Parmi Empat

1457 Kata
"Bagaimana kalau kamu nikah sama saya aja?" "Parmi!" Parmi masih melongo menatap Anton yang memanggilnya berkali-kali. "Parmi boloooot!" kesabaran Anton mulai menipis. "Ah, eh... Iya Tuan, ada apa?" tanya Parmi saat tersadar dari lamunannya, mengucek kedua matanya, memastikan bahwa tadi hanya sebuah hayalan. "Sempet-sempetnya ngelamun" gerutu Anton sambil memainkan bola mata malasnya. "Udah saya mau berangkat, jangan kelamaan nangis, ntar rumah saya banjir!" ucap Anton sembari melebarkan langkah kakinya meninggalkan kamar Parmi. "Emang hujan?" Parmi mengintip ke arah jendela, sambil menggaruk kepalanya. "Gak hujan, kok. Banjir apanya? Aneh banget punya anak majikan bolot," gumam Parmi lagi. "Lagian, ngelamun apaan tadi? Tuan bolot ngelamar aku, dih ogah. Udah aku bolot, nikah sama guru bolot, anaknya ya bolot bin bololot bangetlah!" Parmi masih bergumam, mencebikkan bibirnya. **** Hari ini, Anton lalui dengan aktifitas cukup padat, kembali ke sekolah karena menyiapkan materi ajar online yang akan dia siarkan nanti sore setelah ashar. Semenjak pandemi corona, aktifitasnya banyak tersendat dan tidak sesuai target. Ada beberapa guru yang mondar-mandir di ruang guru, namun semuanya tetap menjaga jarak. Terlihat Pak Iqbal menghampiri Anton yang sedang fokus pada laptopnya. "Pak Anton mau saya kenalin janda ga?" bisik Pak Iqbal pada Anton. Anton terkekeh. "Boleh," jawabnya asal sambil tersenyum. "Siapa emangnya?" tanya Pak Anton lagi. "Janda saya, Pak," ledek Pak Iqbal sambil tertawa menutup mulutnya. "Dasaaarr, masa iya gue bekas lu Pak!" umpat Anton kesal, padahal tadi sudah berharap benar. Dari pada sama si bolot, mending sama janda. Pasti lebih berpengalaman, dan yang pasti ia tidak perlu repot-repot mengadakan remedial bagi janda. Pak Iqbal masih terkekeh mendengar gerutuan Anton. Kalau perawan kudu bimbel kudu kasih PR. Anton masih bermonolog. "Emang ga ada stok sama sekali, Bro?" tanya Anton pada Pak Iqbal. "Ada sih, tapi PO dulu." "Ba***k, Emangnya gue mau order kue!" Pak Iqbal kembali terbahak. "Yah, jaman sekarang Ton, ga janda ga perawan sistemnya PO, Ton." "Ada sih, perawan yang ga PO!" "Siapa? Boleh deh kenalin ke saya Pak." tanya Anton antusias. "Parmi," sahut Pak Iqbal sambil berlari meninggalkan Anton yang hendak melemparkan buku LKS ke arahnya. Gara-gara mendengar nama Parmi, pikiran Anton menjadi tidak fokus, apalagi tadi melihat Parmi menangis habis mandi, rambutnya digelung handuk, kulitnya yang hitam eksotis menjadi lebih bersih. "Astaghfirulloh, tengah hari malah mikirin si bolot!" gumamnya lagi, sambil menggelengkan kepala. Bep..bep.. Ponselnya berdering, tampak panggilan video call dari Angkasa, anaknya yang kini menetap di Belanda bersama mantan istrinya. [Assalamualaikum, anak papa.] [Wa'alaykumussalam. Papa lagi apa?] [Lagi di sekolah, Angkasa lagi apa,Nak?] [Lagi di rumah main sama ade Bumi.] [Mommy Bulan sama Daddy ke mana kok sepi?] [Ada lagi di kamar.] Anton menelan salivanya, kepalanya mendadak pusing seketika. Duh, nama Bulan selalu membuatnya berdebar. [Angkasa puasa ga, Bang?] [Puasa, Pa. Papa puasa ga?] [Puasa dong, Bang.] [Abang kapan ke Jakarta lagi?] [Kata mommy, Angkasa boleh ke Jakarta kalau Papa nikah.] Anton tersenyum mendengar ucapan Angkasa barusan, dengan seksama ia memperhatikan Angkasa yang sepertinya tumbuh sehat dan tercukupi, tubuhnya montok, padahal baru saja naik kelas dua SD. Rambutnya sedikit ikal, sangat mirip dengan dirinya. Setelah berbicara kurang lebih lima belas menit. Akhirnya, Angkasa menutup panggilan video call dengan Anton. Rasa rindunya dengan Angkasa sudah terobati sedikit. Anton bersiap membereskan semua keperluan untuk belajar online hari ini. Anton akan melakukan siaran langsungnya dari rumah saja. Anton mengunci laci meja kerjanya, menggendong ransel dan berpamitan pada beberapa orang guru yang masih berada di ruangan tersebut. Anton sudah sampai di parkiran motornya, begitu juga dengan Pak Iqbal. Keduanya saling melempar senyum. "Gue buka di rumah lu boleh, Ton?" "Tumben!" Pak Iqbal menyeringai. "Kalau lu ogah, biar Parmi buat gue," bisik Pak Iqbal, lalu menyalakan mesin motornya, sebelumnya Pak Iqbal memberi kode dengan mengedipkan kedua matanya. "Ambil dah!" sahut Anton setengah berteriak. Lalu dengan bergegas menyalakan mesin motor lalu menuju ke rumahnya, sepanjang jalan, Anton memperhatikan keadaan sekitar, betapa sepi jalanan saat masa PSBB ini diberlakukan. Maksud hati, ingin membeli beberapa menu takjil, namun sepertinya belum ada yang buka, mengingat saat ini masih pukul setengah dua siang. Sesampainya di rumah, Anton sudah dihidangkan dengan pemandangan Parmi melipat pakaian di ruang TV, tampaknya Mama dan Papanya belum kembali dari kantor. "Assalamualaikum." Tak ada sahutan. Anton hanya menggelengkan kepala. Percuma, ga bakal dia denger. Lalu ia masuk ke dalam rumah, setelah meletakkan sepatu di rak sepatu. Parmi menoleh saat pintu depan terbuka. "Eh, Tuan. Sudah pulang, kok ga ngucap salam sih? Nanti setan yang ngikutin di jalan, ikut masuk rumah lho!" "Udah tadi, tapi kamu ga jawab!" "Ah, masa. Saya ga denger." Parmi menautkan alisnya. "Bodo ah, saya mau mandi. Panas kalau deket kamu," ucap Anton lalu masuk ke dalam kamarnya. "Emangnya saya setan!" Parmi mencebik, bibirnya manyun, namun tangannya melanjutkan kembali melipat pakaian. Anton membuka pintu kamar dengan pemandangan takjub, sungguh kamarnya yang tadi pagi sangat berantakan, sekarang sudah sangat rapi, dibereskan oleh Parmi. Semua sudah terletak pada tempatnya Lantai kamar juga sudah bersih dan licin. Sungguh untuk yang satu ini Anton mengacungkan jempol, Parmi memang sangat pandai dan cekatan saat beres-beres rumah. Setelah mandi dan sholat dzuhur, Anton mulai melakukan kelas online untuk siswanya. Tuk! Tuk! Anton tidak mendengar karena fokus menerangkan materi pada siswanya. Tuk! Tuk! Anton kembali tidak menyahut. "Bisa banget bilangin saya budeg, sendirinya juga budeg," gerutu Parmi dalam hati. Parmi memberanikan diri untuk membuka pintu kamar Anton, tampak Anton sangat serius di sana, memakai kacamata berbingkai hitam, duduk di depan laptop di meja kerjanya. Parmi mengulum senyum, dalam hati tuan dudanya ini sebenarnya tampan, tapi sayang suka ga nyambung kalau dia ajak bicara. Padahal mah, dia ha ha ha ha ... Parmi kemudian meletakkan pakaian Anton yang telah disetrika ke dalam lemari pakaian, begitu juga dengan pakaian dalamnya. Mendengar suara riuh dari tempat duduk Anton, membuat Parmi penasaran. Sambil berjengkit berjalan menghampir Anton yang tengah fokus. Parmi tersenyum saat melihat kurang lebih ada lima belas foto anak sekolah di layar laptop Anton. "Hallo semua," sapa Parmi ramah, sambil melambaikan tangannya pada layar laptop. Anton kaget, lalu menoleh ke arah Parmi dan memandangnya tidak suka. "Apaan sih, Parmi? Ga sopan tahu!" ucap Anton sambil menatap sengit Parmi. Sedangkan Parmi cuek saja, masih tersenyum, cengangas-cengenges depan laptop. "Wuuih, Pak Anton udah punya istri lagi toh!" "Suka yang eksotis sekarang ya, Pak." "Jago masak ga, Pak?" Entah apalagi celetukan dari murid-muridnya, membuat Anton jengah dan semakin kesal dengan Parmi. "Udah sana!" Anton mendorong Parmi, agar keluar dari kamarnya. "Pelit banget," gerutu Parmi setelah sampai di luar pintu kamar Anton. Anton kembali melanjutkan materinya, setelah tadi sempat iklan oleh Parmi. Sedangkan Parmi sudah kembali ke dapur, memasak menyiapkan menu berbuka untuk tuan rumahnya. Anton tertidur setelah kelas online tadi, pukul lima sore ia tersentak dari tidurnya. Melirik jam di dinding sudah pukul lima sore, dan ia belum melaksanakan sholat ashar. Cepat Anton ke kamar mandi untuk berwudhu, lalu melaksanakan sholat ashar. Setelah sholat Anton seperti mendengar suara tawa renyah dari luar kamarnya. Suara tawa lelaki yang dapat dipastikan, itu bukan suara tawa Papanya. Anton membuka pintu kamarnya, alisnya bertaut, saat melihat Iqbal sedang membantu Parmi mengupas buah di dapur. Posisi kamar Anton yang bersebrangan tepat di ruang dapur, membuatnya dapat melihat dengan jelas. Parmi dapat bercakap-cakap dengan Iqbal seperti biasa. Sangat berbeda saat berbicara dengan dirinya. Anton menghampiri Parmi dan Iqbal di dapur. "Lha, tamu kok di dapur." "Eh, udah bangun, Bro. Ga papa, gue mau beramal sama Parmi, bantuin ngupas buah," sahut Iqbal sambil tersenyum nakal kepada Anton. "Makasih lho Pak guru, udah bantuin saya," ucap Parmi kemudian dengan senyum malu-malu, Anton memutar bola mata malasnya. "Sama-sama Parmi, ngupas buah doang mah gampang," sahut Iqbal kemudian. "Bisa aja!" Parmi mencolek lengan Iqbal. "Lu mau jadi obat nyamuk berdiri di situ?" tanya Iqbal pada Anton yang masih mematung menatap saudaranya ini dengan pembantunya cukup dekat. Anton bersungut, meninggalkan Iqbal dan Parmi yang tengah sibuk, sesekali Anton melirik. Senyum Parmi ternyata sangat manis dan tulus. Kenapa ia baru memperhatikannya? Parmi juga tidak terlihat adu urat saat berbicara dengan Iqbal, kenapa dengan dirinya, selalu saja adu urat ya? Anton kembali menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bu Rasti keluar dari kamar dengan baju santai, menghampiri Anton yang masih melirik ke arah dapur. "Mama itu jodohin kamu sama Parmi, eh malah sepupu kamu duluan kayaknya yang bikin Parmi nyaman," celetuk Bu Rasti sambil menaruh punggungnya bersandar di sofa. Iqbal adalah teman mengajar Anton di sekolah, sekaligus sepupu Anton dari pihak papanya, statusnya juga sama seorang duda dengan satu anak. "Jangan sampai menyesal ya Ton, jangan seperti kamu kehilangan Bulan," ucap Bu Rasti lagi sambil mengambil remot TV. "Mmm...emangnya Mama sudah bicara dengan Parmi?" "Belum, nanti kalau kamu setuju baru Mama omongin." Anton tampak menimbang-nimbang. Lagi-lagi Anton melirik ke dapur, matanya melotot saat Iqbal menyipratkan air ke wajah Parmi, yang membuat Parmi tertawa cekikikan. "Baiklah, Ma. Saya setuju mama jodohkan dengan Parmi." Bu Rasti tersenyum senang, menatap puteranya. Berhasil!! ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN