1. Panti Kasih Ibu

1517 Kata
Menjadi satu kesatuan dengan panti ini adalah satu anugerah terbesar dalam hidupnya. Jakarta 1983. Hujan deras yang mengguyur kota Jakarta menyebabkan air di luar masuk ke dalam rumah berlantai satu yang sebetulnya tidak pantas disebut sebagai rumah layak huni. Dinding-dinding rumah itu berasal dari triplek yang sudah terdapat lobang-lobang kecil di sana. Sementara lantainya hanya berupa tanah liat tanpa keramik, karena sang pemilik rumah tak memiliki uang untuk memasangnya. Di rumah itu hanya ada tiga ruangan, dua kamar tidur, dan satu dapur. Tidak ada kamar mandi di rumah itu. Mereka memilih untuk menumpang ke kamar mandi tetangga yang berbaik hati meminjamkannya secara suka rela tanpa bayaran. Keluarga itu adalah keluarga Sardi. Sardi dan istrinya tinggal di sebuah daerah pinggiran di ibu kota Jakarta. Sardi tinggal di rumah itu bersama dengan istri dan keempat anaknya. Ralat, kelima anaknya. Sebab, saat ini istri Sardi, Minah, sedang berusaha melahirkan kembali bayi yang tidak mereka inginkan. Iya, benar. Bayi kelima mereka bukanlah keinginan mereka. Sardi dan Minah sebetulnya sudah cukup kewalahan dalam mengurus empat anak yang masih kecil-kecil. Anak Sardi dan Minah yang paling besar saja usianya masih enam tahun, sementara yang termuda masih berusia satu tahun tujuh bulan. "Selamat ya, Mpok Minah, anaknya perempuan. Cantik, hidungnya mancung." Ujar si dukun beranak pada sosok Minah yang masih berusaha mengumpulkan kekuatannya setelah melahirkan bayi perempuan yang sekarang ada di gendongan si dukun beranak. "Ini langsung disusuin aja, ya. Asi kamu adaan, kan?" Minah tidak langsung menjawab. Wanita itu hanya diam, sembari menatapi tubuh telanjang putrinya yang masih berlumuran darah dan air ketuban. Merasa tak mendapat respon dari ibu si jabang bayi, dukun beranak itu lantas menaruh si bayi di d**a ibunya. Membiarkan bayi perempuan itu mencari p****g s**u ibunya secara mandiri. "Jangan," kata Minah. Suaranya lirih sekali. "Jangan minum asi saya." Si dukun beranak mengernyitkan dahi dalam-dalam. "Kunaon atuh, Mpok?" "Pokoknya jangan," jawab Minah. Si dukun beranak berdecak kesal. "Kamu teh enggak boleh gitu. Anak kamu teh masih butuh asi kamu buat hidup. Jangan sok-sokan mau kasih dia s**u kotak biasa. Inget, anak-anak kamu teh masih pada kecil-kecil, Mpok Minah." Ujar dukun beranak itu pada Minah. Semua orang di daerah itu tahu kalau Sardi dan Minah sangat kesusahan dan kurang sekali dalam hal finansial. Anak pertamanya yang seharusnya sudah bersekolah di taman kanak-kanak, malah tidak sekolah dan menjadi pengamen di pinggiran lampu merah jalanan. Sardi dan Minah tak pernah menyuruh anak-anaknya untuk bekerja, tapi anak-anaknya seolah mengerti kalau keadaan orangtuanya benar-benar memaksa mereka untuk secara tidak langsung membantu perekonomian keluarga. "Mbah enggak akan ngerti apa yang saya dan Mas Sardi rasain." Kata Minah. Dia mengusap air mata yang turun ke pipi sambil berusaha menjauhkan putrinya dari dekapan. Air hujan di luar masih turun dengan deras. Sardi ada di ruangan satunya bersama dengan keempat putra-putri mereka. "Ya, Mbah enggak akan pernah mengerti kamu dan suamimu, Minah." Si dukun beranak menghela napas panjang sambil memperhatikan bayi perempuan yang lahir sekitar lima belas menit yang lalu. "Kamu mau buang dia di panti asuhan?" Tebakan dukun beranak itu tepat sasaran, sepertinya. Sebab, raut wajah Minah berubah seratus delapan puluh derajat setelah mendengar rentetan kalimat itu keluar dari bibir si dukun beranak. "Ya kan, Mpok Minah?" Minah belum menjawab. Tapi, dari tatapannya, dukun beranak itu tahu kalau tebakannya tepat sasaran. "Alasannya apa?" "...." "Alasannya apa, Mpok Minah?" Minah menarik napas sebelum benar-benar menjawab pertanyaan itu. Dia mengusap air mata sambil menatap wajah putrinya yang kuyu. "Karena alasan ekonomi, Mbah. Saya dan Mas Sardi paham kalau seharusnya kami enggak punya dia dulu. Kami egois. Ngelihat gimana susah para kakak-kakaknya hidup selama ini, bikin saya mikir, lebih baik si bungsu saya titipkan di panti asuhan aja. Dia mungkin emang enggak akan dapat kasih sayang saya dan Mas Sardi seutuhnya, tapi seengaknya dia bisa hidup lebih makmur daripada kami di sini." Jelasnya panjang lebar. Mbah dukun beranak itu membulatkan matanya lebar-lebar. Dia terlihat tidak senang dengan keputusan Minah yang akan membuang bayinya di panti. "Kamu membuang bayi kamu, Mpok." "Saya enggak membuang. Saya hanya berusaha agar hidupnya jauh lebih baik dari saya. Apa saya salah?" "Salah. Anak itu enggak tahu apa-apa, tapi kamu buang-buang dia gitu aja." Minah tertawa sedih. "Saya udah kasih tahu alasannya, Mbah." "Si Mbah tetep enggak ngerti." Minah tak menjawab lagi. Dia rasa percuma saja memberitahukan alasan ini pada dukun beranak yang membantu prosesi persalinannya tersebut. Orang luar tidak akan pernah mengerti dengan apa yang sedang dihadapi oleh Sardi dan juga Minah. Mereka hanya orang luar yang tidak tahu menahu tentang keluarganya. Yang tahu hal apa yang sedang mereka hadapi hanyalah Sardi dan Minah. "Saya akan tetap menitipkan anak ini, Mbah." Final Minah. Mbah dukun beranak hanya bisa menghela napas panjang dan juga berat, tanpa bisa mengomentari apa pun lagi. Sardi dan Minah, memang batu. • Setelah melalui rundingan panjang dan lebar bersama sesaat dukun beranak itu pulang dari rumah mereka, dan tentunya saat si jabang bayi juga sudah bersih, Minah dan Sardi bersiap-siap untuk mengantarkan anak bungsu mereka ke salah satu panti asuhan di tengah kota. Minah dan Sardi sudah sepakat akan menitipkan anak mereka sejak mereka tahu kalau si jabang bayi akan hadir ke dunia. Jadi, begitu akan melahirkan, Sardi sengaja tidak memberi tahu putra dan putrinya kalau ibu mereka melahirkan, agar anak-anak mereka tidak mempertanyakan di mana adiknya kelak. "Kita taruh nama sekalian juga atau enggak, Mas?" Tanya Minah. Wajah Minah kentara sekali kalau dia lelah dan juga sedih. Sardi mendongak, menatap wajah kuyu istrinya dengan tatapan lembut. "Enggak usah, ya? Saya pengin namain dia, tapi kayaknya enggak usah, ya? Saya takut makin enggak bisa ngelupain dia." Ungkap Sardi jujur. "Oke." Jawab Minah. Sardi tersenyum. Pria itu berdiri, mengusap pipi Minah dengan ibu jarinya. "Maafin saya karena kita harus nitipin putri kita di tempat itu, Minah. Seandainya saya enggak kekurangan secara ekonomi, saya pasti akan merawat putri kita dengan baik, sebagaimana mestinya." Kata Sardi. Minah memejamkan mata, merasakan halus sapuan ibu jari Sardi di pipinya. Air mata terlihat menetes di pipinya yang tirus. Sardi yang melihatnya buru-buru menghapus air mata itu agar tidak jatuh dari pipi. "Jangan nangis. Saya enggak suka kamu nangis. Harusnya saya bisa bahagiain kamu, ya. Maafin saya, Minah." Tak mengindahkan perminta maafan Sardi, Minah segera menjauhkan tangan Sardi dari wajahnya. "Buruan kamu antar dia ke sana. Semakin lama, semakin pagi, akan makin banyak orang yang lalu lalang juga." "Iya," kata Sardi. Tangan pria itu kontan meraih box bayi kayu yang ia taruh di atas ranjang dan membawanya keluar. "Saya pergi, Minah." • Pukul tiga lebih tiga puluh lima menit, daksa Sardi sampai pada bangunan kokoh berlantai satu yang kerap kali ia lihat bangunannya setiap kali melintasi jalan ini. Sardi dan Minah sudah mencari-cari lokasi di mana tempat mereka akan menitipkan anak bungsu mereka sejak lama, dan pilihan keduanya jatuh kepada Panti Asuhan Kasih Ibu. Sardi menatap wajah putrinya untuk yang terakhir kali sebelum dia meletakkan si jabang bayi yang belum ia beri nama ke depan pintu panti. Sardi mengukir senyum tipis, "Bahagia di dalam sana, Nak." Ucapnya lirih. Tangan Sardi mengusap tubuh putrinya yang terbalut kain bedung sederhana peninggalan anak pertamanya, dan dia tersenyum sekali lagi. "Bapak minta maaf, ya. Kamu baik-baik di sini. Nurut sama orang-orang di Panti. Semoga hidupmu bisa jauh lebih baik dibanding bapak sama ibu." Setelah mengecup kening si anak, Sardi benar-benar melangkah meninggalkan box bayi kayu berisi sosok putrinya dengan mata memerah. Dia ingin marah pada Tuhan, karena memberinya hidup serumit ini, hingga dia harus berpisah dengan putrinya yang lain. • Para penghuni panti asuhan Kasih Ibu terbiasa bangun pukul lima subuh untuk sholat subuh berjamaah. Beberapa dari mereka ada yang kembali melanjutkan tidur, tapi ada juga yang langsung membantu ibu panti untuk memasak makanan untuk adik-adik panti atau membantu ibu panti untuk memandikan mereka. Sri, ibu panti pemilik panti asuhan Kasih Ibu, tak langsung menuju dapur seperti biasanya pagi itu. Dia merasa harus membuka pintu panti asuhan karena mendengar sosok tangis bayi yang begitu nyaring di rungunya. Begitu pintu panti sudah terbuka, Sri terkejut ketika mendapati sesosok bayi mungil yang terbungkus oleh kain bedung berwarna putih yang sudah kusam warnanya. Tangan keriput Sri mengambil boks bayi itu dan matanya menatap si jabang bayi yang menangis ketakutan. "Sstt ... sstt ... tenang, Nak. Ini ibu." Katanya berusaha menenangkan. Kuasa Sri mengambil tubuh bayi itu dan menggendongnya, membawanya duduk di atas sofa untuk dia teliti lebih lanjut. Tak ada apa pun selain tubuh si jabang bayi dalam boks itu. Sri menatap si anak dengan pandangan empati dan juga simpati. "Kamu kasihan sekali, Nak. Ayah ibumu belum kasih kamu nama, ya?" Monolognya. Sri menepuk-nepuk b****g si anak agar anak itu tidak menangis lagi. "Sst ... sstt ... enggak apa-apa, Cantik. Ini ibu Sri, ibu enggak akan jahat sama kamu." Ujarnya menenangkan. Sri mengusap dahi penuh peluh si jabang bayi sambil tersenyum. "Kamu mau ibu kasih nama?" Tanyanya. Sri tersenyum lagi, "Kalau gitu, gimana kalau ibu namain kamu Embun? Embun Namira. Soalnya ibu nemuin kamu di pagi hari, waktu embun masih eksis-eksisnya di beberapa barang di luar." Lalu, nama Embun Namira yang diberikan oleh Bu Sri, menjadi nama yang tidak akan pernah lenyap di hati seseorang, meski takdir berusaha menentang mereka mati-matian. •••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN