gerutu pria itu sambil sesekali mendesis kesakitan. Sia mengambil tempat di depan pria itu sambil menyiapkan obatnya.
"Kamu juga udah tau lagi sakit mulutnya tapi malah gigit sandwich banyak-banyak. Dasar rakus!" celoteh gadis itu membuat Gilang mengerucut sebal.
"Aku kan lagi lapar, jadi wajar-wajar aja kalo aku gitu." balas Gilang tidak terima.
"Tap-uhmp!" ucapan gadis itu terpotong karena Gilang menutup mulutnya dengan sisa sandwich bekas gigitan pria itu yang masih tersisa setengahnya tadi. Mulutnya menjadi penuh dan Sia langsung melotot tajam ke arahnya.
"Udah diem. Jangan ngomel terus sama orang yang lagi sakit." ujar pria itu. Dengan santai Gilang membuka bungkus sandwich ke duanya dan lalu melahapnya. Kali ini Gilang melakukannya dengan lebih anggun dari suapan pertamanya tadi. Matanya sempat menangkap pergerakan Sia yang sedikit kesulitan berusaha mengunyah sandwich yang memenuhi mulutnya. Diam-diam pria itu terkekeh geli karena gadis itu terlihat lucu di mata Gilang. Gilang menundukkan kepalanya sambil membuka bungkus sandwich lebih lebar lagi untuk menyiapkan suapannya ke dua sebelum gadis itu kembali berceloteh.
"Ilhang, angah khepalamu. Akhu tidhak bisha melihak ukhamo." Ucapan Sia tidak jelas didengar Gilang karena mulutnya penuh dengan makanan. Gilang mengerutkan kedua alisnya tidak mengerti.
"Ha?"
"Anghat khepalamu! Khemalikhan lhokanya."
"Apasih? Aku gak tau kamu ngomong apa." putus Gilang kemudian. Pria itu kembali menunduk dan akan menyiapkan suapan sandwichnya lagi sebelum kedua tangan Sia akhirnya menarik wajahnya untuk lebih mendekat ke arah gadis itu. Gilang terkejut dibuatnya. Dengan posisi ini, kini Gilang bisa melihat dengan jelas mulut kecil Sia yang masih sibuk mengunyah makanannya namun tangan gadis itu mulai bergerak mengobati luka di sudut bibirnya dengan hati-hati. Gilang menjadi tertegun. Melihat wajah Sia sedekat ini semakin membuat pria itu bisa lebih jelas melihat kecantikan yang diam-diam terpendam pada wajah yang dimiliki Sia. Manis sekali. Gilang menikmati suasana yang dianggapnya menyenangkan ini di antara mereka. Gadis itu terlalu fokus dengan luka Gilang hingga tidak menyadari pria itu tengah memerhatikan dirinya dengan lekat.
"Hei, apa kamu sudah punya seorang pacar?" celetuk Gilang kemudian sambil tetap memerhatikan gadis itu. Sia sontak menghentikan kunyahannya dan membalas tatapan pria itu sejenak sebelum kembali melanjutkan pengerjaannya yang sebentar lagi selesai.
"Bukan urusan kamu." jawab gadis itu dengan singkat.
"Tidak. Tentu saja itu akan menjadi urusanku nanti." balas Gilang. Sia kembali menatap pria itu dengan raut wajah bingung.
"Kenapa bisa begitu?" tanya Sia. Gilang mengulum senyumnya sambil memajukan sedikit wajahnya mendekati Sia.
"Karena aku ingin menjadikanmu sebagai kekasihku. Kau mau kan?" jawab Gilang dengan senyum simpulnya.
"Tidak." balas Sia sedetik kemudian seakan gadis itu tidak merasa perlu memikirkan ucapan pria itu barusan.
"Hahahaha sudah kuduga kamu bakalan jawab kayak gitu. Tapi gak apa-apa. Aku bukan orang yang pantang menyerah, kamu tahu kan." balas santai dari Gilang. Melihat itu membuat Sia menghela nafas setelahnya.
"Sudah selesai." lapor gadis itu telah menyelesaikan pengobatannya. Sia merapikan kembali barang-barang P3K yang diambilnya ke dalam kotak dan akan meletakkannya ke tempat semula sebelum tangan Gilang mencegahnya untuk beranjak dari tempat duduknya.
"Tunggu, kamu belum menceritakan tentang pria gila itu padaku."
"Untuk apa aku harus menceritakan tentang itu sama kamu?"
"Memang kenapa? Aku juga ingin tahu gimana kalian bisa ketemu sampai pria itu nyari kamu ke sini. Anggap aja ini sebagai balasan terima kasihmu padaku. Gimana?" tawar pria itu. Sia terlihat menimang-nimang keputusannya sebelum akhirnya menyerah dan mendudukkan dirinya kembali.
"Aku cuma gak sengaja ketemu sama itu anak di tepi sungai seminggu yang lalu. Waktu itu aku lihat dia tenggelam dan aku cuma berusaha nolong dia saja. Terus seperti yang kamu lihat, pria itu manggil aku dengan sebutan Rasya. Aku sudah jelasin ke dia kalo nama aku tuh bukan Rasya tapi Aska itu tetap gak dengerin aku. Malah dia tetap nahan aku biar gak bisa pergi. Untung aja ada yang ngeliat kita akhirnya mereka nahan tuh anak. Aku gak nyangka aja Aska bisa nyari aku sampai ke sekolah ini." jelas Sia. Gilang bisa melihat raut wajah cemas dari gadis di depannya itu. Tentu saja begitu. Siapa yang tidak takut jika ada orang gila yang mengejar seperti yang dilakukan pria gila bernama Aska itu. Terlebih Sia adalah seorang gadis. Jika dipikir-pikir kembali bukankah pria itu sudah keterlaluan sampai berani menemui Sia ke sini. Dari mana juga pria gila itu mengetahui tempat Sia berada jika pria gila itu tidak mengintainya selama ini. Ini sudah tidak benar menurut pikiran Gilang. Dan pria itu yakin bahwa Sia juga memiliki pikiran yang sama dengannya. Pantas saja gadis itu terlihat begitu tegang ketika pertama kali melihat pria gila itu berada di sekolahnya. Kali ini pria gila itu bisa menemukan sekolah Sia, bisa jadi suatu hari nanti pria gila itu akan menemukan rumah Sia bukan. Mau tidak mau Gilang jadi merasa sedikit mencemaskan gadis itu.
"Kamu, tinggal dengan siapa?" tanya Gilang. Sia yang sebelumnya menundukkan kepalanya kini mengangkat kepala menatap pria itu.
"Buat apa kamu nanyain itu?" ketus Sia. Gadis itu merasa tidak suka menyadari Gilang yang berusaha mengorek informasi pribadi tentangnya.
"Ck jawab aja apa susahnya sih. Aku cuma mau mastiin keselamatanmu di rumahmu sendiri aja. Gimana kalo suatu hari nanti pria gila itu ngunjungin rumah kamu, hm?" ucapan pria itu membuat Sia sontak menegang kembali. Benar juga, bagaimana jika itu terjadi. Bukan tidak mungkin jika Aska bisa menemukan rumahnya bukan? Batin Sia berteriak panik. Dan Gilang menyadari reaksi Sia yang terlihat mendadak cemas itu mulai menebak-nebak kembali.
"Ya, jangan bilang kamu tinggal sendirian sekarang ini?" Gilang semakin yakin bahwa tebakannya adalah benar ketika melihat reaksi gadis itu yang enggan menjawab pertanyaannya.
"Hahh kemarikan handphonemu!" perintah Gilang kemudian sambil menghela napasnya hilang. Sia mengangkat kedua alisnya merasa geram dengan perintah pria itu.
"Untuk apa?"
"Nomermu. Berikan nomer kamu!" titah Gilang dengan tegas membuat Sia semakin merasa tidak suka dengan sikap Gilang yang seenaknya itu. Mereka tidak sedekat itu hingga sampai mengharuskannya untuk memberi nomer telephone.
"Aku gak mau. Sudahlah aku baik-baik saja."
"Kamu mau aku nyari nomer kamu sendiri? Ponselmu."
"Apa?"
Dan selanjutnya pria itu bergerak hendak meraba saku rok seragam Sia sebelum akhirnya gadis itu menjerit kecil dan mendorong tubuh Gilang. Sia tidak menyangka pria itu benar-benar akan menggeledah tubuhnya hanya untuk sebuah handphone.
"Hei, kamu udah gila!" pekik Sia sedikit keras. Kedua tangannya sudah bertengger menyilang di depan d**a sebagai bentuk perlindungan dan Gilang hanya memutar bola mata dengan malas.
"Mangkannya kemarikan ponselnya sekarang."
"Udah aku bilang aku gak mau. Kamu jangan maksa!"
"Kamu yakin gak mau ngasih... " tanya Gilang yang lebih mirip seperti memberinya peringatan. Mau tidak mau Sia menelan ludahnya kasar menjadi tidak yakin juga. Dengan wajah kesalnya akhirnya gadis itu mengambil handphone dalam saku serangamnya dan menyerahkannya kepada Gilang. Pria itu seketika tersenyum dengan penuh kemenangan. Segera Gilang mengetikkan sesuatu di ponsel Sia dan tidak lama handphone milik Gilang berdering. Ditunjukkannya handphone miliknya yang berdering di hadapan Sia.
"Aku udah nyimpen nomer kamu, dan aku juga uudah nyimpen nomer aku dalam ponsel kamu. jadi kalo terjadi sesuatu nanti kamu jangan sungkan-sungkan untuk ngubungin aku, mengerti?!" ucap Gilang sambil menyerahkan kembali handphone milik Sia.
"Kamu gak perlu repot-repot ngelakuin itu. Pihak sekolah kan udah ngelaporin anak gila itu, aku yakin dia udah masuk di tempat yang tepat sekarang."
"Gak apa-apa. Cuma buat jaga-jaga aja. Lagipula dengan ini aku juga bisa mulai pendekatan sama kamu bukan. Jadi gak ada ruginya buat aku." jawab Gilang sekenanya. Sia hanya bisa megap-megap ingin membalas ucapan pria itu namun langsung diurungkannya karena merasa percuma. Akhirnya gadis itu hanya bisa menghela nafasnya dengan pelan sebelum beranjak dari tempat duduknya untuk mengembalikan kotak p3k lagi.
Tidak lama setelah itu muncul Putra dkk yang datang ke UKS dengan nada berisiknya.
"Eh Lang. Lo gak papa?" sapa salah satunya. Putra mengambil tempat di sebelah kasur Gilang.
"Gak papa kok. Luka dikit. Gimana tuh orang?" tanya Gilang. Sia hanya terdiam menyibukkan diri dengan obat-obatan di tangannya itu sambil mendengar percakapan mereka.
"Udah dibawa ama pihak berwajib barusan. Sialan tuh orang, udah gila ya gila aja, pake lapor segala. Gara-gara dia kita jadi ketahuan pak Budi ngerokok di atap."
"Kok dia bisa tahu? Emang kalian ketemu tuh orang di atap?"
"Yo'i. Dia udah standby di atap lagi mantengin sesuatu. Iya juga ya, jangan-jangan waktu itu dia lagi mantengin elo, Sia? Ih serem amat sih. Lo bisa ketemu dia dimana sih Sia. Untung udah ketangkep tuh orang." celetuk Putra sambil bergidik ngeri. Gilang melirik ke arah Sia sejenak sebelum kembali berbicara, mengalihkan pembicaraan di antara mereka.
"Terus lo di suruh apaan sama pak Budi?"
"Cuci wc. Enak gak tuh!"
"Hahahahaha!" tawa Gilang langsung meledak seketika memenuhi isi ruangan. Mereka meneruskan perbincangan tanpa menyadari kepergian Sia dari ruang UKS, kecuali Gilang. Pria itu sengaja mengalihkan perhatian teman-temannya dari gadis itu, karena dirinya yakin Sia pasti merasa tidak nyaman berada di antara mereka.