Bab 9

1112 Kata
Sementara ditempat lain nan jauh di sana. Sadewa dan Radit sedang merapikan panti asuhan yang menjadi tempat mereka bernaung sejak bayi. Sebagai penghuni panti yang tertua, Radit dan Dewa bertugas membersihkan halaman panti. "Aku mau sekolah yang tinggi sekali. Nanti, jika sudah ada orang yang akan mengadopsiku sebagai anak," ucap Radit yang sering sekali berangan-angan memiliki orangtua asuh yang begitu mencintainya. Dewa hanya menanggapi Radit dengan senyum simpul di wajah tampannya, sedang tangannya tetap mencabut beberapa rumput yang mulai tinggi. "Kalau kamu Dewa, kamu bisa jadi artis kalau ada orang yang merawatmu, kau tampan Dewa," tambah Radit kemudian. Seorang wanita berjalan mendekati halaman panti. "Anak-anak, hari ini akan ada orangtua asuh yang akan mengadopsi salah satu dari kalian semua. Jadi Ibu harap kalian sudah menyelesaikan pekerjaan kalian dan sudah mandi sebelum mereka datang." Interupsi Bu Tina, kepala panti di sana. "Baik, Bu," jawab Radit antusias. Ia bahkan sudah melepas alat pencabut rumput dari tangannya. "Kau mau kemana?" tanya Dewa melihat Radit yang belingsakkan. "Hari ini aku pastikan jika mereka akan mengadopsiku," balas Radit bahagia. Dewa nampak menggeleng menghadapi kelakuan Radit, ia yakin kali ini pun sama. Mereka yang datang rata-rata ingin mengadopsi bayi baru lahir. Sore ini seperti yang telah dijanjikan bu Tina anak-anak sudah berkumpul membuat barisan. Nampak Radit dengan pakaian terbaiknya yang diberikan penyandang dana setahun lalu. Di depan pintu ada sepasang orangtua asuh yang terlihat sangat muda. Dewa menebak mereka pasti kesini karena belum juga dikaruniai anak. Dan mereka berencana mencari seorang anak sebagai pancingan. "Maaf tapi kami mencari anak yang masih bayi, kira-kira baru berusia 2 minggu," Ucap laki-laki yang sibuk menggandeng bahu istrinya. "Kami berencana mencari bayi sekalian sebagai pancingan agar Tuhan memberikan kami anak sendiri." Tambah wanita cantik yang diperkirakan bakal menjadi calon ibu asuh. Tepat seperti dugaan Dewa. Rata-rata dari mereka hanya membutuhkan pancingan sebelum benar-benar diberikan kepercayaan memiliki anak sendiri. Sebenarnya Dewa pun sudah begitu jengah dengan rutinitas perkenalan seperti ini. Tapi ia sangat menghormati bu Tina, wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri. Dewa juga bingung, mengapa saat bayi dulu ia dan Radit tak juga memiliki kesempatan dicari seperti ini. Namun ia enggan untuk bertanya lebih lanjut dengan bu Tina. "Maaf, tapi anak-anak di sini semua rata-rata sudah besar, kami tak punya atau menampung anak yang masih bayi," ujar bu Tina sopan. Dan nampak kekecewaan dari kedua orangtua asuh tersebut. Terlihat mereka yang saling pandang, berfikir untuk pergi dari sini tanpa mengecewakan bu Tina. "Ahk.., jadi seperti itu Bu, maaf sekali karena anak yang kami inginkan sepertinya tidak ada di sini," ucap laki-laki itu akhirnya, setelah terlihat beberapa kali berfikir. "Tidak apa-apa pak Rifky, saya maklum," jawab bu Tina santun "Saya.. saya saja Tuan... Angkat saya jadi anak anda. Maka saya akan berdoa kepada Tuhan agar anda dan istri anda mendapatkan momongan. Bukankah doa anak yatim itu diijabah ? lagi pula saya akan menjadi kakak yang baik nantinya untuk calon anak anda." Sela Radit bersungut-sungut, matanya memancarkan rona kebahagiaan. Meski Dewa terus saja menarik Radit agar kembali kebarisan namun Radit tetap menolak. Ia berharap dengan maju selangkah dirinya akan dilihat oleh kedua orang itu. "Hemm.., Kau anak pintar sayang, tapi maaf kami ingin merawat anak yang masih bayi. Kami berjanji akan sering datang kesini untuk melihatmu," ucap wanita itu tulus, ia terlihat membelai lembut pipi Radit. "Dan ahk... Kau juga." Tambahnya ketika melihat Dewa, ia tersenyum dalam hati ia berfikir kenapa ada anak setampan dia di panti asuhan ini. Setelah mengatakan hal itu mereka berdua pamit pulang diantar oleh bu Tina sampai gerbang depan. "Maafkan kelakuan Radit, Bu Anita. Ia memang sudah lama mendambakan seseorang mengadopsinya," beber bu Tina mengawali obrolan. Ia tak enak dengan kelancangan Radit tadi. "Ibu tak perlu merasa tak enak, saya paham. Anak-anak memang selalu saja bertindak polos. Tapi saya penasaran dengan anak satunya lagi, ia terlihat begitu tampan seperti... Keturunan bule," ucap Anita mengingat kembali bentuk wajah Dewa. "Ahk... Apa yang Ibu maksud, Dewa? Ia sepertinya memang keturunan bule, saya tahu dari secarik kertas yang saya temukan di tubuh Dewa. Wanita itu menjelaskan jika Dewa hasil hubungannya dengan mantan majikannya yang sayangnya tak mendapat restu dari kedua orangtua kekasihnya. Bahkan disurat itu dijelaskan jika kekasihnya sama sekali tak tahu jika ia mengandung. Ia menitipkan dewa kira-kira saat usia Dewa 3 hari. Ia meminta saya untuk tidak memberikan Dewa kesiapapun. karena itu meski banyak orang yang mau mengasuh Dewa, saya sama sekali tak memberinya. Saya berharap suatu saat ibunya menepati janji mengambil Dewa kembali." Jelas bu Tina panjang lebar. Yang disambut dengan wajah Anita yang prihatin. Ia tak tahu harus mengucapkan hal apa lagi. Disaat dirinya begitu mendambakan anak, tetapi ada juga wanita yang tega membuang anaknya sendiri. "Saya yakin suatu saat wanita itu akan kembali, hubungan seorang anak dan Ibu tak akan putus begitu saja," ucapnya tulus sebelum masuk kedalam mobil. --- "Kamu ngapain sih tadi malu-maluin tahu." Kesal Dewa ke Radit yang sejak tadi menangis dibawah bantal. "Hu hu hu.., aku mau punya orangtua." Isak Radit. "Kita kan udah punya. Bu Tina, ibunya sama pak Saum, ayahnya," ucap Dewa mencoba menghibur Radit. Pak Saum adalah tukang s**u segar yang sering datang ke panti asuhan ini. Usianya sudah pantas jika dianggap kakek Dewa dan Radit. "Beda!" balas Radit kesal. Ia tak mau memiliki orangtua seperti pak Saum yang sudah tua. Dewa nampak terkekeh geli, ia telah berhasil membuat Radit yang dari tadi sedih menjadi kesal. Lebih baik kesal daripada terus-terusan sedih, bukan. Dewa tiba-tiba mempunyai ide usil ditamparnya dengan keras dua bongkahan Radit yang sintal. Yah. Radit memang sangat gemuk sejak kecil. Ia dan Dewa sudah seperti angka 10. "Aduh." Spontan Radit berbalik badan melihat kearah Dewa. Dewa nampak terkekeh geli sekali. "Kamu jelek kalau menangis," ucap Dewa sebelum berlalu. Dewa segera pergi menemui bu Tina. Ia tak ingin tingkah Radit tadi membuat bu Tina menghukumnya. Tokk! tok! tok! "Boleh saya masuk, Bu?" tanya Dewa sopan. "Silahkan Dewa," sahut bu Tina. "Emm.., Masalah Radit tadi, saya mohon ibu untuk tidak menghukumnya. Saya tahu ia hanya bertindak spontan, Bu," ucap Dewa yang memang terlihat lebih dewasa dari usia sebenarnya. 9 tahun usia Dewa. Tapi ia begitu matang, selama di panti ia sama sekali tak pernah mengeluh atau menayakan dimana orangtua kandungnya. "Kemari Dewa." Pinta bu Tina sambil tersenyum. Ia menunjuk kursi di sebelahnya untuk diduduki Dewa. "Ibu sama sekali tak berniat menghukum Radit, Ibu justru kasihan dengan anak itu, jika saja Radit mampu berlapang d**a sepertimu mungkin ia tak akan mengalami kekecewaan berkali kali seperti ini." Jelas bu Tina sambil membelai lembut surai Dewa. 'Ibu salah, akupun sama seperti Radit, aku juga selalu berharap ada seseorang yang datang mencariku dan mencintaiku seperti anak sendiri' ucap Dewa dalam hati. Mata biru yang dalam itu memancarkan kesedihan dari dalam hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN