Bab 13

1643 Kata
30 Maret 2016 Sloane Ada saat-saat dimana Sloane dapat luluh dan memercayai seseorang dengan mudah. Kebanyakan orang membodohinya karena sifat lembeknya itu. Namun Sloane juga bukannya seseorang yang dapat melupakan kesalahan dengan mudah. Apa yang disaksikannya barusan hanya memperburuk kebencian Sloane terhadap Amy Rogers. Selama tiga tahun terakhir, Sloane pikir Amy adalah sahabatnya – orang terakhir yang akan menghianatinya. Kenyataannya tidak begitu. Wanita itu terus berusaha menghubungi Sloane, mengiriminya belasan pesan yang menunjukkan rasa penyesalan atas apa yang terjadi. Amy-lah yang mengatakan bahwa hal itu tidak akan terjadi lagi – bahwa ia sama sekali tidak memiliki perasaan emosional apapun dengan Ethan selain sebagai teman dekat. Namun sore itu juga, ketika Sloane berkendara bersama ibunya melewati jalur yang biasa mereka tempuh sepulangnya dari pusat belanja, saat itu juga Sloane menyaksikan Amy berpelukan dengan Ethan di pinggir jalan. Matanya tampak basah dan wanita itu mengubur wajahnya di pundak Ethan seolah-olah telah menemukan kenyamanan disana. Kemudian mobilnya melaju, dan Amy yang mengenali ford biru itu langsung mengangkat wajahnya. Mereka sempat bertemu tatap dan keduanya sama-sama terpaku. Darah Sloane mendidih, wajahnya memerah, dan ia merasakan seolah-olah sesuatu yang tajam telah menghunus dadanya, membuatnya sesak. Ketika ford sudah melaju meninggalkan jalanan itu dan Amy tidak lagi terlihat, Sloane cepat-cepat menundukkan wajahnya. Ia tidak bisa menahan air matanya yang mengalir jatuh dengan cepat. Ibunya juga menyaksikan hal itu, kini sepasang mata gelap Ellary menatapnya melalui kaca spion. Sembari mengemudikan ford itu, El mencoba berbicara dengannya. Suaranya menunjukkan rasa simpati yang besar. “Kau baik-baik saja, sayang?” “Ya.” “Kau yakin?” “Ya, ibu!” tegas Sloane dengan suara keras. “Kumohon.. aku tidak mau membicarakannya sekarang.” Kesedihan yang dialaminya berlanjut hingga Sloane sampai di rumah. Setelah melarikan diri dari orangtuanya, Sloane mengunci diri di kamar hingga malam. Ia berdiri di belakang jendela sampai langitnya gelap. Rasanya baru dua minggu yang lalu Sloane berdiri disana menyambut kedatangan Ethan yang secara diam-diam memanjat naik sampai ke balkonnya. Sekitar pukul sebelas, Sloane sedang berbaring di atas kasur memandangi layar ponselnya selagi menanti balasan pesan Ethan masuk. Tak lama kemudian seseorang dari luar mengetuk jendela kamarnya dan membuat Sloane tersentak kaget. Ia nyaris melompat dari atas kasur ketika melihat sosok Ethan berdiri di depan jendela kamarnya dan memberi isyarat agar Sloane membiarkannya masuk. Angin dingin malam langsung menusuk kulitnya sementara laki-laki itu menyeruak masuk melewati jendela yang dibuka lebar. “Apa yang kau lakukan?” tanya Sloane sembari menutup kaca jendela. Ia berlari ke seberang ruangan untuk memastikan pintunya dalam keadaan terkunci. Cahaya remang dari lampu di kamarnya-pun dibiarkan menyala. Kalau orangtuanya sampai menyadari hal itu, mereka akan mengetuk pintu kamar Sloane dan memintanya untuk segera pergi tidur. “Ibuku akan datang..” “Sshhh..” Ethan bergerak mendekat kemudian menangkup wajah Sloane dengan kedua tangannya. Laki-laki itu lebih tinggi darinya sehingga Sloane harus menengadah untuk bisa menatap langsung ke sepasang matanya yang gelap. Ethan memiliki kulit kecoklatan yang bagus, rahangnya menonjol dan kedua alisnya tegas. Sementara rambut hitamnya yang tidak dicukur kian memanjang. Laki-laki itu dua tahun lebih tua dari Sloane dan mereka bukannya baru berpacaran. Sudah hampir tiga tahun mereka menjalin hubungan dekat – tiga tahun adalah waktu yang cukup lama bagi Sloane untuk memercayai laki-laki itu. “Aku