Jun yang sedari tadi diam melihat pertengkaran itu, akhirnya turun tangan. Ia tak bisa membiarkan kakak adik itu bertengkar terus menerus. Lelaki itu segera menghampiri kekasihnya yang meringis kesakitan.
"Alan! Kau itu apa-apaan?"
"Apa?! Kau harusnya tidak ikut campur urusan kami!"
Jun yang ingin balik marah pun di tahan oleh Alena.
Alan langsung beranjak pergi ke kamarnya dan membanting pintu. Ia sudah tak nafsu makan lagi karena kejadian itu.
Suasana langsung berubah canggung. Mereka yang sedari tadi asyik bercanda langsung terdiam, iba melihat Alena yang meringis kesakitan. Entah apa yang terjadi pada Alena dan adiknya, mereka semua hanya bisa diam. Tak berani ikut campur masalah kakak adik itu.
Jun menghela napas kesal melihat kepergian Alan. Ia benar-benar marah melihat Alan bersikap seperti itu pada Alena.
"Justin, cepat ambilkan air dan handuk. Tolong taruh airnya ke dalam ember kecil." Lelaki itu kemudian memapah Alena dan membawanya ke ruang tamu.
"Baik, Kak."
Tak lama kemudian, Justin datang membawa sebuah ember dan juga handuk. Jun segera membantu menyiramkan air tersebut pada kaki Alena yang terkena air panas tadi.
"Maaf ya, kumpul-kumpul kita jadi kacau." Ucap Alena dengan suara parau. Sesekali ia merintih saat kakinya disiram air mengalir. Wajahnya terlihat murung dan matanya berkaca-kaca.
"Itu salah adikmu. Kenapa dia bersikap seperti itu padamu? Keterlaluan sekali. Sebenarnya ada apa dengan kalian?" tanya Jun yang masih emosi.
"Namanya juga kakak adik. Hubungan kakak adik biasanya memang tidak selalu akur 'kan?" Alena mencoba tersenyum simpul. Ia tak mau yang lain bertambah khawatir.
"Tapi tetap saja."
"Ya ampun, kamu kenapa Alena?!" sang ibu yang baru datang dari warung pun langsung menghampiri dengan wajah khawatir.
Alena tersenyum. "Tidak apa-apa Bu, Alena tadi tak sengaja menjatuhkan panci saat merebus air."
Jun kembali tersulut emosi mendengar Alena yang seolah baik-baik saja. Saat ia ingin menyahut, lagi-lagi Alena menahannya. Gadis itu tak ingin suasana semakin memburuk.
"Ya ampun Nak, lain kali hati-hati."
"Iya Bu, jangan khawatir, Alena baik-baik saja Bu. Nanti juga akan membaik kalau lukanya sudah diobati."
***
Alena memasukkan beberapa setel baju ke dalam koper merahnya. Hari ini, ia berencana pergi ke Bali bersama enam sahabatnya. Mereka akan mengerjakan sebuah proyek sekaligus liburan sejenak.
Ponselnya yang ditaruh di atas nakas, tiba-tiba berdering. Alena segera mengambil ponselnya dan mengangkat panggilan tersebut.
"Ada apa?"
"Jangan lupa bawa beberapa memori eksternal tambahan. Yang lain hanya membawa beberapa flashdisk saja."
"Tenang, aku sudah membawanya beberapa kok. Ngomong-ngomong, kapan kalian sampai ke rumah? Aku sudah selesai packing."
"Mungkin lima belas menit lagi. Aku masih menunggu Justin mandi. Kau tahu 'kan kalau dia sudah mandi? Lama sekali seperti sedang rapat di kantor."
"Haha ... aku tahu. Kau bujuk saja dia dengan minuman rasa pisang, aku yakin dia akan langsung melompat keluar dari kamar mandi."
"Bayi besar seperti dia tidak akan tertarik jika hanya diberikan satu kotak minuman rasa pisang."
Alena pun tertawa kecil. "Ya sudah cepat kemari, jangan sampai telat ya."
"Baik kapten. I miss you."
"Aku bukan kapten."
"Alena ...." Suara Jun terdengar merajuk seperti bayi karena ucapan rindunya tak dijawab.
"Haha... iya-iya, aku juga merindukanmu. Sekarang tutup teleponnya Jun, kapan kau akan berangkat kalau masih terus meneleponku?"
"Memangnya kau tidak merindukanku? Aku bilang rindu tapi kau tak mau menjawab, tega sekali kekasihku ini."
"Rasa rinduku padamu tidak bisa di gambarkan oleh kata-kata. Sudah cukup?"
"Hehe ... sekarang aku tutup telponnya ya. See you honey."
Alena menggeleng kepala sambil tertawa. Lucu sekali kekasihnya kalau sudah merajuk seperti itu. "See you too ...."
Setelah menutup panggilan dari kekasihnya, Alena segera membereskan koper dan keluar kamar. Ia ingin pamit pada ibunya.
Gadis itu mencari ibunya di ruang tamu. Dan benar saja, ibunya sedang menonton tv di sana. Ia pun segera menghampiri dan duduk di samping sang ibu.
"Bu, hari ini aku mau pergi ke Bali bersama anak-anak ya ...."
"Berapa lama kau ke sana? Kau ada proyek baru atau mau liburan?"
Alena tersenyum kecil lalu merangkul ibunya. "Hehe ... dua-duanya. Ada proyek baru sekalian ingin liburan juga di sana. Mungkin dua pekan lagi aku akan pulang, Ibu jangan rindu ya ...."
Arin tersenyum menatap sang anak yang sedang ingin bermanja dengannya. "Mana mungkin bisa begitu? Ibu pasti rindu padamu Nak. Hati-hati ya?"
"Iya, Ibu tenang saja. Lagipula ada mereka yang menjagaku."
Saat ibu dan anak itu sedang asyik bercengkrama, tiba-tiba Alan datang. Lelaki itu baru saja pulang kuliah. Alan yang melihat pemandangan mesra tersebut, semakin merasa jengah pada Alena.
Cari perhatian sekali pada Ibu. Cih!
Alena yang mengetahui Alan pulang pun menyambut adiknya dengan gembira.
"Alan, aku akan pamit liburan bersama teman-teman. Nanti akan kubelikan oleh-oleh kue pie coklat dan komik detektif kesukaanmu ya."
Pamer sekali dia di depan Ibu? Membuatku semakin muak saja!
"Alena! Kami datang!"
Tiba-tiba terdengar suara teriakan sahabat-sahabat Alena dari luar rumah.
Perkumpulan orang menyebalkan datang lagi.
Alan hanya menatap sinis lalu pergi ke kamarnya tanpa bicara apapun.
Lagi-lagi Arin merasa sedih melihat pemandangan itu. Entah sampai kapan Alan akan berhenti bersikap seperti itu pada kakaknya.
"Alena, jangan sedih ya? Kau harus lebih dewasa menyikapi sikap Alan."
"Iya Bu, aku mengerti. Kalau aku tak dewasa, mungkin aku tak akan pernah peduli pada bayi itu."
Arin tersenyum. Ia bersyukur Alena bisa bersikap dewasa pada adiknya. "Kalau begitu, biar Ibu yang bicara padanya."
Sebelum ibunya beranjak pergi, Alena menahan lengan sang ibu. "Jangan marahi Alan ya?"
Ibunya menggeleng lemah. "Tidak, Ibu hanya ingin bicara baik-baik pada Alan. Kalau Ibu marah-marah, anak itu tidak akan mau dengar. Lebih baik kau temui sahabat-sahabatmu sekarang."
Alena mengangguk. Ia kemudian beranjak pergi ke depan rumah untuk menghampiri enam sahabat setianya.
Arin yang sudah sampai di depan kamar Alan pun terdiam sebentar. Ia kemudian mengetuk pintu kamar Alan perlahan. "Alan, boleh Ibu masuk?"
Tak lama kemudian, Alan membuka pintu dan mempersilahkan sang ibu masuk.
Alan duduk di kasur, sedangkan Arin duduk di bangku belajarnya Alan.
"Nak, Ibu ingin berbicara sesuatu padamu."
Alan memandang ibunya sejenak lalu menunduk, ia sudah menebak ke mana arah pembicaraan mereka. "Tentang dia 'kan?"
"Alan, Ibu tidak tahu apa yang terjadi pada kalian. Tapi, mau sampai kapan kau akan bersikap seperti itu pada kakakmu?"
Alan membuang muka. Sungguh ia malas sekali membahas hal tersebut. Pikirnya percuma saja, ia takkan pernah menang. Ibunya akan selalu membela Alena, Alena dan Alena.
"Dia adalah kakakmu satu-satunya. Kau dan Ibu sudah mengalami yang namanya kehilangan. Saat ayahmu kecelakaan, kita semua ditinggalkan dalam keadaan tidak siap. Jangan sampai nantinya kau menyesal karena sikapmu sekarang Alan. Kalau memang ada sesuatu, kau bisa cerita pada Ibu."
"Jadi maksud Ibu, semuanya salah Alan? Lalu Alena selalu benar? Begitu?"
"Bukan begitu Alan. Ibu hanya tak ingin kalian terus seperti ini"
"Sudahlah Bu, aku ingin istirahat. Aku ingin tidur. Maaf kalau aku mengusir Ibu, tapi aku benar-benar ingin sendirian." Alan kemudian naik ke ranjangnya dan menidurkan diri.
Arin lagi-lagi hanya bisa menghela napas melihat sikap Alan.
"Ya sudah. Lebih baik kau istirahat. Kalau kau ingin makan, panggil saja Ibu. Ibu akan memasak untukmu. Dan satu lagi, kakakmu tadi hanya ingin pamit padamu. Setidaknya temui kakakmu dulu sebelum dia pergi."
Arin menatap Alan sejenak, lalu setelahnya bergegas keluar dari kamar tersebut.
Setelah mendengar suara pintu tertutup, Alan terbangun dari tidurnya. Awalnya ia terdiam, bingung ingin menuruti perkataan ibunya atau tidak. Kalau harus bertemu rasanya malas sekali. Tapi pada akhirnya, Alan memutuskan untuk mendengar saran sang ibu dan bergegas menghampiri jendela kamar.
Bisa ia lihat sekarang, Alena dan teman-temannya sedang berpamitan pada sang ibu.
Detik itu juga, entah kenapa saat Alan melihat sang kakak—dirinya malah merasakan sebuah firasat buruk.