30 Maret 2016
Amy
Amy sudah berusaha menghubungi Sloane belasan kali menggunakan telepon kabel di toko tempat ia bekerja, namun tidak satupun dari panggilannya yang ditanggapi. Karena kesal, Amy akhirnya menutup telepon itu kemudian pergi ke gudang untuk menyelesaikan pekerjaanya lebih cepat.
Di hari minggu, Amy mendapat giliran untuk masuk shift pagi. Toko selalu ramai sekitar jam sepuluh sampai jam dua siang. Jalanan di depan toko juga terlihat padat. Kendaraan berlalu lalang, para remaja berkeliaran di trotoar jalan, tertawa keras dan membuat keributan. Plang-plang penanda ‘toko dibuka’ telah di pasang di pintu-pintu bangunan yang berderet sepanjang jalan.
Kota tampak sibuk seperti biasanya. Para pelanggan yang masuk ke dalam toko juga tidak ada habisnya sampai Amy benar-benar kelelahan. Begitu jam kerjanya berakhir, Amy langsung menyambar tas dan pergi meninggalkan toko dengan cepat. Perjalanan menuju rumah membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit, tapi Amy tidak sedang menuju kesana. Ia berhenti di dekat sungai tempat biasa ia, Sloane, dan Ethan berkumpul.
Setelah mengeluarkan sebatang rokok yang diam-diam dicurinya dari kamar Cole, Amy mengapit rokok itu di kedua bibirnya kemudian menyulutkan api hingga asap rokok berkumpul diudara. Amy tidak pernah mencoba rokok ganja sebelumnya. Harganya terlalu mahal dan penghasilannya saja tidak cukup untuk membeli barang semacam itu. Tapi Cole punya banyak simpanan rokok ganja di lemarinya. Barang-barang itu bukan milik Cole secara pribadi, kecuali karena Cole akan menjualnya pada orang lain. Namun, satu batang rokok yang hilang tidak akan membuat perbedaan besar. Lagipula Amy bermaksud memberi pelajaran pada laki-laki itu atas hal terakhir yang diperbuatnya.
Kejadian itu sudah tiga hari berlalu, namun memar bekas pukulan di wajahnya dan tendangan Cole di perutnya belum hilang. Sampai sekarang rasa sakitnya masih berdenyut-denyut. Amy tahu orang-orang menyadari hal itu ketika mereka menatapnya dan ia sebisa mungkin menutup diri dari mereka yang penasaran.
Sore itu Amy bermaksud menyendiri dan menikmati rokok ganjanya selagi memikirkan cara untuk menghubungi Sloane. Ia tidak akan pernah bisa tenang sebelum berbicara pada wanita itu. Setidaknya Amy perlu tahu kalau Sloane telah memaafkannya sebelum ia bisa pergi meninggalkan kota itu dengan tenang. Amy sudah mengetikkan sejumlah pesan yang berisi permintaan maaf atas apa yang sudah diperbuatnya. Namun setelah hampir dua minggu berusaha, nyaris tidak satupun dari usahanya yang berbuah hasil. Sikap Sloane tidak pernah menjadi sekeras itu ketika menyangkut Amy. Apa yang dilakukan Amy kali ini sudah pasti amat menyakiti Sloane. Namun Amy bukannya meniatkan semua itu. Bahkan Amy sama sekali tidak terpikir untuk mendekati Ethan dan berhubungan intim dengannya. Malam itu ia cukup mabuk dan kesepian sampai-sampai tidak bisa menahan diri. Dadanya terasa sesak ketika ia benar-benar berharap dapat meluapkan emosinya secara bebas. Kemudian Ethan muncul secara tak terduga dan menawarkan kehangatan yang tidak bisa ditolak Amy dalam kondisi itu.
Amy tidak memikirkan Sloane saat melakukannya. Alkohol mendominasi pikirannya, namun yang paling berperan besar adalah keinginan untuk melampiaskan kebencian yang selama ini ia pendam terhadap ayahnya. Seks yang dialaminya bersama Ethan tidak bisa dikatakan sebagai pengalaman emosional atau suatu bentuk cinta. Seks itu lebih seperti luapan amarah dan kekecewaan atas orang-orang di sekelilingnya. Lagipula hal itu hanya terjadi sekali, kecuali karena Ethan menganggapnya sebagai hal lain dan mulai mendekatinya.
Di tengah lamunannya, Amy tersentak saat mendengar suara derap langkah kaki yang bergerak mendekat. Ketika memutar wajahnya, Amy langsung berdiri tegap melihat kemunculan Ethan yang tidak diduga-duga. Laki-laki itu langsung mendekatinya dan disaat yang bersamaan Amy bergerak mundur untuk menghindar.
“Jangan!” katanya.
“Amy, dengar! Aku berusaha menghubungimu, tapi kau tidak menjawab panggilanku. Kenapa kau seperti ini? Memangnya aku melakukan kesalahan apa?”
“Kau tidak melakukan kesalahan apapun, aku hanya tidak ingin bicara denganmu.”
“Apa karena Sloane? Dengar! Hubunganku dan Sloane sudah berakhir.. kau tidak menyakiti siapapun jadi cobalah untuk menerima itu.”
“Kenapa kau berpikir aku menyakiti seseorang?”
Ethan memincingkan kedua matanya. “Aku tidak tahu, kupikir kau menjauhiku karena kau takut menyakiti Sloane..”
“Tidak,” ucap Amy dengan tegas. “Itu tidak ada hubungannya dengan Sloane.”
“Lalu?”
Amy menggeleng, kemudian memalingkan wajahnya ke arah sungai. “Aku tidak harus menjelaskannya padamu.”
“Aku tidak percaya ucapanmu..”
“Pergilah!”
Ketika laki-laki itu hendak meraih lengannya, Amy menepisnya dengan cepat. Hingga tiba-tiba kedua alis Ethan bertaut. Kelihatannya ia baru menyadari bekas luka di wajah Amy.
“Tunggu.. siapa yang melukaimu?” tanya Ethan.
“Bukan urusanmu.”
“Ayolah.. apa itu ayahmu atau Cole?”
“Aku bilang bukan urusanmu. Pergilah!”
“Aku tidak akan meninggalkanmu, kau tahu itu..”
Tapi Amy yang merasa kesal sudah menyampirkan tasnya di atas bahu dan berlari pergi menghindari laki-laki itu. Sikap Ethan yang keras mengatakan kalau laki-laki itu tidak akan menyerah begitu saja karena Amy dapat mendengar suara langkah Ethan saat berusaha mengejarnya. Di pinggir jalan, Ethan masih mengejarnya sampai laki-laki itu akhirnya berhasil menghentikan Amy dan menarik lengannya.
“Jangan seperti ini!” ucap Ethan. Alih-alih menanggapinya, Amy berusaha untuk melepas diri dari laki-laki itu, hanya saja genggaman Ethan sangat erat dan laki-laki itu lebih kuat darinya. Dengan mudah Ethan menarik Amy dan memeluknya erat. Awalnya Amy menolak, sampai akhirnya air mata bergulir jatuh di atas memar pada wajahnya dan pertahanannyapun mulai runtuh.
“Kita sudah berteman lama,” ucap Ethan ketika Amy akhirnya menyandarkan kepalanya di pundak laki-laki itu. “Serius kau mau menjauhiku sekarang? Jangan konyol!”
Sebuah mobil ford sedang melaju kencang di jalanan yang sama. Kala itu, dari balik pundak Ethan, Amy melihat wajah di balik kaca mobil yang terbuka sedang menatapnya dengan kaku. Saat mengenali wajah itu, sekujur tubuhnya langsung membatu. Namun ford terus melaju kencang hingga menghilang di tengah jalan dan ingatan akan kedua mata Sloane yang terpaku menatapnya mulai terngiang-ngiang. Pada saat yang bersamaan, Amy menyentak tubuh Ethan kemudian berlari kencang meninggalkan jalanan itu dengan perasaan kalut.
Apa yang akan dipikirkan Sloane setelah melihatnya memeluk Ethan di jalan tadi? Sudah dapat dipastikan wanita itu tidak akan membuka pintu bagi Amy untuk masuk ke dalam hidupnya lagi.
Sementara itu di belakang Ethan berusaha menyerukan namanya berkali-kali. Alih-alih mengacuhkannya, Amy berlari cepat hingga suara itupun menghilang dan semakin dekat dengan rumah.
Langit sore hampir bergulung begitu Amy sampai disana. Namun, ketika ia sudah beberapa langkah jauhnya dari teras, sesuatu yang muncul disana langsung menghentikan Amy. Ia bersembunyi di balik pohon selagi menyaksikan dua pria bertubuh besar dengan tato yang menutupi sebagian lengannya terlihat berkeliaran mengelilingi rumahnya. Yang satu pria botak dan bertubuh besar, satu yang lain pria jangkung dengan rambut panjang dan mengenakan jins kotor. Dua laki-laki itu sedang mengawasi rumahnya. Mereka mengintip ke dalam jendela kemudian menggedor-gedor pintu yang terkunci. Truk yang biasa dikemudikan ayahnya tidak terparkir di halaman rumah. Sepeda motor Cole juga tidak terlihat disana jadi Amy menyimpulkan kalau rumahnya dalam keadaan kosong.
Mungkin, pikir Amy, ayahnya hanya sedang bersembunyi disuatu tempat untuk menghindari dua pria yang hendak menangih utang-utangnya itu. Beberapa hari terakhir dua pria yang sama terlihat berkeliaran di sekitar rumahnya dan mencari ayahnya. Kali terakhir Amy menghadapi mereka, pria itu nyaris melecehkannya sebelum Amy akhirnya berhasil melarikan diri. Kali ini Amy telah belajar untuk tidak mendekati dua orang itu alih-alih bersembunyi sampai mereka pergi.
Hidup serba kekurangan itu adalah satu hal, hidup dalam ketakutan adalah hal lain. Tampaknya Amy ditakdirkan untuk kedua hal itu.