merindukanmu,” bisik Ethan di telinganya. Sloane yang ketika itu berdiri kaku, tidak bisa menahan diri untuk tersenyum saat mendengarnya. Darahnya berdesir cepat saat merasakan nafas panas Ethan di atas pundaknya, bibir laki-laki itu di lehernya kemudian lidah Ethan di mulutnya. Ethan mendesak Sloane ke arah kasur dan membaringkannya disana selagi menanggalkan sisa pakaian mereka. Ketika pakaian terakhirnya dilempar ke atas lantai bersama sisa pakaian lainnya, Sloane merasakan wajahnya memerah ketika ia berbaring telanjang di hadapan Ethan. Itu bukan kali pertama mereka menjalin kontak fisik secara intim, namun Sloane tidak pernah menanggalkan pakaiannya secara utuh sebelumnya. Sloane merasa terekspos dan disisi lain juga mendambakan laki-laki itu. Sementara Ethan menanggalkan celananya, laki-laki itu mengunci tatapan Sloane dengan tatapannya, kemudian tersenyum dan menampilkan sederet gigi putihnya yang rata. “Kau cantik,” bisik Ethan saat laki-laki itu bergerak di atas tubuhnya. Sloane menarik wajah Ethan dan mencium bibirnya. Sementara Ethan menunduk dan meninggalkan jejak ciuman di seputar leher dan wajahnya. Tubuh mereka bersimbah keringat. Sloane bisa merasakan udara di dalam ruangan menipis dan hawa panas menempel di atas kulitnya. Ia sedang berbaring menikmati sentuhan Ethan ketika tiba-tiba laki-laki itu berbisik di telinganya. “Aku akan pergi kemah bersama teman-temanku besok.” Ethan menciumi pundaknya sementara Sloane yang mendengar kabar itu menjadi diam terpaku. “Aku akan terus mengabarimu begitu sampai disana, oke?” Sloane masih tidak bersuara sehingga Ethan mengangkat wajah untuk menatapnya. “Sloane? Kau baik-baik saja?” Pada saat itulah Sloane menggeser tubuh Ethan dari atas tubuhnya dan bangkit duduk. Hal pertama yang dilakukannya adalah menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang terekspos. Sementara Sloane mulai sibuk mengumpulkan pakaiannya, Ethan memandanginya di belakang dengan heran. “Hei! Bicaralah padaku!” “Berapa lama?” tanya Sloane tanpa berbalik untuk menatap Ethan. Di belakangnya, laki-laki itu sudah berdiri untuk membantu Sloane memasang pakaiannya selagi ia berkata, “aku tidak tahu, mungkin seminggu.” Ketika berbalik, Sloane menyipitkan kedua matanya ke arah Ethan dan berkata, “selama itu?” “Itu tidak akan lama, lagipula kita masih bisa berbicara lewat telepon. Sudah lama kami merencanakan kemah ini.” “Oh? Aku tidak tahu itu..” Selama beberapa ekspresi Ethan kosong. Kedua matanya masih menatap Sloane seolah laki-laki itu masih mencari penjelasan dalam raut wajah Sloane. Tapi rasa tidak nyaman dengan cepat membuat Ethan mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan. Ia mengenakan sisa pakaiannya selagi berkata, “aku memberitahumu sekarang.” “Sekarang? Sehari sebelum kau pergi.” “Dengar! Aku tidak lihat ada perbedaan besar tentang hal itu..” “Ya, tentu saja tidak ada kecuali karena aku tidak punya pilihan untuk membiarkanmu pergi..” “Aku bilang aku tidak akan pergi lama. Kau mengenal teman-temanku dan aku tidak berbohong padamu. Aku akan pergi bersama mereka.” “Bagaimana jika kau tidak datang?” Hening. Dengan terbata-bata, Ethan menjawab, “well.. itu tidak akan jadi pertemuan karena seharusnya seluruh anggota kelompok diharapkan ikut bergabung.” Sloane mendengus keras, menampilkan sederet gigi putihnya kemudian melipat kedua tangannya di depan d**a sebagai tanda perlawanan. “Oke, jadi kau datang kesini, bercinta denganku dan mengatakan kalau kau akan pergi.” “Sloane, jangan membesar-besarkan masalah ini.. ayolah.. sudah lama aku tidak berkumpul dengan mereka sejak kita bersama-sama.” “Jadi aku adalah penghalang untukmu?” Ethan nyaris kehabisan kata-kata. Kedua bahunya merosot dengan lemah saat laki-laki itu mengatakan, “bukan itu maksudku.” “Kalau begitu terserah kau saja, Ethan! Aku tidak peduli. Lagipula tidak penting apa aku lebih suka kau pergi atau tinggal, kau tetap akan pergi.” “Oh, ayolah.. jangan mulai lagi!” “Apa?” “Kau selalu seperti ini.” “Seperti apa?” “Menyudutkanku dengan membesar-besarkan segalanya.” “Aku? Menyudutkanmu? “Ya,” tegas Ethan dengan lantang. Rahangnya telah mengeras dan wajahnya memerah karena kesal. “Aku tidak datang untuk berdebat denganmu. Aku mengatakan yang sebenarnya, aku berusaha untuk bersikap terbuka padamu, tapi kau tidak pernah menghargainya.. kau hanya mencari celah sempit dimana kau bisa memutarbalikkan keadaan dan mulai menyudutkanku. Ini bukan yang pertama, tapi aku diam selama ini karena aku mencintaimu dan aku ingin tetap berhubungan denganmu..” “Omong kosong! Kenapa tidak mengatakan saja yang sebenarnya?” “Apa? Apa kebenarannya?” “Bahwa kau tidak tertarik lagi denganku dan menganggapku sebagai penghalangmu..” Laki-laki itu mendengus keras. Protesnya tertahan di ujung lidah sementara tangannya menggantung di kedua sisi tubuh dengan kaku, seolah ia sedang berjuang keras untuk tidak menumpahkan emosinya saat itu juga. “Kau tahu apa?” ucap Ethan setelah beberapa detik terdiam. “Aku mulai berpikir kalau hubungan ini menjadi tidak sehat.” Kedua alis Sloane bertaut, matanya menyipit. “Apa?” “Jika aku satu-satunya orang yang berusaha disini, maka itu tidak akan berjalan sebagaimana harusnya.” “Apa maksudmu?” “Maksudku jelas.. kau tidak berusaha untuk memaafkanku, kau menyalahkanku untuk semua yang kulakukan. Kau tidak berusaha untuk mengerti – kau lebih memilih untuk menumpahkan emosimu tanpa memikirkan konsekuensinya. Aku pikir aku bisa bertahan dengan sifat itu, tapi kurasa tidak.. dan aku lelah. Aku sudah lelah mengahadapi sikapmu sekarang.” “Tidak..” “Ya. Mungkin kita hanya butuh waktu untuk memikirkan segalanya.” “Apa yang kau..” Ethan tidak memberi Sloane kesempatan untuk menyelesaikan kalimat itu ketika ia berbalik keluar melalui jendela dan melompat turun dari balkon. Dari atas Sloane mengawasi kepergian laki-laki itu dengan perasaan kalut. Sloane hendak menghentikan Ethan dengan menyerukan namanya, tapi hal itu akan menarik perhatian sementara hal terakhir yang ingin ia hadapi adalah kedua orangtuanya. Sementara itu di bawah, Ethan sempat berbalik menatapnya. Ada kekesalan, rasa kecewa, dan penyesalan dalam raut wajahnya. Namun laki-laki itu tidak membiarkan semua emosi itu menghentikannya, karena tidak lama setelahnya ia segera berbalik pergi melompati pagar rumput dan menghilang di ujung jalan. Pada saat angin dingin malam bertiup dan menyapu wajahnya, suatu perasaan kehilangan telah menohoknya hingga air matanya-pun mengalir jatuh. Perasaan itu masih terasa nyata bahkan setelah dua minggu berlalu. Fakta bahwa Ethan melupakannya dengan begitu cepat dan berpaling pada Amy yang tidak lain merupakan sahabat Sloane, membuat rasa sakit itu menjadi bertubi-tubi. Malam itu di kamarnya, Sloane hanya duduk diam di birai jendela sembari mengingat-ingat momen yang dihabiskannya bersama Ethan dan Amy. Dulu mereka sangat dekat. Malam perdebatannya dengan Ethan itu-lah yang menjadi pemicu hancurnya semua yang dimiliki mereka. Seandainya Sloane lebih bersabar malam itu – seandainya ia mendengarkan Ethan dan mengizinkan laki-laki itu pergi berkemah bersama teman-temannya, semuanya mungkin akan berbeda sekarang. Mungkin ia dan Ethan masih tetap bersama-sama – dan mungkin persabatannya dengan Amy tidak akan hancur begitu saja. Mungkin.. karena siapa yang tahu apa yang akan terjadi setelahnya – persis ketika siaran berita lokal menyiarkan kabar kematian Amy Rogers yang malang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN