Citra menggeser salah satu gelas ke depan suaminya dengan perasaan yang campur aduk, rasanya Citra benar-benar ingin menangis saat itu juga. Bagaimana tidak, suaminya benar-benar egois dan tak pernah memikirkan perasaannya sama sekali. Jelas-jelas di sini yang sakit hati dirinya, tapi suaminya bersikap seperti itu. Belum lagi dengan rasa malu dan juga tak enak pada pak Liam yang tahu akan masalah rumah tangganya yang menyedihkan itu.
Keduanya terdiam, hanya Ara yang terlihat makan ice cream dengan lahap. Saat ini Citra benar-benar sangat bersyukur karena putrinya tak menyadari keadaan yang terjadi saat ini, jika tidak. Mungkin saja Citra akan menyerah hari ini juga dan di depan putrinya.
Makanan tiba, Citra hanya tersenyum ke arah Bambang tanpa berniat untuk bicara. Bambang sendiri juga sudah diberitahu pak Liam untuk tak banyak bicara saat mengantarkan makanan di meja Citra. Bambang yang mendengarnya tentu saja menurut begitu saja.
"Apa hubungan kamu dama istri saya?" Tanya Anand dengan pelan saat Bambang ada di depannya.
Bambang terdiam dan menoleh ke arah Citra. Citra sendiri hanya bisa menghela napasnya pelan.
"Mas, jangan mulai deh. Ada Ara di sini." Kata Citra pelan seraya menatap ke arah Ara yang sudah menatap ke arah ayahnya dengan intens.
"Apa yang salah? Daripada dengan si tua tadi bukankah lebih baik dia? Aku hanya ingin memastikan kamu memilih laki-laki yang benar." Kata Anand yang langsung saja membuat Citra menundukkan kepalanya dalam.
"Kamu harus tahu kalau aku ini khawatir, kami nggak bisa berhubungan dengan banyak laki-laki seperti itu." Lanjut Anand lagi yang langsung saja membuat Citra menggenggam tangannya erat.
"Maaf pak, saya sudah memiliki tunangan. Saya juga tak memiliki hubungan apa-apa dengan mbak Citra kecuali rekan kerja." Kata Bambang tiba-tiba yang langsung saja membuat Citra meneteskan air matanya dengan kepala yang menunduk dalam.
"Papa, mama kan istri papa." Kata Ara tiba-tiba yang langsung saja membuat Anand terdiam.
"Ayo pulang." Ajak Anand tiba-tiba dan langsung saja di turuti oleh Citra.
Ara sendiri yang melihat mamanya berdiri pun memilih diam dan ikut berdiri.
"Mas, billnya mana?" Tanya Citra pelan.
"Nggak perlu mbak, kata pak Liam gratis." Jawab Bambang yang langsung saja di jawabi anggukan oleh Citra.
"Saya permisi dulu ya mas, maaf sudah membuat mas Bambang mendengar semuanya." Kata Citra pelan seraya meninggalkan restoran dan mengejar kepergian suaminya.
Sebenarnya apa yang dipikirkan oleh suaminya itu? Kenapa dia dengan mudah menuduhnya memiliki banyak laki-laki? Apa karena masalalunya yang begitu buruk? Hingga suaminya berpikiran seperti itu?
Citra masuk ke dalam mobil dan menatap ke arah suaminya. Helaan napasnya benar-benar sudah sangat lelah. Citra menatap ke arah putrinya dengan sedikit sendu, akankah dirinya mengakhiri semuanya sampai di sini saja?
"Aku berhenti," kata Citra dengan suara pelan dan kepala yang menunduk dalam.
"Kita bicarakan di rumah." Balas Anand dengan cepat.
"Apa yang mau dibicarakan di rumah? Jelas-jelas Ara sudah tahu semuanya." Tanya Citra dengan nada yang sedikit meledak-ledak.
"Lebih baik kita akhiri lebih awal, Ara bukan anak kecil lagi. Dia pasti juga paham." Lanjut Citra lagi yang langsung saja membuat Ara menangis dengan pelan.
"Kamu bisa berhenti tidak? Kamu tidak lihat Ara sudah menangis?" Tanya Anand kesal dan melotot ke arah Citra.
"Apa kamu juga nggak melihat kalau aku menangis? Hah? Kenapa matamu buta saat menatapku? Kenapa hatimu mati saat menghadapiku? Apa yang salah?" Tanya Citra dengan tangis yang sudah tak lagi ia tahan.
"Kamu menuduhku menjalin hubungan dengan banyak laki-laki. Oke, aku akui masalaluku memang buruk, bahkan aku melakukan hubungan suami istri tanpa adanya status pernikahan, akupun juga melakukan aborsi, aku tahu. Tapi tidak bisakah kamu melihat kalau aku sudah berubah?" Lanjut Citra lagi dengan kesal dan juga marah.
Dirinya sudah sangat lelah, ini baru berapa hari setelah pernikahannya? Tapi suaminya benar-benar tak pernah sedikitpun menghargainya.
"KAMU BICARA APA DI DEPAN ANAK KECIL?" teriak Anand yang langsung saja membuat Ara menjerit ketakutan, sedangkan Citra sendiri sudah menangis dengan hebat.
Anand menghela napasnya pelan dan memilih untuk mengemudikan mobilnya lebih dahulu, dirinya pasti akan hilang kendali jika terus menanggapi amarah istrinya yang tak ada habisnya. Memangnya apa yang salah dengan apa yang ia katakan? Bukankah jelas-jelas niatnya baik untuk membantu istrinya memilih laki-laki yang baik? Kenapa juga malah marah-marah di depan putrinya yang belum tahu apa-apa itu.
Selama perjalanan Citra tak lagi membuka suaranya, dalam hati dirinya terus menyebut dirinya sendiri sebagai seorang j*lang, bagaimana tidak? Jelas-jelas ia tahu jika laki-laki yang menjadi suaminya dan juga laki-laki yang ia cintai terang-terangan mencintai wanita lain, tapi dirinya tanpa malu memilih bertahan dan menunggu keajaiban, keajaiban apa yang ia tunggu?
Mobil berhenti, Citra turun dengan cepat dan menggendong Ara yang tertidur di kursi belakang. Citra membawa putrinya ke kamar dan menidurkannya dengan hati-hati.
"Mama minta maaf." Kata Citra pelan seraya menangis dan memegangi tangan putrinya erat.
"Bukannya mama nggak sayang sama kamu, tapi mama benar-benar nggak bisa hidup sama papa." Lanjut Citra lagi.
Suara pintu terbuka membuat Citra mengusap air matanya pelan dan menoleh ke arah suaminya yang juga masuk ke dalam kamar putrinya.
"Ayo kita bicara." Ajak Anand dengan suara datarnya.
"Aku lelah, kita bicarakan nanti." Jawab Citra seraya memilih untuk merebahkan dirinya di samping putrinya.
"Pindah ke kamar, jangan ganggu dia tidur." Kata Anand lagi yang langsung saja membuat Citra memegang erat selimut yang ia pakai.
"Tidak dengar?" Tanya Anand lagi.
Citra pun memilih mengalah dan berjalan ke arah kamarnya tanpa menatap ke arah suaminya. Rasanya Citra benar-benar tak tahan lagi.
Anand menghela napasnya pelan dan menatap ke arah putrinya yang tertidur dengan lelap, Anand pun memilih keluar dari kamar putrinya dan berjalan ke arah dapur untuk meminta bik Mar masak. Bagaimanapun juga Anand tak bisa menyuruh istrinya memasak saat ini.
Setelah bicara dengan bik Mar, Anand pun memilih untuk menuju ruang kerjanya. Sore ini dirinya ada janji dengan klien yang kemarin masih menawar harga padanya, dan hari ini akan menjadi penentuan, jadi Anand tak ingin memikirkan istrinya lagi.
Citra tidur di atas ranjang dengan tatapan mata yang kosong, apa hidupnya akan terus seperti ini? Kapan dirinya akan bahagia? Kenapa Tuhan memperlakukannya dengan tidak adil?
Lambat laun, mata Citra pun terpejam. Mungkin saja fisiknya tidak lelah, tapi hatinya sudah sangat lelah dan ingin menyerah, andai saja putrinya bukan Ara, mungkin saja dirinya memilih kabur secara diam-diam.
Jam dua siang Ara terbangun dari tidurnya, perutnya terasa lapar karena belum sempat makan siang. Memikirkan makan siang, Ara jadi ingat dengan pertengkaran mama dan papanya di dalam mobil tadi.
"Apa mama sudah pergi?" Tanya Ara pelan dan memilih untuk turun dari ranjangnya.
"Ara sudah bangun? Baru aja mama mau bangunin untuk makan siang." Tanya Citra pelan seraya menatap ke arah putrinya yang berdiri di depan kamarnya.
"Mama nggak pergi? Mama tetap jadi mama Ara?" Tanya Ara dengan sedikit antusias dan sedih di waktu bersamaan.
Citra terdiam dan menatap ke arah putrinya dengan sayang. Citra duduk untuk menyetarakan tingginya dengan putrinya yang cantik dan pintar itu.
"Ara, apa yang Ara dengar tadi, tolong lupakan ya. Mama minta maaf, saat itu mama benar-benar tak bisa berpikiran dengan baik." Kata Citra pelan dan menatap ke arah putrinya dengan penuh permohonan.
"Maafin mama, karena udah bicara seperti itu di depan Ara." Kata Citra lagi yang langsung saja membuat Ara memeluk Citra dengan erat.
"Maafin papa Ara juga ya ma, Ara tahu kalau papa suka sama Tante kembaran mama kandung Ara, maafin Ara karena nggak pernah bilang sama mama. Ara nggak mau punya mama seperti Tante itu, Ara maunya mama. Maafin papa Ara ya ma." Balas Ara yang langsung saja membuat Citra menangis saat mendengarnya.
Ternyata, putrinya sudah tahu akan kebenaran itu.
"Ara nggak boleh gitu, papa kan juga harus bahagia." Kata Citra pelan.
"Ara nggak mau." Balas Ara yang langsung saja membuat Citra terdiam dan memilih untuk menenangkan putrinya itu.
"Kalau gitu, Ara harus baik sama mama. Ara tahukan, di sini mama hanya punya Ara, kalau Ara juga nggak suka sama mama, maka mama akan pergi dari sini." Kata Citra pelan yang langsung saja di jawabi anggukan oleh Ara.
"Ara akan sayang mama." Kata Ara dengan cepat.
"Papa Ara tahu kalau Ara tahu semua itu?" Tanya Citra pelan.
Ara menggelengkan kepalanya dengan cepat, tentu saja Ara tak berni bilang pada papanya.
"Kalau gitu, perbincangan kita saat ini hanya untuk kita berdua ya, jangan cerita sama siapa-siapa." Kata Citra lagi yang langsung saja di jawabi anggukan oleh Ara.
"Ara juga nggak boleh benci sama papa, Ara harus tetap sayang sama papa. Papa pasti punya alasan sendiri kenapa mencintai kembaran mama Ara." Lanjut Citra lagi dengan suara pelan.
Setelah itu, keduanya makan siang bersama dengan masakan bik Mar. Tadi bik Mar juga memberitahu jika Anand pergi kerja dan meminta bik Mar untuk mengatakan itu pada Ara dan juga dirinya.
Citra pun hanya mengangguk dan tersenyum pada bik Mar, Citra tak tahu apakah bik Mar juga tahu semuanya? Jika iya, maka keberadaannya pasti menjadi bahan lelucon bagi bik Mar.
"Ara mau nambah?" Tanya Citra pelan.
"Enggak mah, masakan bik Mar nggak seenak masakan mama." Jawab Ara dengan suara pelan.
"Ara nggak boleh bilang gitu, udah baik bik Mar mau masak buat kita. Kita yang tinggal makan harusnya banyak bersyukur." Kata Citra menegur putrinya.
"Tapi bik Mar kan di bayar papa." balas Ara lagi yang langsung saja membuat Citra sedikit kesal mendengarnya.
"Ayo ulangi lagi, nanti mama jewer. Siapa yang ngajarin Ara bilang seperti itu? Itu namanya nggak sopan." Kata Citra kesal.
"Maafin Ara mama, besok nggak akan Ara ulangi lagi." Balas Ara cepat dengan menutupi kedua telinganya.
"Lain kali harus sopan pada orang tua, mama nggak suka kalau Ara bilang seperti itu. Gimana kalau bik Mar dengar dan marah? Ara mau dimarahin bik Mar?" Kata Citra lagi masih dengan omelannya.
"Enggak ma, besok nggak akan Ara ulangi lagi. Ara janji." Jawab Ara yang langsung saja membuat Citra tersenyum saat mendengarnya.
Bik Mar sendiri ikutan tersenyum sara mendengarnya, jujur saja dirinya juga baru tahu jika masakannya memang kalah jauh dari masakan istri majikannya itu. Dan untuk kata-kata Ara tadi, dirinya memang sedikit kesal dan juga marah, tapi melihat bagaimana nyonya barunya mengajari Ara dengan baik, Bik Mar benar-benar merasa sangat lega. Bik Mar tak tahu lagi harus berbuat apa saat anak sekecil Ara harus di ajari oleh ibu kandungnya sendiri, bik Mar yang seorang pesuruh saja tidak ikhlas saat mendengarnya.
Setelah makan, Citra pun membereskan piring kotornya, sedangkan Ara sendiri sudah lari ke depan tv dan menyalakan tvnya.
"Biar saya saja mbak." Kata Bik Mar, pura-pura baru masuk ke dalam dapur lewat pintu belakang.
"Udah mau selesai kok bi, bibi udah makan siang? Kalau belum makan dulu. Oh ya, lain kali kalau mau makan nggak usah nunggu kita semua, kadang kan kita juga makan di luar, kasihan bik Mar kalau nunggu lama." Jawab Citra yang langsung saja membuat Bik Mar menghangat saat mendengarnya.
"Saya sudah makan kok mbak, terima kasih sudah memikirkan saya sampai segitunya." Kata Bik Mar lagi.
"Dulu saya juga pembantu, pemilik rumahnya juga baik, bahkan menganggap saya sebagai adiknya sendiri, mangkanya saya juga mau meniru dia. Bik Mar jangan sungkan kalau ada apa-apa. Insyaallah saya akan membantu kalau mampu." Kata Citra bercerita.
Bik Mar pun mengangguk dengan cepat, pantas saja istri majikannya memiliki pemikiran yang sangat baik, ternyata dia juga pernah ada di bawah sepertinya.
"Semoga mbak Citra betah ya di rumah ini, non Ara juga sepertinya sangat suka sama mbk Citra." Kata Bik Mar dengan suara pelan.
Citra yang mendengarnya pun hanya tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya pelan. Dirinya pun berharap jika dirinya mampu bertahan di rumah suaminya yang kadang terasa seperti neraka untuknya.
"Kalau gitu saya ke depan ya bik." Pamit Citra dengan suara pelan.
"Iya mbak." Jawab Bik Mar dengan sedikit kasihan pada Citra.
Citra menghampiri putrinya yang tengah menonton tv dengan memakan camilan yang ada di dalam toples.
"Mama, kuenya kok enak. Besok buatin lagi ya." Kata Ara tiba-tiba saat melihat mamanya berjalan menghampirinya.
Citra pun mengangguk pelan dan menatap ke arah putrinya yang makan dengan lahap itu.
"Ara nggak ada PR?" Tanya Citra pelan.
"Ada, tapi cuma satu." Jawab Ara cepat.
"Mau dikerjakan sekarang?" Tanya Citra pelan.
"Belajarnya nanti aja ya ma, Ara mau nonton tv dulu." Jawab Ara yang langsung saja dijawabi anggukan oleh Citra.
"Baiklah," kata Citra pelan dan ikut duduk di samping putrinya, menonton kartun yang terpampang di tv.
Tbc