Satu tahun kemudian...
“Aa,” panggilku. Mendekatinya yang berdiri mematung menatap ruang persalinan, “Ibu bersama Sea. Aa duduk ya...”
Sejak kami menuju rumah sakit untuk persalinan adiknya, aku melihat Athaar yang sigap namun juga tegang. Athaar mengupayakan adiknya cepat sampai rumah sakit.
Dia masih bergeming di tempatnya, kemudian aku beranikan diri menyentuh tangannya membuat ia menatap mataku.
Pasrah, ia mengikuti ajakanku duduk. Berulang kali dia menghela napas dalam melewati setiap detik menggetarkan menunggu proses persalinan Sea.
“Harusnya laki-laki yang bertanggung jawab itu bersamanya, di sini!” dia mengetatkan rahangnya, kentara kemarahannya.
Aku mendekat, berniat mengusap lengannya justru Athaar meraih tanganku kemudian menggenggamnya. Awalnya aku terkejut, namun kutahu dia membutuhkan selama memang ini berhasil menenangkannya.
“Adikku berjuang sendirian,”
“Sea punya Ibu, ada Aa dan Althaf juga... Anaknya nggak akan kekurangan kasih sayang. Aku yakin.”
Dia menoleh kemudian tatapan kami beradu, dia mengulas senyum, “juga ada kamu, teman baik Sea.”
Aku mengangguk, memberi janji, “aku juga akan bersama Sea, bersama Aa dan keluarga kalian.”
Kemudian hening menyelimuti kami. Selama itu juga aku merasakan kecemasan yang ia salurkan melalui genggaman tangannya padaku. Kadang erat, ada usapan lembut kemudian sedikit mengendur perlahan-lahan.
Suara tangis bayi yang terdengar hingga depan membuat Athaar berdiri, “a-apa itu suaranya? Keponakanku sudah lahir?”
Aku ikut berdiri, “Ya, suaranya kencang sekali. Ouh jagoan—“
Terkesiap bersamaan jantungku berdebar-debar saat ia menarik tubuhku. Memeluknya. “Aku resmi menjadi Wawa, oh bukan... aku sekaligus akan jadi ayahnya. Akan mengusahakan kasih sayang yang harusnya diisi oleh ayahnya, aku akan berusaha Rigel tidak kekurangan kasih sayang.”
Tanganku yang semula menggantung disisi perlahan terangkat dan memeluk punggungnya, mengusap-usap lembut bersamaan kepalaku mengangguk, “aku yakin Rigel akan jadi anak yang sangat bahagia memiliki Aa salah satunya, dalam hidupnya!”
Setiap momen yang ada, baik untuk membagi kebahagiaan atau kesedihan teramat membekas dalam ingatan dan hatiku. Bukan hanya aku, tetapi dia pun membagi suka dan dukanya bersamaku.
Ya, dulu sebelum kehadiran wanita lain dalam hidupnya. Sekarang kuyakin dia sudah menemukan seseorang yang siap membagi duka maupun suka bersamanya setiap waktunya. Dia tidak lagi membutuhkanku.
“Huft!”
Aku menarik napas dalam-dalam, menyadari posisiku yang sedang menatap cermin dalam kamar kecilku.
“Berhenti mengingatnya, ya ampun menyebalkan sekali!” decakku. Kemudian segera mengusir bayangan wajahnya, tersenyum menatap pantulan diriku dicermin, menatap puas pada hasil usahaku setahun lebih belakangan. Akhirnya aku tahu rasanya merasa bebas memilih pakaian tanpa pusing memikirkan ukurannya yang jarang ada, kecuali brand tersebut memang mengeluarkan ukuran besar. Dari berat tujuh puluh delapan, kini beratku sudah lima puluh tiga. Aku masih konsisten untuk stabil menjaga pola hidup sehatku. Patah hati benar-benar menjadi titik balik aku menjadi Dillah yang berbeda.
“Mbak aku sudah kesiangan,” Candani kini sudah menginjak kelas tiga, setahun lagi dia akan selesai SMA. Aku memintanya untuk kuliah, tapi Candani tidak mau merepotkanku, dia bilang akan kuliah selama memang dia bisa membiayainya sendiri.
Aku masih belum bisa menebus rumahku, kemarin aku dapat surat peringatan jika pertengahan tahun ini akan dilelang jika aku tidak segera menebusnya. Sementara kakak-kakakku angkat tangan, Fusena bahkan tidak ada usaha untuk itu karena untuk makan keluarganya pun pas-pasan. Candani sudah memintaku untuk merelakannya saja, tetapi aku merasa tidak bisa melepas rumah hasil usaha dan peninggalan Bapak dan Ibu. Entah uang dari mana, aku akan mengusahakannya sebelum jatuh tempo dan rumah itu dilelang.
Ibu meninggal dua bulan setelah kami kehilangan rumah, setelahnya menjadi hari-hari berat untukku dan Candani, sekarang aku lebih memikirkan hidupku dan Candani sampai dia bisa membiayai dirinya sendiri setelah lulus nanti. Kehilangan Ibu membawa banyak perubahan dalam hidupku, aku bahkan jarang menemui kakak-kakakku yang sibuk dengan kehidupan masing-masing. Aku pun tidak peduli lagi pada mereka, sudah terlalu kecewa.
“Bawa motor, Mbak saja.”
“Terus, Mbak?”
“Turun di stasiun,” aku akan naik kereta saja menuju kantor Lais—tempat di mana Sea mengurus bisnisnya. Aku masih betah jadi asisten pribadinya hingga sekarang, bukan hanya perkara penghasilan yang bagus, tapi mencari pekerjaan baru pun yang lebih baik, sulit.
Ketika diumumkan aku akan lebih banyak bekerja di sana, aku senang bukan main. Alasan lainnya, setahun ini aku berhasil menghindari pertemuan atau melihat Athaar dengan istrinya. Dalam upaya move on, memang lebih baik tidak melihatnya dulu.
***
Rencana berubah sesaat aku akan masuk stasiun, Sea menelepon dan memintaku datang ke rumah Ibu menjemput putranya sekaligus susternya karena sopir yang biasa tidak masuk, sementara tidak ada siapa pun yang bisa dia mintai tolong.
Sepanjang jalan pagi ini, aku berdoa untuk benar-benar tidak bertemu Athaar dan istrinya seperti kata Sea, yang menurut informasinya jika kakaknya masih tugas.
“Aku juga tidak perlu mencari jawaban kalau bertemu, terus Aa tanya aku ke mana saja baru terlihat, kan? Toh dia juga enggak akan peduli aku sering datang atau tidak...” gumamku. Sialannya aku sudah gugup lebih dulu, baru hanya membayangkan akan bertemu dengannya.
Di perjalanan, aku memeriksa email yang masuk dan menyesuaikan lagi dengan agenda Sea ke depan. Begitu sudah sampai, aku segera keluar dan tidak lupa mengucapkan terima kasih pada sopir taksi yang mengantarku.
Aku turun, baru menutup pintu dan biarkan taksi melaju saat mendapati mobil dinas dengan logo maskapai bergantian melaju hingga berhenti dekat dengan posisiku berdiri, aku mengepalkan tangan, langsung tahu jika di dalamnya yang akan segera turun ialah pria yang setahun belakangan kuhindari.
“Sea tidak mungkin berbohong, sengaja memintaku datang kalau tahu ada Athaar...” bisikku.
Aku sampai bingung mengatur ekspresi saat bersiap menghadapinya yang sudah terlanjur di sana, tetapi kakiku malah kuarahkan berbalik dan segera menuju gerbang, seolah tidak mau menunggu. Aku membuka gerbang, bersamaan dengan terdengar suara pintu dibuka.
Aku berbalik, tetap ingin jalan pura-pura tidak melihat tetapi sebuah suara mendahuluiku, “Wawa pulang!”
Rigel keluar dari rumah, diikuti Ibu. Aku berdiri kaku, hingga terdengar suara langkah menyusul di belakang, menatap Rigel yang berlari menyambut ke pulangan Athaar.
Aku menoleh saat dia berhenti di sebelahku, masih lengkap dengan seragam pilotnya. Dia membuka topinya, melepas tangan yang menyeret koper, lalu menoleh hingga tatapan kami yang sudah lama tak jumpa, akhirnya menemukan satu sama lainnya lagi.
Dia menarik sudut bibir, ramah sama seperti dulu, senyum yang tetap sama. Senyum yang kini kuharap tidak pernah melihatnya.
“Apa kabar, Dillah?” sapanya. Dia mengenaliku dengan mudah meski pipiku sudah lebih tirus.
Aku tersenyum, “sebaik yang terlihat... Aa?”
“Kamu memang sebaik yang terlihat, pun berbeda. Aku baik, sehat dan senang bisa pulang ke rumah...” jawabnya kemudian segera meraup tubuh Rigel, mengendongnya tanpa merasa berat meski Rigel kini sudah berusia empat tahun. Semakin besar dan tinggi.
Aku menatapnya, sama seperti dulu. Kagum saat dia berinteraksi natural penuh ketulusan, kasih sayang dengan keponakannya. Namun, membuatku bingung saat hanya Ibu, dan Rigel yang menyambutnya pulang. Seharusnya ada Rea—istrinya yang paling antusias menyambut kepulangannya, kan? Tidak ada sosok itu, apa mungkin sudah berangkat kerja? Hm, setahuku Rea memutuskan resign dari pekerjaannya setelah enam bulan dari pernikahannya dengan Athaar.
“Dillah, ayo masuk dulu yaa... Ibu mau titip sesuatu buat Sea juga. Enggak apa-apa kalau tunggu sebentar? Kamu mau minum apa? Biar sekalian Ibu buatkan...” tanya Ibu Anggita. Selain Sea, ibunya sangat baik padaku yang bahkan membuatku seperti menghadapi Ibu sendiri.
"Jangan bu, kalau haus aku ambil sendiri nanti." Aku menolak, lalu ikut melangkah masuk dengan perasaan yang sulit kujelaskan. Aku menatap punggung gagah berseragam pilot di depanku sambil mengendong Rigel.
“Biar aku bantu,” aku berinisiatif membantunya membawa koper.
Dia memberi anggukan, “terima kasih...”
Paling tidak aku bisa cari kesibukan sambil berharap cepat meninggalkan rumah ini. Tak berlama-lama berinteraksi dengan Athaar.
“Aku kira kamu sudah enggak kerja sama Sea, karena sudah lama tidak terlihat ke sini. Tapi, pas aku tanya Ibu maupun Sea, mereka kompak kamu masih kerja sama Sea karena Sky juga enggak mau risiko cari asisten baru untuk istrinya. Sudah percaya sama kamu.” Athaar memulai, membuatku tertahan di ruang tengah begitu masuk.
“Aku yang sudah betah juga kerja sama Sea, Aa... Jarang terlihat, karena setelah launching Vanora, Sea ngantor juga di tower Lais. Jadi, lebih sering ke sana... Sempat datang kok ke sini, pas saja Aa lagi enggak di rumah.”
Athaar yang membiarkan Rigel duduk di salah satu pahanya, menatapku dan mengangguk setuju dengan ucapanku.
“Pas ibumu meninggal, maaf Aa enggak bisa datang karena lagi tugas. Pas pemberangkatan haji, jadi jadwalnya padat.”
“Enggak apa-apa, sudah diwakili Ibu Anggita, Sea-Pak Sky dan Althaf yang temani hari berat itu.” Jawabku, masih sedih dan sesak tiap kali ada yang membahas tentang hari kehilangan ibuku.
“Aku sungguh ingin langsung menemuimu, membagi dukamu bersama. Aku tahu tidak pernah mudah untuk mengikhlaskan,” nada suaranya melembut.
“Ya, harus melewati masa terpaksa hingga terbiasa dulu. I know, Aa..” sama seperti melupakan Aa... Lanjutku dalam hati.
“Aku pernah meneleponmu pas itu,” ucapnya.
Aku tahu, dia beberapa kali menelepon pas hari kematian ibuku. Bahkan beberapa harinya juga, aku mengabaikannya.
“Saat itu aku menghindar sementara membicarakan Ibu.”
“Ya, tidak apa-apa. Aku juga sempatkan datang pas sudah di Jakarta, kata Candani kamu tidak ada. Aku tunggu, tapi kamu masih lama.”
Itu benar lagi, sejujurnya aku yang kebetulan sedang di luar, pun sengaja menghindarinya. Berlama-lama di luar, baru pulang setelah dapat kabar Athaar sudah pamit.
Aku terdiam beberapa saat, sampai Athaar kembali memanggilku, “Dil...”
“Ya?”
“Kamu masih mau berdiri? Tunggu Ibu sambil duduk saja, pegal lho itu...” katanya. Membuatku baru tersadar jika sejak tadi aku memang betah berdiri, tidak ada keinginan duduk karena tahu rasanya seperti menduduki paku, tidak nyaman. Aku hanya menginginkan segera beranjak dari sana.
“Nty Dillah, duduk...” dan ketika bos kecil, Rigel ikut memerintah, aku tak berdaya untuk menolak.
Ouh sialnya, aku benci hari ini! Harusnya aku bisa menolak Sea dengan alasan apa pun tadi!
Selama duduk, aku berusaha untuk tidak menatapnya. Tetapi, keinginan dari dalam hatiku lebih besar dibanding dalam kepala yang terus mengingatkan untuk tidak melakukannya.
Aku menatapnya, tepat Athaar juga sedang mengarahkan tatapannya padaku. Aku mengulas senyum, bagusnya tiba-tiba Rigel meminta ke kamar mandi.
"Huft..." aku menarik napas lega setelah Athaar mengantar Rigel.
Sepanjang menunggu di sana, aku juga tidak bisa menghentikan rasa penasaran, di mana Rea—istri Athaar berada? Jika aku jadi istrinya, aku sudah pasti akan membawakan minum untuknya setelah ditinggal tugas berhari-hari, bukan malah Ibu Anggita yang tetap melakukannya seperti dulu.