Malam Pertama

1203 Kata
“Astaga, kenapa bisa begini?” Anes menjerit meremas rambutnya, frustrasi. Bagaimana tidak, diseret masuk ke kamar laki-laki yang sudah jadi suaminya dan dikunci dari luar. “Gue hampir gila, lo bisa-bisanya sesantai itu.” Perempuan dengan tahi lalat di bawah mata itu protes melihat Anjas tampak santai sekali, seakan tidak ada beban, laki-laki itu jalan dengan santai menuju walk in closet untuk ganti pakaian. “Ngapain ke sini?” Anjas membalikkan tubuhnya saat melihat Anes berada di belakangnya. “Ngekorin lo, kali aja ada pintu rahasia yang bisa digunakan untuk keluar dari tempat ini.” Anjas menatap lekat wajah Anes. Perempuan di depannya tampak cerdas tapi lebih banyak konyolnya. Pada akhirnya Anjas membuang napas kasar dan menyentil jidat Anes. “Belum apa-apa KDRT lagi. Kalau tiba-tiba gue geger otak terus hilang ingatan gimana?” cerocos Anes memegang jidatnya—bekas disentil oleh Anjas. “Drama banget. Sana keluar!” seru Anjas membalikkan tubuhnya seraya melepaskan kancing bagian atas kemeja. “Lu mau lihat gua ganti baju?” tanyanya ketika melihat tidak ada pergerakan dari Anes. Lantas Anes kini panik, buru-buru lari keluar dari walk in closet. “Gimana caranya gue kabur dari sini?” gumam Anes mondar-mandir, menggigit kuku jari jempol seraya berpikir keras cara untuk bisa melarikan diri. Lewat pintu tidak mungkin karena sudah dikunci dari luar. Anes mendesak menoleh ke lain arah dan matanya malah menangkap sebuah pintu yang terhubung ke arah luar. Iya, pintu balkon. “Saatnya pakai trik kaya kemarin lagi.” Anes tersenyum bahagia, buru-buru dia pergi membuka pintu balkon lalu melihat ke bawah. “Tinggi juga ya. Butuh berapa seprei biar bisa sampai ke bawah?” Anes bergeming, detik kemudian dia pergi ke walk in closet, sontak membuat Anjas yang sedang memakai celana kaget. “Astaga, bisa bilang dulu gak kalau mau ke mari?” omel Anjas buru-buru menaikkan celananya. “Lo punya berapa seprei?” Alis Anjas mengerut mendengar pertanyaan yang aneh dari Anes. “Hei, gue tanya sama lo. Ada berapa seprei di kamar ini?” “Satu, yang dipasang di kasur. Ngapain sih tanya seprei?” Anes mendesah kecewa. “Gak bisa dong kalau cuma satu.” “Ngapain lu cari seprei?” kembali Anjas bertanya karena rasa penasaran. “Gue mau gunain itu sebagai ganti tali biar bisa turun.” “Loncat saja!” ujar Anjas sembarangan. “Gak ah, takut pindah alam.” Anes melangkah pergi—keluar dari walk in closet lalu menghempaskan tubuhnya di kasur. “Bangun! Itu kasur gua,” seru Anjas mendekat, lantas Anes menolak bangun dan malah menutupi tubuhnya dengan selimut. Tak terima, Anjas segera menggulung Anes dengan selimut lalu melemparnya di sofa. “Oi, kejam banget sih lo?” pekik Anes kaget. “Makanya kalau gua bilang kasur gua, ya kasur gua,” tegas Anjas sok bossy karena memang tidak ingin barang miliknya dipakai oleh Anes. “Gue perempuan, Jas, gak bisa tidur di sofa. Pengertian dikit napa?” “Bodo amat. Gak peduli.” Anjas menghempaskan tubuhnya di kasur, nyaman sekali sampai ke dua tangan dan kaki ikut bergesekan dengan kasur. Anes bangkit dari sofa, pergi menghampiri Anjas, dia langsung saja tidur berdesakan membuat Anjas kaget dan mendorongnya ke bawah. “Aww … jahat banget sih lo? Gue mau tidur di kasur.” Anjas tidak menjawab, malah menunjuk tangannya ke arah sofa. Tak terima, Anes bangun, mengumpulkan semua kekuatannya lalu mendorong Anjas hingga terjatuh dari kasur. “Astaga, Aneh!” pekik Anjas menatap murka. “Anes! Bukan Aneh,” sela Anes membenarkan namanya. “Aneh, Aneka.” “Aneska,” sentak Anes naik ke atas kasur, dengan cepat ditangkap oleh Anjas—dipeluk pinggang kecil itu lalu di angkat pergi menuju sofa. “Oi, lepasin gue!” teriak Anes meronta-ronta. “Gak akan, jangan harap!” tegas Anjas memegang erat pinggang Anes lalu melemparnya ke sofa. Setelah itu dia bergegas lari dan melompat ke atas ranjang. Memejamkan mata seolah-olah dia sudah tidur. “Kurang asem.” Anes mengepal tangannya seraya mengatur napas yang bersahut-sahutan. Dia menoleh ke arah sofa kecil, mana mungkin bisa ditempati sedangkan dia jika tidur suka lasak dan bisa-bisa berakhir di lantai. Tidak bisa dibiarkan, Anes menguatkan tekadnya, kembali bangun dan menghampiri Anjas, malah dilempari bantal ke wajahnya. "a***y!" pekik Anes meremas batal. "Anjas Nugraha! Ingat baik-baik! Potong kambing bokap gua kasih nama itu," protes Anjas melirik tajam lalu memiringkingkan tubuhnya memeluk bantal. "Kesabaran gue udah habis," ujar Anes tidak digubis oleh Anjas. Kini perempuan yang sudah tersulut rasa kesal itu segera menarik kaki Anjas. "Oi!" Anjas memekik menendang Anes. Untung bisa mengelak dan Anes terus mengejar kaki Anjas. Tidak berhasil kini tangan kecil itu malah menangkap ujung celana Anjas. "Lepasin gua!" sentak Anjas meronta-ronta tapi Anes tetap menariknya dengan kuat sampai melorot. "Astaga." Anes membelalak melihat boxer doraemon yang dipakai Anes. Detik kemudian dia tertawa geli sampai memegang perut. "Anjir, boxer doraemon." Terlanjur malu, Anjas menaikkan celana panjangnya menutup celana boxer yang dipakai di dalam. "Ngapain lu ketawa? Gak pernah lihat boxer kaya gini?" ketus Anjas menutupi rasa malu. "Hahaha ... lo bikin gue ngakak, anjir." Belum puas Anes tertawa sampai tangannya menarik celana panjang Anjas lagi, tapi malah dipukul lengannya. "Lucu banget, sumpah. Sini gue foto!" Anes merogoh sakunya mengambil ponsel lalu mengarahkan kamera ke arah Anjas, segera dirampas, tapi Anes berhasil lolos. "NENES!" pekik Anjas mengepal tangan sebal. Lantas Anes malah tertawa terbahak-bahak dan lari saat dikejar oleh Anjas. "Coba tangkap gue kalau lo bisa!" Anes malah menantang, memelet lidah. "Awas lu Nenes!" Anjas terus berlari mengejar Anes. Naik turun ranjang, sofa hingga Anjas berhenti sejenak, memikirkan cara untuk menangkap perempuan gesit di depannya. "Bunda," ujar Anjas menoleh ke arah pintu. "Bunda." Anes menoleh. Bibir hendak tersenyum. "Mana bun—aaa ..." dia menjerit saat Anjas hendak menangkapnya. Buru-buru lari tapi tangan Anjas malah menangkap ujung bajunya hingga dia terungkal ke belakang. "Tolong!" pekik Anes berusaha kabur dengan merangkak sekuat tenaga. "Mau ke mana lu?" Anjas tidak melepas ujung baju yang dia pegang. Terus ditarik agar bisa menangkap Anes, namun malah sebaliknya baju yang dipakai Anes robek hingga memperlihatkan pakaian dalam yang dipakai. "Anjir, Baju gue ... m***m!" pekik Anes menyilang tangan di dadanya dan spontan saja Anjas memalingkan wajah. "Makanya jangan kalau gak mau terbakar jangan main api!" ujar Anjas beranjak pergi. "Gue cuma buka celana lo, ngapain lo robek baju gue? Aaa ... malah gue terkurung lagi di sini." Anes menjerit, menentang-nentang angin seperti anak kecil sedang merajuk. Lantas, suara Anes yang keras itu membuat orang tua yang menguping di depan pintu itu terkejut. "Mereka sudah buka celana, robek baju," ujar Bu Ida menoleh ke arah suaminya. "Kayanya sebentar lagi kita akan segera punya cucu." Hayalan Bu Ida terlalu tinggi. Hanya mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Anes tanpa mengtahui situasi apa yang terjadi di dalam. Bibir tersenyum riang merangkul tangan suaminya. "Tapi Papi merasa ada yang janggal," ujar Pak Anwar mendapati feeling yang aneh dalam hatinya. "Ah si Papi, kalau mereka sudah berani buka-bukaan pasti akan timbul nafsu, terus nganu, selamat malam pertama," kekeh Bu Ida tetap berpikir positif. "a***y, gue balas lu," pekik Anes di dalam kamar sontak membuat Bu Ida dan Pak Anwar yang masih di depan pintu terkejut. "Sepertinya yang Mami katakan itu kurang tepat ... mereka masih belum bisa berdamai dengan keadaan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN