“Kalian telat,” ucap Anjas melihat temannya yang baru saja tiba di lokasi kejadian yang membuat statusnya berubah.
“Rumah kita jauh dari sini. Butuh waktu, apalagi lu suruh kita dandan seperti ini.” Dika memberi alasan bahwa jarak dan dandanan menjadi kendala. Iya, karena diminta untuk menjadi orangtua palsu, otomatis Dika harus menempelkan bulu-bulu di atas bibir dan rahangnya, selain itu dia juga harus memberi minyak rambut dan menyisir semua rambutnya ke belakang agar terlihat lebih dewasa. Sementara Dalia harus memakai sanggul dan memberi riasan lebih tua dengan bibir merah menyala.
Anjas menghela napas panjang lalu menoleh ke arah mobil yang baru saja tiba. Keluar lagi orangtua palsu, Anes langsung menghampiri untuk menceritakan kronologi yang terjadi pada Nina.
“Jadi gimana?” tanya Dalia menatap Anjas.
“Sah.”
“Hah, secepat itu?” Dalia membeliak.
“Hum. Orangtua kita lebih duluan hadir daripada kalian. Warga mendesak, penghulu datang, sama sekali gak bisa menghindar.” Anjas menjelaskan secara singkat. Frustrasi, tapi waktu telah berlalu, tidak bisa mundur walau hanya sejenak.
“Selamat menempuh hidup baru. Langgeng terus.” Dika tersenyum menepuk lengan Anjas. Meskipun dalam situasi yang sulit, tapi dia senang melihat sahabatnya sudah berganti status.
“Rahasia. Jangan sampai orang lain tau, termasuk Juan! Dia akan sangat merepotkan kalau sampai tau gua nikah dengan cara seperti ini,” pinta Anjas sungguh-sungguh, sama sekali tidak bisa membayangkan andai Juanda tahu, pasti akan terus diledeki dan sungguh telinga Anjas tidak sanggup mendengar itu.
Dika dan Dalia hanya bisa mengangguk kepala.
“Itu orangtua lo ngapain?” Dalia tidak sengaja melihat orangtua Anjas sedang mengobrol dengan dua orang pemuda yang sama sekali tidak dikenal.
Anjas menoleh, mengikuti arah pandang Dalia. Seketika rasa curiga menguat di hatinya, segera dia melangkah mendengar untuk mencuri dengar apa yang mereka bicara. Firasat Anjas menunjukkan ada udang di balik batu. Secara kedatangan orangtuanya yang begitu dadakan membuat situasi semakin rumit hingga kata sah mengakhiri segala perdebatan.
“Terima kasih karena kalian sudah membantu kami,” kata Bu Ida menyerahkan beberapa lembar uang untuk ke dua pemuda yang sudah menangkap Anes dan Anjas sehingga mereka diseret ke rumah pak RT dan orang-orang pada ikut mendekat karena gosip perbuatan asusila di kampung itu.
“Ck! Ternyata semua ini ulah mereka. Pantas saja di luar logika,” gerutu Anjas baru bisa membenarkan kecurigaan yang menyelimuti pikirannya sejak awal mula dia diseret ke rumah pak RT.
Pertama diminta untuk datang karena mobil mogok, kemudian orangtua mereka tidak ada, ditangkap oleh warga dengan dalih m***m, orangtua hadir di waktu yang berdekatan dan pada akhirnya pernikahan terjadi begitu saja. Pastinya Anjas dapat menyadari bahwa ekspresi yang ditunjukkan orangtua mereka saat mengetahui anaknya dituduh berbuat asusila terlihat biasa saja. Tidak ada segurat kemarahan. Ini benar-benar kebetulan yang di luar nalar.
“Jadi ini rencana kalian?” tanya Anjas mendekat. Bola mata menyoroti tajam tak peduli orang yang diciduki terkejut dengan kehadirannya yang begitu tiba-tiba.
“Anjas.” Teledor, mereka sama sekali tidak dapat memprediksi bahwa anak-anak mereka masih berada di lokasi yang sama. Padahal tadi sudah yakin bahwa mereka sudah pergi saat mereka berpamitan.
“Kenapa kalian panik saat lihat aku di sini? … tega sekali kalian sama anak sendiri.” Anjas kecewa dengan mereka. Bisa-bisanya menjebak anak-anak mereka dalam untuk menikah.
“Anjas, ayo kita pulang.” Itu Anes, dia berlari menghampiri Anjas, malah kaget melihat orangtuanya juga ada di situ. “Kalian masih mengobrol?”
Mereka saling membalas pandang, sudah terlambat untuk berdusta karena semuanya sudah terkuak.
“Lu tau kenapa kita bisa terjebak dalam situasi sekarang ini?” tanya Anjas membuat Anes bingung.
“Maksudnya gimana?”
“Semua yang terjadi sama kita itu ulah mereka. Mereka yang mengatur supaya kita ditangkap warga terus nikah.” Anjas berterus terang daripada membuat Anes semakin bingung untuk menerka-nerka.
Lantas ke dua mata Anes membelalak. “Ayah, Bunda, ini gak benar kan?”
Mereka hanya diam saja sehingga membuat Anes menggeleng kepala dan kecewa. “Astaga, kalian ini benar-benar gila. Kok bisa kepikiran menjebak kami dengan cara seperti ini? Ini benar-benar di luar nurul.”
“Nalar,” ujar Anjas membenarkan ucapan Anes yang salah.
“Iya, sengaja gue plesetan, ikuti tren,” seru Anes.
“Kalian ini Bunda jodohkan dengan cara baik-baik malah menolak, jadi terpaksa kami harus melakukan cara seperti ini,” ujar Bu Lina. Sudah ketahuan, jadi tidak bisa lagi mengelak, hanya memberi keterangan pasti mengenai alasan mereka membuat rencana besar untuk mengikat ke dua anak mereka.
Awalnya mereka tidak mungkin akan nekad seperti ini. Ide itu spontan saja keluar dari Bu Lina yang pusing karena anaknya kabur dari rumah.
“Gimana kalau kita jebak saja mereka?” kata Bu Lina pada saat itu di kediaman Pak Anwar.
“Maksudnya jebak gimana?” Bu Ida merespon—tak paham dengan apa yang akan ide Bu Lina.
“Kita hubungi mereka malam nanti, suruh datang ke tempat sepi dengan dalih mobil kita mogok. Nanti kita suap beberapa orang kampung untuk memergoki mereka. Kita atur seolah-olah mereka ini beneran berbuat asusila,” papar Bu Lina mengenai idenya sontak membuat Pak Fuadi, Pak Anwar dan Bu Ida terperanjat.
“Kamu gila melakukan itu pada anak-anak kita? Ini bisa saja mencoreng wajah kita. Disangka kita tidak becus dalam mendidik anak-anak,” sanggah Bu Ida sama sekali tidak setuju dengan ide Bu Lina. Ide gila yang memicu malu apalagi kalau sampai orang tahu mengenai pernikahan putranya karena ditangkap warga.
“Ini hanya akting saja. Kita pastikan tidak ada orang yang mengetahui ini.” Bu Lina kembali meyakinkan. Lantas tak kunjung ada persetujuan dari mereka.
“Ingat, demi anak-anak kita. Kalau bukan dengan cara seperti ini, sampai kiamat pun mereka tidak akan menikah. Lihat Anes kabur dari rumah gara-gara mendengar perjodohan dan sekarang ikut kabur lagi.”
Mereka bergeming lalu Bu Ida mengangguk setuju. “Baiklah, saya setuju.”
“Mami!” Pak Anwar menatap istrinya dengan serius.
“Kita ikuti saja apa kata Bu Lina. Lagipula kita akan memantau supaya tidak terjadi apa-apa pada mereka.”
Dalam hati Bu Ida tetap menyimpan kecemasan, takutnya jebakan malah menjadi kenyataan. Meskipun dia paham betul bahwa anaknya suka keluar masuk bar, tapi sejauh ini belum pernah menemukan Anjas melakukan hubungan tidak senonoh dengan perempuan.
“Kalau gagal bagaimana?” Pak Anwar jelas ragu.
“Kita tidak akan tahu kalau tidak mencobanya. Semoga saja berjalan dengan lancar.”
Begitulah mereka menyusun rencana dengan sangat rapi. Meninggalkan mobil di pinggir jalan dan mereka bersembunyi di balik pohon, memindai pergerakan Anes dan Anjas sampai pada akhirnya diseret warga dan menikah.
“Astaga, ide kalian ini benar-benar gila. Belajar dari mana sih? Sudah tua masih suka berpikiran seperti itu?” omel Anjas tidak habis pikir dengan kegilaan orangtuanya dan orangtua Anes. Di luar nalar. Dia yang biasanya suka sekali memikirkan ide gila, tapi kali ini bisa kecolongan orang pergerakan orang tua yang sulit ditebak.
“Semuanya sudah terjadi, jadi jangan dipikirkan lagi! … kalau ada yang ingin kalian bicarakan, sebaiknya kita bicara di rumah!” ujar Pak Anwar memberi solusi karena angin malam terasa sejuk menyentuh kulit.
Pada akhirnya mereka pun sepakat untuk pulang ke rumah Pak Anwar, sementara Dika, Dalia dan Nina langsung kembali ke rumah masing-masing karena sudah tidak dibutuhkan lagi. Lebih baik tidur dan menikmati mimpi yang indah, biarkan Anes dan Anjas yang mengurus masalahnya sendiri, toh sudah sah, mungkin lebih baik langsung malam pertama.
Kini, begitu Anes dan Anjas menginjakkan kaki di rumah Pak Anwar, langsung saja Anjas membuka suara dengan tatapan yang cukup serius.
“Karena kami menikah bukan karena rasa suka sama suka, lebih baik pernikahan ini dibatalkan.”
Anes mengangguk setuju. Dia paling cepat karena memang tidak ada keinginan sedikitpun mengakhiri masa sendirinya dengan Anjas. Sudah pelit, berisik lagi.
“Tidak bisa,” jawab Pak Fuadi dengan cepat dan tegas. “Kalian sudah menikah, jangan coba-coba untuk membatalkan pernikahan!”
“Ayah, kita ini menikah gara-gara jebakan kalian. Udah deh, lebih baik pisah aja, daripada kami yang pusing,” seru Anes.
“Tidak bisa. Kalian tetap tidak boleh berpisah atau kalian mau selamanya tinggal di luar tanpa uang sepersen pun?” Pak Fuadi mengancam.
“Aku sih gak masalah,” ujar Anjas dengan santai. Posisi sebagai wakil CEO, tentunya bisa hidup dengan nyaman di luar sana.
“Kamu lupa dengan power Papi, Anjas?” singgung Pak Anwar langsung membuat Anjas membungkam.
Jika dibalik kesuksesan Juanda Saputra ada Danu Saputra di belakangnya, tentu saja dibalik kesuksesan Anjas Nugraha ada Anwar Nugraha di belakangnya. Iya, karena mereka sukses di usia yang sangat muda, tentunya old money-lah yang berbicara karena sulit sekali sukses di usia yang sangat muda karena sebelumnya mereka menghabiskan masa muda dengan menempuh pendidikan di luar negeri bukan langsung terjun ke dunia bisnis dan menjadi bos-bos muda.
“Kalian menang,” ujar Anjas mendesah—sebal.
Mereka yang menyusun rencana tersenyum penuh kemenangan. Jika dulu tidak bisa menekan begitu saja, tapi tidak dengan malam ini, segala cara dilakukan untuk mempertahankan pernikahan anaknya itu.
“Anjas, bawa Anes masuk ke kamarmu!” titah Pak Anwar sontak membuat Anjas dan Anes membeliak.
“Ini gak salah, Pi?”
“Kalian pengantin baru. Sudah seharusnya tinggal sekamar dan menghabiskan malam pertama,” jawab Pak Anwar dengan santai lagi-lagi membuat Anjas dan Anes sesak napas. Saling menatap lalu mengedik ngeri.
“Yang benar saja? Ini aneh,” ujar Anjas menggeleng kepala.
“Tidak ada yang aneh. Cepat masuk dan lakukan apa yang seharusnya dilakukan pengantin baru!”
“Ayah, tolong!” Anes memeluk lengan ayahnya, memohon agar dibantu lepas dari malam pertama.
“Kamu bukan lagi anak kecil. Sana masuk ke kamar!” Pak Fuadi melepaskan tangan putrinya.
“Ayah, Bunda, kalian tega banget sih sama anak sendiri?” Anes frustrasi. Wajah melas tidak mempan untuk meluluhkan hati orangtuanya.
“Kalian mau masuk sendiri apa kami paksa masuk?” tanya Pak Anwar santai tapi mengancam.
“Astaga ini benar-benar gila. Duh kabuur.” Anes hendak kabur tapi tangannya sudah duluan ditangkap oleh Pak Fuadi lalu diseret ke kamar bersama dengan Anjas yang diseret oleh Pak Anwar.
“Ayah, Bunda, aku gak mau malam pertama. Toloooong!”