Parmi Lima

905 Kata
Sore ini buka puasa di rumah Anton, lebih terasa ramai, karena ada Iqbal yang bertandang kesana. Papa Anton juga pulang lebih awal, mereka semua berkumpul di meja makan. "Enak banget kolaknya ya!" puji Iqbal saat menyantap kolak buatan Parmi. "Enak dong, buatan calon mantu Bude kamu ini!" sahut Bu Rasti sambil menyeringai. Matanya melirik Anton, yang makan dengan khusyu. "Kalau Anton ga mau, buat saya aja ga papa, Bude!" "Enak aja, limited edition gitu mah, harus jadi mantu Bude. "Ada ya, budeg limited edition!" celetuk Anton, bertepatan dengan Parmi yang lewat di dekatnya, sambil menenteng piring kotor yang ia bawa dari kamarnya. Karena Parmi lebih memilih buka puasa di dalam kamarnya. "Siapa yang budeg?tuan?" tanya Parmi melihat ke arah Anton cukup serius. "Periksa Tuan, jangan dibiarkan nanti tambah parah, jadi tuna wisma. Tau kan tuna wisma itu apa?" Iqbal, Papa dan Mama Anton sudah terbahak mendengar percakapan Parmi dan Anton. "Jangan sok tahu kamu! Udah sana ke dapur, nyambung aja aja kaya kabel!" "Ye...udah budeg, galak. Hehehe...maaf Bu!" Parmi salah tingkah setelah meledek Anton. Karena melihat Bu Rasti menatap Parmi dengan seksama. Parmi melangkah ke dapur, membereskan alat makan. Sambil menunggu yang lain untuk melaksanakan sholat magrib berjamaah. Anton melirik sekilas ke arah Parmi yang masih sibuk di depan wastafel. "Mau jamaah ga, Parmi?" panggil Anton. Parmi diam saja, fokus pada kerjaannya. "Ck, Astaghfirulloh." Entah sampai kapan dia harus bersabar dengan Parmi. "Biar gue yang panggil, pasti dia nengok. Lihat cara gue manggil dia." Ujar Iqbal antusias, sambil menyeringai. "Mi, sholat magrib dulu yuk, nyucinya lanjut nanti." ucap Iqbal mendayu-dayu, membuat Parmi menoleh ke arah Iqbal. Lalu tersenyum. "Eh, iya pak guru, saya ikut jamaah, sebentar saya wudhu dulu." sahut Parmi sambil tersenyum, kemudian bergegas ke kamar mandi belakang untuk berwudhu. "Liat, kan? Begitu caranya Mas bro, serius gue, kalau lu ga mau, buat gue aja Si Parmi." Iqbal menepuk pundak Anton. "Gue heran, kenapa sama lu, dia langsung nengok, sama gue ngga ya?" Iqbal mengendikkan bahunya. "Mama yakin, kalau sudah jadi istri kamu, pasti budegnya sembuh," celetuk Bu Rasti yang sudah rapi dengan mukenanya. "Mana ada begitu, Ma. Penyakit budeg harus diobati dengan dokter, bukan dengan menikah " "Setiap hari kamu cium dong telinganya, terus dibisikin kata-kata mesra, pasti sembuh deh!" "Iihh...bau kali Mah kupingnya." Anton bergidik jijik. "Kuping siapa yang bau? Tuan?" potong Parmi tiba-tiba hadir disana. Anton dan Bu Rasti sampai kaget, Bu Rasti berusaha menahan tawanya. "Kamu kenapa selalu datang tiba-tiba sih?" Anton meninggalkan Parmi yang masih mengerutkan kening kebingungan. Sholat magrib berjamaah pun dilakukan mereka dengan cukup khusyuk. Sholat yang dilakukan di depan ruang keluarga. Diimami oleh Papa Anton. Shaf kedua diisi oleh Anton dan Iqbal, sedangkan shaf belakang diisi oleh Parmi dan Bu Rasti. Selesai sholat semua saling bersalam-salaman. Parmi dengan patuh mencium punggung tangan Bu Rasti dan suaminya, lanjut kepada Iqbal dan Anton. "Kayak hari raya ya!" celetuk Parmi dengan polosnya. Semua tertawa, begitu juga Anton. "Mi, ibu mau bicara. Bisa duduk dulu disini?" panggil Bu Rasti saat melihat Parmi bangkit dari duduknya untuk masuk ke kamar. Parmi menoleh, lalu duduk kembali persis di samping Bu Rasti dan di depan Anton. "Bu, saya bukan mau dipecat, kan?" tanya Parmi ragu-ragu. "Maaf ya Parmi, sebenarnya saya berat mengatakan ini." "Duh, Ibu. Saya jadi deg-deg an. Saya salah apa, Bu?" "Masakan saya ga enak ya?kerjaan saya ga rapi ya, Bu. Aduh maaf bu kalau soal sempak tuan Anton waktu itu, saya beneran ga tau. Ini bukan karena sempak, kan. Bu?" cecar Parmi takut, sambil meremas jemarinya. Iqbal dan Papa Anton kembali terbahak. "Ada tragedi sempak ya, Om?"bisik Iqbal pada Omnya. Pak Andi mengangguk. Anton masih menunduk, ada rasa malu juga saat ini, duduk berhadapan dengan Parmi. Membicarakan perihal pernikahan. "Kamu kayaknya ga bisa jadi pembantu saya lagi!" ucap Bu Rasti dengan lemah lembut, menatap Parmi yang tengah terperangah. "Ya Allah, Bu. Pak. Tuan, tolongin saya. Saya salah apa?" Parmi mendadak histeris mendengar ucapan Bu Rasti barusan. Matanya menatap penuh mohon kepada Pak Andi dan Anton. "Ibu saya sakit-sakitan, Bu. Kalau saya diberhentikan bagaimana?" Parmi sudah meneteskan air mata sedihnya. Bu Rasti menjadi merasa bersalah, saat berusaha meledek Parmi. "Begini, kamu tenang dulu." Bu Rasti merangkul pundak Parmi, air mata Parmi tumpah membasahi mukenanya. Anton melirik sekilas saat Parmi menangis, ada rasa iba disana. "Begini, Mmm..., kamu aja yang ngomong Ton!" Anton kaget, menatap wajah Bu Rasti yang menuntut, sedangkan persis di depannya, Parmi sedang menatapnya cukup serius. "Jadi, Tuan Anton yang ga suka sama saya gara-gara sempak? Tapi sekarang saya sudah hapal kok tuan. Merah dua, biru dongker tiga,kuning satu, cream dua, hitam dua, abu-abu enam. Lebih banyak yang abu-abu sih emang. Tuan suka abu-abu ya? Sama saya juga punya sempak abu!" semua yang ada disana tertawa terpingkal-pingkal mendengar penuturan Parmi, begitu juga Anton, air matanya sampai menetes, karena ocehan Parmi yang entah kemana-mana. "Bukan karena sempak Parmi!" ucap Bu Rasti sambil menggandeng lengan Parmi. "Saya mau kamu tidak jadi pembantu saya lagi, tapi jadi menantu saya. Bagaimana?" Bu Rasti menatap Parmi dengan serius, Parmi masih terdiam, mencoba mencerna kalimat yang diutarakan majikannya barusan. "Tuhkan, lemot. Pasti ga ngerti dia mah, susah-susah!" Anton menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Parmi!" panggil Bu Rasti sambil menggoyangkan lengan Parmi. Membuatnya menoleh. "Maksud Ibu?" Parmi memberanikan diri melirik Anton yang menunduk. "Kamu mau ga jadi istri anak saya?" Bu Rasti menarik ekor matanya kepada Anton. Wanita paruh baya itu tersenyum. "Hah!" Parmi melotot kaget, tiba-tiba dadanya berdebar. "Ga ah, tuan Anton budeg!" "PARMI!!!!" ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN