Satu tahun kemudian...
Aku tersenyum menatap pantulan diriku dicermin, menatap puas pada hasil usahaku setahun lebih belakangan. Akhirnya aku tahu rasanya merasa bebas memilih pakaian tanpa pusing memikirkan ukurannya yang jarang ada, kecuali brand tersebut memang mengeluarkan ukuran besar. Dari berat tujuh puluh delapan, kini beratku sudah lima puluh tiga. Aku masih konsisten untuk stabil menjaga pola hidup sehatku. Patah hati benar-benar menjadi titik balik aku menjadi Dillah yang berbeda. Beruntung aku diberi kartu member tempat gym ternama, Sea yang memberikannya untuk mendukung tekatku setelah patah hati setahun lalu.
“Mbak aku sudah kesiangan,” Candani kini sudah menginjak kelas tiga, setahun lagi dia akan selesai SMA. Aku memintanya untuk kuliah, tapi Candani tidak mau merepotkanku, dia bilang akan kuliah selama memang dia bisa membiayainya sendiri.
Aku masih belum bisa menebus rumahku, kemarin aku dapat surat peringatan jika pertengahan tahun ini akan dilelang jika aku tidak segera menebusnya. Sementara kakak-kakakku angkat tangan, Fusena bahkan tidak ada usaha untuk itu karena untuk makan keluarganya pun pas-pasan. Candani sudah memintaku untuk merelakannya saja, tetapi aku merasa tidak bisa melepas rumah hasil usaha dan peninggalan Bapak dan Ibu. Entah uang dari mana, aku akan mengusahakannya sebelum jatuh tempo dan rumah itu dilelang.
Ibu meninggal dua bulan setelah kami kehilangan rumah, setelahnya menjadi hari-hari berat untukku dan Candani, sekarang aku lebih memikirkan hidupku dan Candani sampai dia bisa membiayai dirinya sendiri setelah lulus nanti. Kehilangan Ibu membawa banyak perubahan dalam hidupku, aku bahkan jarang menemui kakak-kakaku yang sibuk dengan kehidupan masing-masing. Aku pun tidak peduli lagi pada mereka, sudah terlalu kecewa.
“Bawa motor, Mbak saja.”
“Terus, Mbak?”
“Turun di stasiun,” aku akan naik kereta saja menuju kantor Lais—tempat di mana Sea mengurus bisnisnya. Aku masih betah jadi asisten pribadinya hingga sekarang, bukan hanya perkara penghasilan yang bagus, tapi mencari pekerjaan baru pun yang lebih baik, sulit.
Ketika diumumkan aku akan lebih banyak bekerja di sana, aku senang bukan main. Alasan lainnya, setahun ini aku berhasil menghindari pertemuan atau melihat Athaar dengan istrinya. Dalam upaya move on, memang lebih baik tidak melihatnya dulu.
Aku membiarkan Candani mengemudi, aku duduk di belakang.
“Mbak sudah kurus, jadi nyaman kalau diboncengi.”
“Padahal aku bisa saja bonceng Mbak walau masih kayak dulu.” Kata Candani.
“Enggak ah, aku yang takut kamu berat, malah celaka nanti.” Kataku.
Candani tersenyum, kami berjanji akan semakin saling menjaga setelah Ibu tiada.
“Belajar yang benar ya, biar masa depan kamu lebih baik dari Mbak.”
“Iya, Mbak...”
“Bawa motornya enggak usah ngebut, enggak usah ditengah-tengah. Di sisi saja,”
“Aku dengar peringatan justru dari Mbak yang suka ngebut,”
“Mbak nyetir motor atau mobil pelan, hati-hati kalau bawa Sea dan anak-anaknya. Soalnya Pak Sky itu sudah warning duluan, bawel. Dia lebih ancaman dari pada ditilang polisi.” keluhku jujur sambil terkekeh membayangkan saat suami dari sahabatku mulai memberi peringatan berulang-ulang begitu tahu aku yang mengemudi saat bersama Sea dan anak-anaknya.
“Teteh Sea beruntung ya. Dunia seadil itu buat yang cantik, dapatnya yang ganteng ditambah pewaris kaya raya.” Kata Candani.
Aku mengiyakan, karena kenyataannya begitu, "sebelum dia bahagia seperti sekarang, ada bagian tersulit juga yang pernah dilaluinya kok. Namanya kehidupan, sebelum bagian terbaiknya akan menemukan fase tersulitnya, sebelum memetik manisnya, harus mencecap pahit dulu."
"Aku menunggu sekali melihat Mbak dapat terbaik dan termanisnya,"
Aku mengaminkan. Tidak terasa sudah sampai ditujuan. Kubiarkan Candani pergi. Aku tetap menatap adikku sampai benar-benar tidak terlihat barulah aku berbalik untuk menaiki tangga menuju stasiun MRT. Namun, sebelum benar-benar melangkah, ponselku berdering.
Sea menelepon, aku segera menjawabnya, “Ya, Bos?”
“Bos-bos!” Omelnya yang memang tidak mau mendengar aku memanggilnya begitu walau dia bos, dia tetap Sea yang sama, tidak pernah berubah walau kini hidupnya sangat bahagia bersama suami yang mencintainya dan anak-anak yang lucu.
Aku terkekeh, “sebelum aku lupa, ini kamu sudah di mana?”
“Baru mau naik ke stasiun,” jawabku.
“Naik taksi saja deh, nanti ongkos aku ganti.”
“Ya? Ke kantor—“
“Enggak, maksudku sebelum ke kantor, tolong mampir dulu ke rumah Ibu. Jemput Rigel sama ncusnya, sekalian ambil titipan Ibu ya... Sopir yang biasa, tadi lapor ban mobilnya kempes. Althaf belum pulang, masih di Surabaya sama Sky.” Althaf merupakan adik laki-laki Sea dan Athaar.
Aku terdiam, sejak Athaar menikah, aku ke rumah Ibu dari Sea pun bisa dihitung jari, terakhir sebulan lalu yang beruntungnya Athaar dan istrinya sedang menginap di rumah orang tua Rea.
“Athaar tugas, belum jadwal balik.” Jawabnya, lihat dia masih Sea yang sama seolah tanpaku bicara, paham yang sedang kupikirkan.
“Oh, kalau ada juga enggak apa-apa sih... sudah lama enggak bertemu juga.”
“Kupikir kamu menghindar dengan sengaja,”
Aku kembali terdiam.
“Sudah-sudah... masih pagi, kerjaan kita banyak kalau kamu nanti kubuat enggak mood.”
“Ih apa sih? Siapa juga yang enggak mood.” Bantahku. Sea terkekeh. “Ya sudah, aku jalan jemput si ganteng dulu ya...”
“Thank ya, Dillah... kamu memang terbaik!” pujinya.
Aku bicara beberapa patah kata, mengakhiri telepon sebelum pilih ke sisi jalan memesan ojek online saja. Nanti pasti aku menyetir mobil Sea yang ada di rumah Ibu untuk ke kantor membawa putra pertamanya dan pengasuhnya.
***
Sepanjang jalan pagi ini, aku berdoa untuk benar-benar tidak bertemu Athaar dan istrinya seperti kata Sea.
“Aku juga tidak perlu mencari jawaban kalau bertemu, terus Aa tanya aku ke mana saja baru terlihat, kan? Toh dia juga enggak akan peduli aku sering datang atau tidak...” gumamku.
Di perjalanan, aku memeriksa email yang masuk dan menyesuaikan lagi dengan agenda Sea ke depan.
Begitu sudah sampai, aku segera keluar dan tidak lupa mengucapkan, “terima kasih ya, Pak... pasti saya kasih bintang lima!” kataku.
“Terima kasih banyak, Ka...” katanya semeringah.
Aku turun, baru menutup pintu dan biarkan taksi melaju saat mendapati mobil dinas dengan logo maskapai bergantian melaju hingga berhenti dekat dengan posisiku berdiri, aku mengepalkan tangan, langsung tahu jika di dalamnya yang akan segera turun ialah pria yang setahun belakangan kuhindari.
“Sea tidak mungkin berbohong, sengaja memintaku datang kalau tahu ada Athaar...” bisikku.
Aku sampai bingung mengatur ekspresi saat bersiap menghadapinya yang sudah terlanjur di sana, tetapi kakiku malah kuarahkan berbalik dan segera menuju gerbang, seolah tidak mau menunggu. Aku membuka gerbang, bersamaan dengan terdengar suara pintu dibuka.
Aku berbalik, tetap ingin jalan pura-pura tidak melihat tetapi sebuah suara mendahuluiku, “Wawa pulang!”
Rigel keluar dari rumah, diikuti Ibu. Aku berdiri kaku, hingga terdengar suara langkah menyusul di belakang, menatap Rigel yang berlari menyambut ke pulangan Athaar.
Aku menoleh saat dia berhenti di sebelahku, masih lengkap dengan seragam pilotnya. Dia membuka topinya, melepas tangan yang menyeret koper, lalu menoleh hingga tatapan kami yang sudah lama tak jumpa, akhirnya menemukan satu sama lainnya lagi.
Dia menarik sudut bibir, ramah sama seperti dulu, senyum yang tetap sama.
“Apa kabar, Dillah?” sapanya. Dia mengenaliku dengan mudah meski pipiku sudah lebih tirus.
Aku tersenyum, “sebaik yang terlihat... Aa?”
“Baik, sehat dan senang bisa pulang ke rumah...” jawabnya kemudian segera meraup tubuh Rigel, mengendongnya tanpa merasa berat meski Rigel kini sudah berusia empat tahun. Semakin besar dan tinggi.
Aku menatapnya, sama seperti dulu. Kagum saat dia berinteraksi natural penuh ketulusan, kasih sayang dengan keponakannya. Namun, membuatku bingung saat hanya Ibu, dan Rigel yang menyambutnya pulang. Seharusnya ada Rea—istrinya yang paling antusias menyambut kepulangannya, kan? Tidak ada sosok itu, apa mungkin sudah berangkat kerja? Hm, setahuku Rea memutuskan resign dari pekerjaannya setelah enam bulan dari pernikahannya dengan Athaar.
“Dillah, ayo masuk dulu yaa... Ibu mau titip sesuatu buat Sea juga, tapi Ibu siapkan minum buat Aa dulu ya. Enggak apa-apa kalau tunggu sebentar? Kamu mau minum apa? Biar sekalian Ibu buatkan...” tanya Ibu Anggita. Selain Sea, ibunya sangat baik padaku yang bahkan membuatku seperti menghadapi Ibu sendiri.
"Jangan bu, kalau haus aku ambil sendiri nanti." Aku menolak, lalu ikut melangkah masuk dengan perasaan yang sulit kujelaskan. Aku menatap punggung gagah berseragam pilot di depanku sambil mengendong Rigel.
“Biar aku bantu,” aku berinisiatif membantunya membawa koper.
Dia memberi anggukan, “terima kasih...”
Paling tidak aku bisa cari kesibukan sambil berharap cepat meninggalkan rumah ini. Tak berlama-lama berinteraksi dengan Athaar.
“Aku kira kamu sudah enggak kerja sama Sea, karena sudah lama tidak terlihat ke sini. Tapi, pas aku tanya Ibu maupun Sea, mereka kompak kamu masih kerja sama Sea karena Sky juga enggak mau risiko cari asisten baru untuk istrinya. Sudah percaya sama kamu.” Athaar memulai, membuatku tertahan di ruang tengah begitu masuk.
“Aku yang sudah betah juga kerja sama Sea, Aa... Jarang terlihat, karena setelah launching Vanora, Sea ngantor juga di tower Lais. Jadi, lebih sering ke sana... Sempat datang kok ke sini, pas saja Aa lagi enggak di rumah.”
Athaar yang membiarkan Rigel duduk di salah satu pahanya, menatapku dan mengangguk setuju dengan ucapanku.
“Pas ibumu meninggal, maaf Aa enggak bisa datang karena lagi tugas. Pas pemberangkatan haji, jadi jadwalnya padat.”
“Enggak apa-apa, sudah diwakili Ibu Anggita, Sea-Pak Sky dan Althaf yang temani hari berat itu.” Jawabku, masih sedih dan sesak tiap kali ada yang membahas tentang hari kehilangan ibuku.
“Aku tahu tidak pernah mudah untuk mengikhlaskan,” nada suaranya melembut.
“Ya, harus melewati masa terpaksa hingga terbiasa dulu. I know, Aa..” sama seperti melupakan Aa... Lanjutku dalam hati.
Aku terdiam beberapa saat, sampai Athaar kembali memanggilku, “Dil...”
“Ya?”
“Kamu masih mau berdiri? Tunggu Ibu sambil duduk saja, pegal lho itu...” katanya. Membuatku baru tersadar jika sejak tadi aku memang betah berdiri, tidak ada keinginan duduk karena tahu rasanya seperti menduduki paku, tidak nyaman. Aku hanya menginginkan segera beranjak dari sana.
“Nty Dillah, duduk...” dan ketika bos kecil, Rigel ikut memerintah, aku tak berdaya untuk menolak.
Ouh sialnya, aku benci hari ini. Harusnya aku bisa menolak Sea dengan alasan apa pun tadi!
Selama duduk, aku berusaha untuk tidak menatapnya. Tetapi, keinginan dari dalam hatiku lebih besar dibanding dalam kepala yang terus mengingatkan untuk tidak melakukannya.
Aku menatapnya, tepat Athaar juga sedang mengarahkan tatapannya padaku. Aku mengulas senyum, bagusnya tiba-tiba Rigel meminta ke kamar mandi.
"Huft..." aku menarik napas lega setelah Athaar mengantar Rigel.
Sepanjang menunggu di sana, aku juga tidak bisa menghentikan rasa penasaran, di mana Rea—istri Athaar berada? Jika aku jadi istrinya, aku sudah pasti akan membawakan minum untuknya setelah ditinggal tugas berhari-hari, bukan malah Ibu Anggita yang tetap melakukannya seperti dulu.