Menata Masa Depan

1666 Kata
Aa salah besar jika bisa membuatku mau menunggunya, karena begitu mendapatkan koperku, aku langsung berjalan keluar terminal kedatangan, menuju tempat menaik-turunkan orang. Aku mendapatkan taksi yang akan mengantar pulang. Kecuali benar-benar sudah terpojok, tidak bisa melarikan diri, mungkin aku akan pasrah berhadapan dengannya. Namun, selama bisa melarikan diri, menghindar adalah pilihan terbaik untuk sekarang. Lagi pula menunggu Athaar bisa lama, dia pasti perlu menyelesaikan laporan tugasnya dulu. Masa aku sudah jauh-jauh liburan, pulang langsung disambut rasa galau yang bikin mood berantakan? Ugh enggak yah! Lega bukan main saat aku sudah duduk di taksi, rasanya bagian dari wilayah Bandara Soeka-Hatta masih terlihat ketika ponselku berdering. Panggilan dari orang yang kuhindari. Aku tidak langsung menjawab, pilih menatap layarnya terus menerus sampai hal itu menimbulkan heran dari sopir taksi yang mengantarku. Sebelum benar-benar namanya hilang dari layar ponsel, aku segera menggeser tanda menjawab dan membawa ponselku ke telinga. “Iya Aa...” “Kamu di mana?” tanyanya yang pasti sudah mencari keberadaanku. Aku menghela napas dalam-dalam, melempar tatapan ke kaca mobil tepat sebelahku, “sudah di taksi Aa, ini sudah masuk Tol.” “Pantas Aa cari enggak ada, pesan yang Aa titipkan ke salah satu pramugari, sampai ke kamu?” tanyanya. “Aku terima kok, tapi maaf enggak bisa tunggu... Candani tadi telepon, sudah menunggu.” Lagi-lagi aku menggunakan nama adikku sebagai alasan, tidak mau kentara menghindar atau menyakitinya. “Ya sudah,” “Maaf ya Aa...” “It’s oke... hati-hati.” Ucapnya mengakhiri telepon. Aku terdiam menatap ponselku. “Apa aku merasa dia kecewa?” gumamku namun segera menggelengkan kepala, ah mana mungkin Aa kecewa hanya karena aku tidak mengiyakan untuk menunggu dan pulang bersamanya? Masih memegang ponsel, aku pilih memanfaatkan waktu melamun. Sampai lupa jika sudah waktunya aku makan sesuatu, perutku mulai meraung menjadi pengingat alamiah. Aku mengambil makanan yang kubawa hasil pemberian. Sudah hampir ambil salah satu spring rolls namun tanganku justru menyentuh snack bar pemberian Athaar. Aku membukanya lebih dulu, memakannya sambil mengulas senyum karena rasa favoritku oh atau karena tahu siapa yang memberikannya? *** Candani tidak pernah meminta oleh-oleh, tetapi aku yang selalu membawakannya. Dibanding makanan, aku lebih suka membelikannya seperti pakaian. “Ih bagus banget!” dia memutar tubuhnya, memperlihatkan baju pantai yang kubelikan, lalu mencoba setelan baju tidur. “Mbak enggak bawa apa-apa, cuman itu.” “Terus ini buat, Abizar sama Neisha?” dia mengangkat dua pasang baju anak-anak. Sudah kubilang, sekali pun aku sering dibuat kesal oleh tingkah para kakakku, aku tetap menyayangi anak-anaknya seperti anak sendiri. Neisha anak dari Abang Sena, sudah SMP kelas satu. “Antarkan sama kamu,” “Nanti sore, aku memang akan ke rumah Mas Suta.” Aku menatap adikku, “Mbak Nia minta kamu ngajarin Abizar? Mendidik, mengajarkan Abizar pelajaran, di rumah, kalau enggak di masukkan ke tempat Les, ya seharusnya jadi tugas Ibu-bapaknya. Kenapa kamu yang turun tangan?” “Mbak Nia pulangnya lagi malam-malam terus, Mbak.” “Dia memang suka seenaknya, ada ngasih kamu buat jajan enggak?” aku bukan mengajarkan adikku perhitungan dengan saudara, tetapi paling tidak ada pengertian karena tenaganya sudah diambil mengurus anak dari kakaku saat mereka sedang sama-sama sibuk. Candani mengulas senyum, “kalau enggak dapat uang, ya paling enggak senang lihat Abizar bisa menguasai pelajaran-pelajarannya.” Aku yang sudah lelah malas berkomentar lagi, selain memberi pesan, “kamu juga harus prioritaskan diri sendiri, persiapan buat ujian lho Candani... Nanti Mbak bantu carikan lowongan pekerjaan, kalau habis lulus dan kamu enggak langsung kerja, bukan Mbak keberatan tapi Mbak Nia dan Mas Suta atau Abang dan istrinya bisa makin manfaatkan kamu buat kepentingan mereka sendiri!” Kalau padaku mereka butuh uangku, maka pada Candani suka seenaknya memerintah, memakai tenaganya. Lihat, baru juga beberapa jam di rumah, rasanya sudah penuh lagi dengan banyak hal-hal menyesakkan yang terjadi di sekitarku. “Mbak lagi mikirin apa?” tanya Candani yang berikutnya mendekat, “capek ya? pegal? Mau aku pijat?” Aku menggeleng, “sini tiduran samping, Mbak!” Dia menurut, kami menatap langit-langit kamar dalam keheningan sampai aku terlintas sesuatu, dan ingin minta pendapatnya, “aku sebenarnya cuman lagi tunggu kamu sampai lulus,” Candani mengartikannya berbeda saat dia menoleh, menyeringai, “sudah ada pacar? Siapa?! Mbak, enggak usah tunggu aku kalau memang sudah siap mau menikah—aduh!” Aku menyentil keningnya, “bukan! Kamu ini!” “Yaaah, terus apa?” “Kita pindah, aku rasanya enggak akan bisa mencapai target buat tebus rumah orang tua kita.” Waktu semakin sempit, sementara mustahil bisa mencapai angka empat ratus juta. “Walau berat, kita harus merelakannya... Dan Mbak sudah pikirkan matang-matang, untuk mulai cari rumah atau apartemen yang sekiranya bisa dicicil, dan cukup.” “Aku setuju, karena memang berat ngumpulin sebanyak itu. Apalagi kalau rumah Ibu-Bapak sudah Mbak tebus, enggak ada jaminan Abang atau Mas yang enggak akan menuntut rumah ini dibagi waris. Jadi, sebaiknya memang Mbak beli. Biar Abang dan Mas juga lihat, kalau Mbak punya cicilan, jadi enggak seenaknya minjam duit tapi enggak pernah mikir buat balikin!” Aku menoleh, tatapan kami beradu. Rupanya Candani paham sekali dengan apa yang aku pikirkan. "Mungkin kalau tempat tinggal kita agak berjauhan dari abang dan Mas, hubungan kita dan mereka jadi jauh lebih baik. Kata orang, saudara itu kalau dekat suka berselisih, kalau jauh baru terasa ada kasih sayangnya." Walau dari dulu paling menghindari punya cicilan besar dalam jangka panjang, rasanya kini jauh lebih baik yang bisa kugunakan tameng jika aku juga memiliki pengeluaran besar yang nyata, terlihat. Bukan dianggap boros, atau tabungan yang bisa dipakai dulu seenaknya. Saat kami masih diskusi, suara perut lapar membuat kami berdua tertawa. “Mbak mau makan apa?” tanyanya. Sigap keluar untuk beli. Aku terdiam, “kayaknya ayam bakar penyet cabe hijau enak, Candani...” “Oke!” dia berdiri dengan semangat. Aku memberinya uang. Sambil menunggu, aku tetap di tempat dan kembali memikirkan semuanya. Meski hidup bukan perlombaan, tetapi kuyakin setiap orang punya harapan untuk pencapaiannya paling tidak perubahan lebih baik, agar tidak tetap terasa berjalan di tempat, bukan? *** Sahabat sekaligus bosku, selain dia sudah bekerja dari lama dan orang berada, ditambah punya suami super kaya, tetap saja senyumnya semeringah begitu aku memberikannya oleh-oleh. “Istri Sky Xabiru Lais, masih suka oleh-oleh receh ya?” ledekku. Dia tergelak, hari ini datang ke kantor bersama si kecil Kai. Sementara Rigel sekolah, pulangnya baru akan menyusul ke sini. “Aku juga beli baju buat Kai dan Rigel, maaf ya merek lokal.” Ucapku sungkan, semua merek baju anak-anaknya ternama, bahkan satu kaus yang digunakan Kai sekarang, lebih mahal dari harga ponsel yang kupakai. “Lokal juga kualitas bagus ini, pasti bakal dipakai. Coba Kai!” Kai yang sedang anteng menurut saja saat Sea memakaikannya baju. “Tahu enggak sih, Dillah!” Aku langsung menjawab, “enggak tahu, kan belum dikasih tahu!” sambil tergelak meledeknya. Sea berdecak, “ini mau aku kasih tahu kalih! Dengerin dulu!” “Iya, apa? Mode nyimak on!” jawabku dan duduk tegak fokus padanya. “Pertama aku benar-benar iri sama liburanmu! Aish semua terlihat menyenangkan, bahkan kulitmu jadi makin eksotis gini, tetap cantik!” pujinya. Bicara foto yang kuupload, dari banyaknya yang beli like dan komentar, ada dua orang yang membuatku terkejut. Pertama Athaar di dalamnya, lalu Pak Dzaki yang memang kami saling mengikuti sejak makan malam itu. Lalu mata Sea memicing serius, “kamu belum cerita detail bertemu Pak Dzaki! Coba kasih tahu, kalian sudah sejauh apa?” Aku memutar bola mataku sambil bersedekap, “cuman kebetulan bertemu beberapa kali. Aku motret mereka, terus sebagai ucapan terima kasih, Pak Dzaki traktir makan malam—“ “Itu bukan hal biasa, tapi sudah jadi awal luar biasa keleess!” decaknya menyela, terlihat bersemangat. “Ih enggak nyangka deh, sampai makan malam.” “Hal biasa, Sea.” Aku menampiknya. Merasa tidak ada yang istimewa, selain memang makanannya yang enak. “Sudah yuk, mulai kerja!” “Bilang saja mau stop ke kepoan aku!” decaknya lagi tidak terima. Tetapi, kemudian Sea tetap menahanku, “terus Aa bilang, kamu jadi salah satu penumpang di pesawat yang kebetulan dia bawa. Aa ajak kamu balik bareng, kamu malah ngilang dan pulang duluan?” Aku kembali diingatkan, jika Athaar tidak bilang pada Sea, sepertinya aku pilih untuk tidak memberitahunya. “Aku buru-buru,” tetap memberi jawaban konsisten yang kugunakan pada Athaar juga. Sea menegakkan duduknya, “tadinya aku mau minta bantuan kamu, tapi mengingat ini tidak baik untukmu... jadi aku minta bantuan Sky.” Keningku kali ini mengernyit, bantuan apa yang sampai dia memikirkan baik tidaknya untukku? “Tentang apa?” “Mencari tahu mengenai Rea,” “Ya?” “Ya, intinya aku mencium sesuatu yang semakin terlihat disembunyikan oleh Aa.” “Sebentar, bukannya katamu semua kecurigaanmu dan Ibu tidak terbukti? Rea mau pulang ke rumah, bahkan menginap?” Sea menghela napas, “aku belum cerita ya? Althaf ngegep mereka debat, terus Aa tidur di kamarku. Kamar yang biasa aku tempati kalau ke rumah Ibu. Pagi-pagi, Aa keluar dari sana sendiri, Rea di kamar mereka. Tapi, pas sarapan bareng, mereka terlihat biasa saja. Pasangan yang baik-baik, enggak akan tidur dikamar terpisah, Dillah. Se-berantem-berantemnya aku dan Sky, kami tetap satu ranjang dan habis itu baikkan.” Aku terdiam mendengar semuanya. “Habis itu, balik sibuk... sudah sebulan, Rea bahkan enggak ke rumah Ibu. Seperti sebelumnya, selalu ada saja alasannya.” Hubungan seperti apa yang sebenarnya terjadi? Jujur aku penasaran, tetapi bukan ranahku untuk mencampuri. Sebaiknya memang Sea tidak pernah melibatkan diriku. “Terima kasih, karena mempertimbangkan untukku tidak bantu kamu kali ini.” ucapku. Sea terkekeh, “aku sangat mengenal dirimu, Dillah... Sebenarnya Sky sih yang menyadarkan aku, untuk enggak melibatkan kamu.” Ada jeda sejenak, Sea menarik napas dalam-dalam, “walau di awal Aa pilih Rea, aku kurang sreg... benar deh, aku tidak berharap lihat kegagalan semacam ini dalam kehidupannya.” Aku juga mengharapkan yang sama sekalipun aku mencintainya dan dibuat sesak melihatnya bersama wanita pilihannya. “Dari Aa menikah, kamu merasa Aa bahagia kan, Sea?” entah mengapa kalimat tanya itu yang keluar dari bibirku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN