Aku tetap duduk tenang selama proses pernikahan Athaar berlangsung, terdiam membayangkan berada diposisi pengantin perempuan yang berjalan untuk menemuinya. Jika itu terwujud, kuyakin akan berjalan ke arahnya sambil terisak, menangis saking bahagianya akan menikah dengan pria yang kucintai.
Kenyataannya, bukan aku tetapi Rea yang duduk di samping Athaar yang siap mengucap janji pernikahan.
Aku menunduk, mengingat beberapa waktu tadi sebelum acara di mulai. Aku mengutuk diriku, bahkan hampir melarikan diri saat sadar yang kulakukan.
Bodoh! Memang apa gunanya kukatakan hari ini? Apa akan mengubah kenyataan, atau membuat Athaar urung menikahi gadis lain dan membalas cintaku? Tentu jawabannya, tidak akan! Selain hanya mempermalukan diriku sendiri.
“Sah!”
“Sah!”
Seruan para saksi itu membuat aku melewati kalimat yang Athaar ucapkan. Aku mendongak. Menemukannya menghela napas lega kemudian menoleh untuk saling tatap dengan perempuan yang sudah sah menjadi istrinya.
Sementara aku seperti melihat jurang yang membentang, yang jelas-jelas menandakan selamanya cinta yang kumiliki hanya jadi cinta tersembunyi. Athaar sudah menjadi milik orang lain.
“Dillah...” bisik Sea yang kebetulan duduk di sampingku, kemudian dia kembali berbisik, “aku bilang juga apa?! Tidak usah hadir, cuman menyakiti diri sendiri!”
Aku masih bisa mengulas senyum, “aku baik, dan turut berbahagia buat Aa kok.”
Dia hanya memberi tatapan tidak yakin. Mungkin untuk membuktikan yang kukatakan tidak mengada-ngada, aku bahkan mengulurkan tangan untuk mengucapkan selamat bagi keduanya yang berbahagia, “selamat ya Aa dan Ka Rea... semoga kebahagiaan menyertai rumah tangga kalian selalu.”
“Amin, terima kasih Dillah bersedia jadi bagian dari kebahagiaan kami hari ini.” Athaar yang menanggapi dengan senyum.
Aku pun masih sanggup ikut di barisan saat tiba kesempatan berfoto dan memasang senyum, berdiri sampingnya. Aku baik-baik saja sampai akhirnya acara selesai, dan aku pulang. Manusia memang paling mahir untuk berpura-pura ya?
Ketika seseorang jatuh cinta, ada harapan jika seseorang itu yang akan mengantarkan kita pada bahagia. Namun, realitasnya tidak semua orang beruntung dalam cinta, ada juga yang berakhir pada harapan hampa berujung kenyataan yang getir karena patah hati tak bisa terbalas.
Setelah acara selesai, aku berhenti sejenak di taman. Duduk dan air mataku tiba-tiba jatuh, aku menunduk dan berakhir menyekanya. Namun, setiap kali menyekanya, air mataku semakin jatuh hingga terisak-isak tanpa peduli menarik atensi orang-orang di sekitarku.
Setiap kenangan kami terasa begitu berputar dikepala, membuat hatiku semakin sesak. Salah satu yang selalu kuingat...
“Sea dan kamu sungguh bersahabat?”
Aku menoleh, dia menyusul duduk dilantai. Tepatnya di teras belakang rumah Sea.
“Aa, kenapa bilang begitu?
“Mukamu pucat, lagi nggak enak badan? Kamu masih kerja,” tanyanya dengan nada peduli sekaligus cemas.
“Kurang tidur.” Aku tidak berbohong, aku bahkan nyaris tidak tidur semalam.
“Hari ini sudah selesai?” tanyanya penuh perhatian.
Aku menggeleng pelan, “masih ada kerjaan lain.”
“Izin saja, biar aku yang bilang ke Sea. Ya?” dia sudah siap berdiri. Please jika dia terus bersikap sebaik ini, aku semakin jatuh cinta padanya yang artinya peluang patah hatiku akan semakin besar juga karena tahu dia begitu sulit digapai.
Aku segera menahan lengannya, “Dil—“
“Boleh aku pinjam bahu Aa? Sebentar...”
“Aku nggak bisa kasih!” tolaknya. Ya, siapa aku baginya tahu-tahu mau pinjam bahu?
Aku mengangguk, “maaf—“
“Sini, peluk saja!” serunya dan menarikku ke pelukannya, kemudian tangannya menepuk-nepuk bahuku. “Mau cerita?”
Saat ditanya begitu. Aku malah menangis begitu saja, padahal seharian ini sudah coba tenang dan tidak membawa masalah keluarga bercampur dengan pekerjaan.
Athaar Kalfani seperti punya sesuatu yang aku butuh untuk meluapkan kegundahan, bebanku tanpa takut.
Itu bagian salah satu momen terbaik yang membuatku semakin mencintainya. Tetapi, kini bahkan aku tak lagi punya tempat dalam hidupnya untuk sekedar menangis dalam pelukannya.
“Dia milik orang lain...” gumamku semakin lirih.
Aku terpaksa berhenti, menetralkan diri agar tidak kentara sedang sedih saat ponselku berdering, Candani—adikku menelepon. Aku segera menjawab, “hallo Can—“
“Mbak Dillah di mana? Cepat pulang ya!” Suaranya gemetar sambil menangis menguarkan ketegangan yang membuat punggungku langsung tegak, tegang. Menerka-nerka yang terjadi.
Kali ini apalagi Tuhan?! Pikirku.
“Ibu baik-baik saja?” tanyaku yang langsung berdiri, tangan lain membawa air yang tadi kubeli. Aku mengambil langkah lebar menuju motorku.
Satu yang terlintas, terdorong dari rasa takut terbesarku... kuharap bukan Ibu, aku tidak bisa kehilangannya meski dia sudah sakit-sakitan, atau aku tidak akan pernah bisa sekuat selama ini lagi.
***
Malapetaka benar-benar menimpaku, menghabisi energiku malam ini. Rumah orang tuaku satu-satunya harus kami relakan, kami terusir dari sana. Tadi aku sampai rumah, sudah dalam keadaan kacau. Selain Candani, aku memiliki dua orang kakak. Abang Fusena dan Mas Endrasuta. Masalah malam ini ulah dan salah Abang Sena, dia yang gagal, aku, Candani bahkan Ibu yang harus menanggungnya.
Empat ratus juta, dari mana uang sebanyak itu bisa kudapatkan dalam satu malam untuk bisa menebus rumah kami? Tak sampai di sana, aku pun tadi lanjut berdebat dengan kakak-kakakku sebab mereka tidak ada upaya cari jalan keluarnya.
“Hanya malam ini, besok Mbak cari kontrakan.” Janjiku pada Candani, aku tak mau berlama-lama tinggal di sini—di rumah Mas Sena, terutama aku dan kakak iparku tidak terlalu akrab, jelas aku tak akan betah. Mereka terlihat terpaksa menerima kami.
“Kenapa nasib kita setelah Bapak meninggal, jadi begini ya Mbak?”
Itu pun jadi pertanyaan besarku selama ini, aku tidak bisa menghentikan pikiranku untuk tak menyalahkan nasib kurang beruntungku. Nyatanya, hidupku memang serumit yang terjadi.
Semakin larut, aku masih terjaga. Aku meletakkan ponsel di atas perutku setelah meminta izin pada Sea besok kemungkinan aku tidak bisa bekerja, kemudian menatap langit-langit putih dan lampu yang meneranginya, aku menarik napas dalam-dalam lagi, bahkan aku tidak memiliki keberanian untuk memimpikan kebahagiaan.
Saat memikirkan itu, yang terbayang senyum pria yang hari ini bahkan sudah resmi menjadi milik wanita lain. Aku memejamkan mata, menarik bantal dan menutupi wajahku agar tangisku tidak terdengar orang lain.
“Aku capek... capek banget...” lirihku. Apalah arti keluhan tersebut, sebab aku tidak bisa benar-benar menyerah dengan keadaanku.
Tiba-tiba aku meraih ponselku, impulsif ingin menelepon Athaar. Aku menekan telepon, kemudian terkesiap, “apa yang aku lakukan? Kenapa meneleponnya?!”
Segera aku mengakhiri teleponnya, dan meletakkannya di sampingku. Aku duduk, menarik kedua kakiku dan menenggelamkan wajahku.
Beberapa detik ponselku berdering, aku terkesiap dan mematung melihat namanya tertera di sana.
“Dia selalu seperti ini, cepat, dan memastikan keadaan diriku.”
Beberapa detik berlalu, aku hanya memandanginya sampai kemudian menarik napas dalam-dalam dan menempelkan ponsel di telinga.
“Dillah, barusan kata Rea kamu telepon tapi pas mau dijawab, sudah berakhir lebih dulu. Ada apa?”
Senyumku pudar, tentu saja Athaar sedang bersama Rea.
“Uhm, tertekan Aa... Nggak sengaja. Maaf... maaf banget aku ganggu kalian!” Sesalku.
“It’s oke. Tapi, kamu benaran salah tekan? Semua baik-baik saja, kan?”
Tidak sama sekali, Aa... Aku butuh sandaran Aa seperti biasanya. Tapi, jelas itu tidak mungkin. Athaar sudah resmi menjadi suami Rea. Ingin sekali aku mengatakan ini, namun semuanya hanya tersimpan rapat dalam hatiku, seperti cintaku padanya.
Apa semesta lupa menorehkan garis beruntung, bahagia saat menciptakanku waktu itu? Mengapa selalu nasib tidak beruntung yang datang padaku. Termasuk patah hati yang begitu menyakitkan hari ini. Aku menangis, sementara pria yang kucintai mungkin malam ini sedang memadu kasih di malam pertamanya sebagai pengantin baru.