Lelaki Baik yang Misterius

1131 Kata
Tak lama setelah Shakira duduk di dalam bis dan mulai tenggelam dalam pikirannya, seorang lelaki mendekat dan duduk di sampingnya. Shakira merasakan kehadirannya dan sedikit menoleh. Lelaki itu, berpenampilan rapi dengan senyum ramah, berkata sambil menatapnya, “Saya izin duduk di sini ya, Mbak?” Shakira sedikit terkejut tapi tetap tenang. “Ya, silahkan,” jawabnya singkat, suaranya lembut namun tegas. Setelah percakapan singkat itu, Shakira kembali memalingkan wajahnya ke luar jendela, memperhatikan hiruk-pikuk terminal yang perlahan memudar seiring bis mulai bergerak. Meski suasana di dalam bis terasa damai, pikirannya tetap penuh dengan kekhawatiran tentang masa depannya. Sementara itu, lelaki di sampingnya hanya diam, seolah memahami bahwa Shakira sedang tidak ingin banyak bicara. Bis pun mulai melaju, meninggalkan terminal dan membawa Shakira ke arah tujuannya yang baru. Hingga akhirnya, jalanan mulai menyempit dan pemandangan kota berganti dengan pepohonan yang semakin padat, memberikan sedikit ketenangan pada hati Shakira yang penuh dengan kegelisahan. Lelaki yang duduk di samping Shakira memiliki wajah tampan, dengan postur tubuh tegap dan cukup tinggi yang langsung mencuri perhatian. Dia mengenakan kaos putih sederhana yang dipadukan dengan jaket hitam, menambah kesan keren dan kasual. Topi hitam yang menutupi sebagian rambutnya membuat penampilannya semakin stylish, apalagi dengan sneaker putih yang menjadi alas kakinya, melengkapi penampilan yang tampak sangat modis namun tetap santai. Shakira, yang awalnya menatap ke luar jendela, kini diam-diam melirik ke arah lelaki tersebut. Ia tampak sibuk dengan ponselnya, jarinya bergerak cepat di atas layar, seakan-akan ada banyak hal penting yang harus diurus. Setiap kali lelaki itu bergeser sedikit atau memindahkan posisinya, Shakira bisa merasakan aura percaya diri yang terpancar dari caranya membawa diri. Meski mencoba tidak terlalu memperhatikan, mata Shakira sesekali tertuju pada gerak-geriknya. Ada sesuatu tentang pria itu yang membuat Shakira ingin tahu lebih banyak, namun ia menahan diri. Di tengah-tengah kebisingan jalan, hanya suara klik-klik dari ponsel lelaki itu yang terdengar jelas, sementara bus terus melaju membawa mereka ke arah tujuan yang belum Shakira ketahui pasti. Sepanjang perjalanan, pikiran Shakira terus berputar. Dia memandangi jalanan yang mulai menanjak menuju Puncak, tetapi hatinya dipenuhi kegelisahan. “Apa yang harus aku lakukan setelah sampai di sana?” pikirnya berulang kali. Ia tahu bahwa ia harus memulai dari awal, tetapi langkah pertamanya masih terasa samar. Tiba-tiba, sebuah ide melintas di kepalanya. Puncak adalah salah satu daerah pariwisata, penuh dengan restoran, penginapan, dan vila-vila. "Mungkin aku bisa bekerja di salah satu tempat itu," pikir Shakira. Restoran atau penginapan bisa menjadi pilihan yang tepat. Dengan banyak wisatawan yang datang, pasti selalu ada peluang untuk mencari pekerjaan di sana. Meskipun sederhana, Shakira yakin bisa memulai dengan apa saja. Namun, sebelum itu, ia harus mencari tempat tinggal. Shakira tidak punya saudara atau kenalan di Puncak, jadi yang pertama kali harus ia cari setibanya nanti adalah kontrakan atau tempat sewa. Mungkin sebuah kamar kecil untuk sementara, yang penting bisa dijadikan tempat berlindung. "Aku harus kuat dan mandiri," gumamnya dalam hati. Shakira menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Meskipun tak tahu pasti apa yang akan terjadi selanjutnya, ia sudah punya rencana. Setidaknya, ini adalah awal untuk hidup yang baru, jauh dari bayang-bayang Kenzi dan semua masalah yang ia tinggalkan. Dengan keputusan itu, Shakira merasa sedikit lebih tenang. Pandangannya kembali tertuju ke luar jendela, sementara bus terus melaju mendaki jalan-jalan berliku menuju Puncak. Perjalanan menuju Puncak terasa semakin lama karena kemacetan yang tidak terhindarkan. Shakira memandangi jalanan di luar jendela, tapi rasa kantuk mulai menguasainya. Meski berusaha untuk tetap terjaga, kelopak matanya semakin berat. "Aku nggak boleh tidur," gumamnya dalam hati, tapi tubuhnya sudah terlalu lelah setelah memikirkan banyak hal. Lima belas menit kemudian, matanya akhirnya tertutup rapat. Tanpa ia sadari, kepalanya perlahan bersandar ke bahu lelaki yang duduk di sampingnya. Lelaki itu, yang tampak sibuk dengan ponselnya, seketika merasakan sentuhan kepala Shakira di bahunya. Dia menoleh dan melihat Shakira yang tertidur lelap, wajahnya tampak begitu damai, kontras dengan situasi yang mungkin sedang dihadapi. Lelaki itu awalnya hendak membangunkannya, tapi melihat betapa lelahnya Shakira, ia mengurungkan niatnya. Ia tetap membiarkan Shakira menyandarkan kepala ke bahunya. "Biarlah dia beristirahat," gumamnya pelan sambil tersenyum kecil. Ia kembali menatap jalanan di luar, sementara Shakira tetap tertidur nyenyak, bersandar di bahunya, tak sadar akan perlakuan lembut dari lelaki di sampingnya. Perlahan bus terus melaju di tengah kemacetan, mendaki jalan-jalan Puncak yang berliku. Dan di tengah hiruk-pikuk perjalanan itu, Shakira akhirnya mendapatkan sedikit kedamaian di dalam tidurnya. Sementara itu, di kantornya, Kenzi masih duduk di ruangannya. Waktu sudah menunjukkan jam makan siang, namun Kenzi tidak bergeming dari tempatnya. Pikirannya kusut, seolah tenggelam dalam kekhawatiran yang semakin memuncak. Dia terus mencoba berpikir keras tentang keberadaan Shakira. Bagaimana bisa dia pergi tanpa jejak, tanpa memberi tahu siapa pun? Kenzi memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. “Apa yang harus aku lakukan?” gumamnya, setengah frustasi. Bayangan orang tuanya dan mertuanya muncul di kepalanya. Jika mereka tahu Shakira menghilang, apa yang akan mereka katakan? Bagaimana dia bisa menjelaskan semua ini tanpa membuat keadaan semakin buruk? Dia menatap ponselnya, berharap ada pesan atau telepon dari Shakira, tetapi layarnya tetap diam. Tak ada tanda-tanda dari Shakira, dan itu membuatnya semakin panik. "Kalau sampai mereka tahu…," Kenzi bergumam lagi. Dia tahu, jika ini sampai ke telinga orang tua Shakira atau orang tuanya sendiri, semuanya akan kacau. Nama baiknya di keluarga akan dipertaruhkan. Dia harus menemukan Shakira sebelum semua ini terbongkar. Tapi sekarang, dia benar-benar tidak tahu harus mulai dari mana. “Aku harus fokus,” katanya pada dirinya sendiri, meski kenyataannya pikirannya terus-menerus terpecah antara pekerjaannya dan kekhawatiran yang semakin menekan tentang Shakira. Kenzi tetap di ruangan itu, terjebak dalam pikirannya, sementara jam makan siang terus berlalu tanpa ia sadari. Tiba-tiba, ponsel Kenzi yang tergeletak di atas meja bergetar. Suara getaran itu terdengar jelas di ruangan yang sunyi. Kenzi dengan cepat meraihnya, hatinya melonjak sesaat—berharap itu Shakira yang menelepon. Namun, saat matanya jatuh ke layar, ia melihat nama yang berbeda terpampang di sana: Bunga. Sekejap, kegembiraannya menghilang. Kenzi menghela napas berat dan mengerutkan kening. Bunga—wanita yang selama ini menjadi bagian dari rahasia kehidupannya, tapi sejak malam kepergian Shakira, Kenzi memutuskan untuk tak lagi berkomunikasi dengannya. Ia menatap layar ponsel yang terus bergetar di tangannya. "Kenapa dia menelepon sekarang?" pikir Kenzi. Ada perasaan campur aduk di hatinya—antara rasa bersalah, bingung, dan frustasi. Dalam situasi seperti ini, Bunga adalah orang terakhir yang ingin dihubungi. Getaran ponsel perlahan berhenti saat panggilan itu berakhir. Kenzi menghela nafas panjang, meletakkan kembali ponselnya di meja. "Aku tak bisa berpikir soal ini sekarang," gumamnya, mencoba untuk fokus kembali pada masalah utama—Shakira yang masih hilang. Namun, Kenzi tak bisa mengelak dari kenyataan bahwa kehadiran Bunga dalam hidupnya telah memicu banyak hal, termasuk keretakan dalam rumah tangganya. Dan sekarang, dengan Shakira yang pergi tanpa kabar, dia merasa terjebak dalam lingkaran kesalahan yang ia buat sendiri. Hingga akhirnya ponsel Kenzi bergetar lagi tapi bukan dari Bunga, melainkan dari …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN