13 April 2016
Paul
Paul Manson suka memancing di perairan yang cukup dalam. Sebuah kanal di perbatasan muara panjang yang menuju ke laut lepas adalah tempat yang tepat. Untuk sampai disana, Paul harus mengendara sejauh lima kilometer dari pabrik tempatnya bekerja. Dan seperti biasanya, Paul pergi memancing sekitar pukul tiga sampai pukul lima sore. Ia akan mengemudikan van-nya untuk sampai di rumah sebelum langitnya gelap. Kemudian Paul akan memasak untuk Dorothy dan duduk untuk menemani wanita itu menonton siaran favoritnya di televisi.
Rutinitas itu sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Di siang yang cerah, ketika udara terasa cukup panas, Paul memutuskan untuk meninggalkan pabrik lebih cepat dan pergi memancing. Namun ketika Paul sedang mengemasi peralatan memancingnya di dalam mobil, sebuah mobil polisi terlihat memasuki area parkir.
Dari balik topi bisbol merahnya, Paul mengamati sheriff O’Riley turun dari dalam mobil itu bersama petugasnya yang bernama Jackson. Dua laki-laki itu kemudian mendekati Paul sembari menatap ke sekitar pabrik. Suasana pabrik, seperti biasa, hening sejak pukul dua siang. Itu adalah jam-jam sibuk bagi kebanyakan pekerja pabrik dan mereka semua sedang berkumpul di dalam. Sementara gerbang keluar tampak kosong. Jalanan di sekitarnya juga kosong, kecuali karena satu atau dua petugas pabrik sedang berkeliaran di sekitar sana.
Paul menyipitkan kedua mata saat cahaya matahari menyorot langsung ke wajahnya. Sang sheriff yang semula hanya tampak sebagai bayangan gelap yang berjalan mendekatinya, kini terlihat semakin jelas. Laki-laki itu mengenakan jaket coklat tua dan seragam lengkap di baliknya. Pembawaannya tenang seperti yang diingat Paul. Laki-laki itu juga bertubuh tinggi dan besar sehingga ketika sang sheriff sampai di hadapannya, bahunya yang lebar langsung menghalangi cahaya matahari yang menusuk wajah Paul.
“Paul Manson?”
“Ya, ada yang bisa kubantu?” tanya Paul sembari menatap sang sheriff dan petugasnya secara bergiliran.
Laki-laki itu kemudian menunjuk ke arah bak mobilnya yang terbuka dan bertanya, “kemana kau berencana pergi?”
“Aku baru saja ingin pergi memancing.”
“Kalau begitu, keberatan jika kami ikut pergi memancing? Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan. Kita bisa mengobrol selagi kau memancing.”
Paul ragu-ragu, kemudian bertanya, “apa ada yang salah?”
“Tidak,” sang sheriff tersenyum. “Kami hanya berusaha mengumpulkan informasi.”
“Baiklah.”
Sang sheriff mengangguk kemudian memberi isyarat pada petugas Jackson untuk membiarkan Paul memimpin perjalanan mereka menuju kanal.
“Kami di belakangmu.”
Perjalanan menuju kanal memakan waktu selama hampir setengah jam. Paul menatap keluar jendela untuk menyaksikan dahan-dahan pohon menjorok ke arah jalanan yang perlahan-lahan mulai menyempit. Begitu mobilnya berbelok di pertigaan, jalanan besar sudah tertinggal di belakang mereka. Kini van yang dikemudikannya harus melewati permukaan jalan yang melandai dimana pohon-pohon tinggi memberondong kedua sisi jalan.
Kanal itu terletak di bawah bukit, persis di perairan yang menghubungkan daratan, muara, dan juga anak sungai. Dari kejauhan, kanal hanya akan tampak seperti sebuah bayangan gelap yang diselimuti oleh kabut tebal dari pegunungan. Namun ilalang tinggi yang muncul di sepanjang permukaan kanal seakan menandai tempat itu.
Setelah menepikan van tua-nya, Paul menyaksikan seekor katak melompat meninggalkan permukaan air yang dangkal kemudian menghilang di balik semak setinggi pinggulnya. Aroma tanah basah yang familier segera menusuk hidungnya. Sementara itu, hawa dingin di sekitar sana langsung memerangkap tubuhnya begitu ia berjalan mendekati permukaan air. Ada sebuah boat usang yang ditambatkan pada batang pohon di dekatnya. Paul mendorong boat itu sampai ke perairan kemudian melempar peralatannya ke dalam sana.
Tak jauh di belakangnya mobil yang dikendarai sheriff O’Rilley baru saja berhenti. Paul dengan cepat merogoh ke balik sakunya untuk memeriksa senjata yang diam-diam ia sembunyikan di dalam sana, diam-diam mengingatkan dirinya kalau ia hanya akan menggunakan senjata itu jika diperlukan. Namun Paul yang sangat jarang menggunakan senjata api tiba-tiba merasakan dahinya berkeringat dan tangannya bergetar. Untuk menghindari kecurigaan dua petugas itu, Paul mulai menyibukkan diri dengan jaring dan umpan yang sudah ia siapkan.
“Kalian ingin memancing juga?” tanya Paul sembari tersenyum kaku. Meskipun gelisah, Paul berusaha untuk tetap terlihat setenang mungkin.
Petugas Jackson yang menjawabnya lebih dulu.
“Tidak, terima kasih. Kami melihat dari sini saja.”
Meskipun ragu, Paul akhirnya mengangkat kedua bahu kemudian mengikuti dua pria itu menuju tepian peraian. Ia telah membawa alat pancingannya dan mulai melempar umpan selagi dua petugas itu mengamati perairan.
“Jarang sekali ada orang yang memancing disini.” Ucap Paul untuk mencairkan ketegangan. “Tapi tangkapannya cukup bagus.”
“Apa yang kau dapat?”
“Ikan raksasa..” Paul menyeringai lebar kemudian mengayunkan satu lengannya yang kurus di udara. “Kira-kira sepanjang lengan ini..”
“Benarkah?”
“Ya. Terkadang aku dapat kerang juga. Ini tempat yang tertutup, jadi ekosistem disini masih sangat baik. Para pemancing itu tidak akan terpikir kanal dapat menyimpan kekayaan melimpah seperti itu, tapi kenyataannya memang begitu dan disinilah aku..”
“Sudah berapa lama kau memancing?”
“Lebih lama dari yang bisa kuingat. Mungkin sejak aku remaja.”
Sang sheriff mengangkat kedua alisnya dan mengangguk pelan. Selagi mengawasi umpan yang dilempar Paul, ia berkata, “kami mengunjungi ibumu kemarin.. Apa dia mengatakannya padamu?”
Paul membisu sebelum akhirnya menggeleng dengan pelan. “Tidak. Dia menjadi sedikit pelupa akhir-akhir ini.”
Sheriff O’Riley kembali menganggukkan kepalanya. Paul diam-diam mengamati laki-laki itu. Janggut tipis berusia dua hari menutupi bentuk rahangnya yang sempurna. Sang sheriff memiliki sepasang mata gelap yang terfokus. Bibirnya dilipat membentuk satu garis tipis saat laki-laki itu sedang berpikir. Paul kemudian menilai posturnya. Sang sheriff beberapa senti lebih tinggi dan jelas dua kali lebih besar darinya. Sangat mustahil bagi Paul untuk bisa melawannya secara fisik. Paul harus tetap tenang kalau tidak ingin hal itu terjadi. Namun, jauh di luar kendalinya, ia dapat mencium firasat buruk tentang apa yang mungkin akan terjadi setelah ini. Semakin jauh Paul menghindar, semakin ia terperangkap ke dalam lubang yang digalinya sendiri.
Dorothy tidak mengatakan hal itu akan terjadi. Pikir Paul dua polisi itu hanya akan mengabaikannya begitu saja. Tapi ternyata tidak. Paul tidak berpikir kalau mereka akan mendatanginya disaat-saat dimana ia seharusnya menikmati waktu untuk menyendiri. Dan sekarang sudah terlambat untuk menghindar.
Paul menarik nafas, berusaha untuk meredakan gemetar pada kedua tangannya. Serangan panik itu bukan sesuatu yang baru, hanya saja sekarang terasa amat mencekik.
“Kau tahu kenapa kami mendatangimu?”
Paul kembali menatap sheriff O’Riley dan petugas Jackson secara bergiliran kemudian menggeleng dengan cepat.
“Ini tentang Amy Rogers. Apa kau sudah mendengar beritanya?” tanya sheriff.
Paul menjadi gelagapan. Ia dengan cepat menarik kailnya, berpura-pura menyibukkan diri dengan alat itu.
“Umm... itu.. ya, tentu saja.”
“Dia putri Billy Rogers, pria yang bekerja di pabrik yang sama denganmu..”
“Aku tahu.”
“Apa kau pernah bertemu dengannya?”
“Sesekali aku melihatnya.”
“Kapan terakhir kali kau melihatnya?”
“Umm.. aku tidak yakin. Mungkin sekitar satu atau dua bulan yang lalu di ladang.”
“Apa yang dia lakukan disana?”
“Dia mencari anjingnya.”
Petugas polisi itu saling bertukar pandang kemudian bertanya, “apa dia menemukannya?”
“Ya.”
“Seperti apa rupa anjingnya, kau mengingatnya, Paul?”
“Kalau tidak salah itu anjing kecil dengan bulu tebal berwarna kecoklatan.”
“Apa kau menyukainya?”
“Apa? Anjing itu?” Paul menyeringai lebar. “Tentu saja. Siapa yang tidak menyukainya.”
“Tapi kau memiliki alergi terhadap bulu anjing?”
Tiba-tiba Paul bergeming. Nyalinya semkin ciut dan ketika sang sheriff ikut diam menatapnya, Paul dengan cepat menundukkan kepalanya.
“Umm.. ya.”
“Aku ingin tahu apa kau kehilangan sebuah kalung logam yang diikat dengan tali merah?”
“Apa?”
Sang sheriff mengeluarkan cetakan foto dari balik sakunya kemudian menjulurkan cetakan itu pada Paul. Gambar yang memperlihatkan potret kalung merah itu membuat Paul bergidik. Ia hanya mengamati gambar itu sekilas kemudian mengembalikan foto itu dengan cepat pada sang sheriff.
“Itu bukan milikku,” tukasnya.
“Kau yakin? Coba amati lagi. Barangkali kau melupakannya..”
“Tidak!” ketika membantahnya, Paul membeliakan mata dengan lebar. Kini sekujur tubuhnya mulai waspada. Rasa panik itu kembali merengkuhnya. Paul tidak bisa mengendalikan dirinya ketika sedang panik. Biasanya Dorothy akan menyodorkan obat penenang setiap kali ia mengalami serangan panik, tapi saat itu Dorothy tidak ada disana untuk menyelamatkan Paul dan opsi untuk mengeluarkan senjata dari balik jaketnya tiba-tiba terasa masuk akal.
“Aku tidak membunuhnya.”
Kalimat itu keluar dari mulut Paul begitu saja. Sang sheriff yang mendengarnya langsung menatap Paul dengan tajam. Kedua alisnya terangkat dan laki-laki itu berkata, “membunuh siapa?”
“Amy Rogers. Aku tahu kalian datang untuk bertanya apa aku membunuhnya.”
“Belum ada pernyataan resmi kalau kasus kematiannya merupakan sebuah kasus pembunuhan.”
“Lalu apa?”
“Itu bisa saja kasus tabrak lari.”
Jantungnya berdetak cepat. Paul berdiri mematung di tempatnya, seolah sedang menunggu aba-aba untuk menyerang mereka.
“Dimana kau pada hari Senin tanggal 4 April?”
“Aku bekerja di pabrik.”
“Kau meninggalkan pabrik sekitar pukul empat sore. Kemana kau berencana pergi hari itu?”
“Aku pergi memancing.”
“Tapi kau memancing setiap hari rabu dan kamis.”
“Tidak, aku memancing setiap memiliki kesempatan.”
“Apa kau pergi memancing bersama seseorang?”
“Aku pergi sendirian.”
“Jadi kau pergi ke kanal ini pada senin sore itu?”
“Ya.”
“Kelihatannya tidak begitu. Bukti rekaman cctv mengatakan kalau mobilmu melintasi kawasan hutan pada hari itu..”
“Aku mengambil jalan pintas.”
“Tidak ada jalan pintas,” tukas petugas Jackson. “Gerbang ditutup sejak pukul dua siang.”
Sheriff O’Riley memiringkan wajahnya. “Jadi apa yang kau lakukan sore itu, Paul?”
Paul mengedarkan pandangannya ke sekeliling sebelum akhirnya menjawab, “aku pergi memancing, aku bersumpah!”
“Apa kau juga pergi ke bengkel untuk memperbaiki mobilmu?”
Kini Paul tidak mengucapkan apa-apa hingga sang sheriff bergerak mendekatinya dan kembali bertanya, “bagaimana hubunganmu dengan Amy? Apa kau menyukai gadis ini?”
“Aku tidak membunuhnya.”
“Kami tidak mengatakan kau membunuhnya, kami hanya ingin tahu pendapatmu tentangnya.”
Sang sheriff kembali bergerak mendekat dan pada saat yang bersamaan, Paul dengan cepat mengeluarkan senjatanya dari balik jaket, kakinya melangkah mundur, kemudian ia menodongkan senjata itu dengan cepat pada dua petugas polisi di depannya.
“Mundur!” pinta Paul dengan suara bergetar.
Sang sheriff kini berdiri diam mengawasi senjata itu. Di belakangnya petugas Jackson tampak waspada. Paul melihatnya diam-diam menyusupkan tangan ke balik punggung tepat dimana laki-laki itu menyembunyikan senjatanya.
“Turunkan tanganmu, berengsek! Aku bisa melihatnya!”
“Paul.. tenang..”
“Tidak, jangan berbicara!” teriak Paul dengan kesal. Wajahnya yang berkeringat telah memerah.
“Itu berisiko,” sang sheriff memeringatkan dengan pelan. “Turunkan senjatamu. Tidak ada yang mengancammu disini..”
“Tidak, kalian berbohong! Aku tahu kalian ingin menangkapku..”
“Tidak, kami tidak ingin menangkapmu, Paul.. tenanglah..”
“Aku tidak membunuhnya. Berkali-kali kukatakan aku tidak membunuhnya. Itu hanya insiden yang tidak disengaja.”
“Apa?”
“Ya, aku memang menabraknya, tapi dia masih hidup. Bukan aku pelakunya.”
“Oke baiklah, bukan kau pelakunya. Sekarang turunkan senjatamu..”
“Tidak..” pundak Paul bergetar dan ketika ia tidak sanggup membendung kesedihannya lagi, Paul mulai menangis keras. “Kalian akan menangkapku.”
“Hanya jika kau menembak kami. Turunkan senjata itu Paul!”
“Tidak..”
“Aku bilang, turunkan sekarang!” teriak sang sheriff. Paul yang terguncang mencengkram senjata itu lebih erat. Ketika ia menunduk untuk menarik nafas, tiba-tiba sang sheriff bergerak cepat dan mengayunkan tangannya hingga tembakan yang dilepaskan Paul-pun meleset di udara. Dalam sekejap, keributanpun pecah. Paul yang panik menjadi tak terkendali dan mulai melepaskan tembakan secara membabi buta hingga sang sheriff akhirnya berhasil merebut senjata itu kemudian menjatuhkan Paul di atas tanah. Dengan satu sentakan, laki-laki itu menautkan sepasang borgol ke tangannya kemudian menyentak tubuh Paul dengan kasar.
“Sebaiknya jangan melawan!”
Rahangnya terasa perih saat sang sheriff membanting tubuhnya dengan wajah membentur tanah. Suara lengkingan yang keras berdengung di telinganya dan sebelum Paul sempat pulih, sang sheriff sudah menariknya dengan kasar kemudian membawanya masuk ke dalam mobil untuk meninggalkan tempat itu.
Di balik kaca gelap mobil, Paul menatap perairan dan boat tua-nya itu dengan perasaan pilu. Mobil bergerak pergi dan kanal dengan cepat menghilang menjadi sebuah titik di balik kabut tebal.