Sembilan belas.

1386 Kata
___ Selamat membaca. ___ Semua orang yang melihat aku bahagia, sama sekali tidak tahu bahwa dibalik semua itu aku menanggung beribu rasa sakit hati. ___             Shayna masih saja menolak atas ajakan yang diberikan oleh ibu dari Reevin, menurutnya untuk apa ia ikut makan bersama? Menurutnya untuk apa ia mau pergi bersama dengan keluarga Reevin? Bahkan dengan ibunya, kalau nanti ayahnya tidak sengaja melihat, Shayna pasti akan kena masalah lagi, dan Shayna tidak ingin itu semua terjadi, Shayna tidak ingin membuat kekacauan lagi, Shayna tidak ingin ia menyebabkan pertengkaran orangtuanya lagi, karena pada dasarnya hal ini terjadi karena hubungannya bersama dengan Reevin.             Coba saja hari itu ia tidak bertemu dengan Reevin, coba saja Reevin tidak pindah ke sekolahnya, coba saja Reevin dan Shayna tak lagi bertemu, mungkin kekacauan ini tidak akan terjadi, pasti hidup Shayna akan tentram dan terkendali seperti dahulu kala.             “Ayo, mau ya,” bujuk Avita lagi saat Shayna masih terlihat tidak ingin pergi bersamanya, perempuan muda itu juga berkali-kali membuang wajahnya, tidak ingin bertatapan langsung dengannya atau pun dengan Reevin, Shayna masih saja kekeh dengan apa yang ia inginkan – untuk tidak mau pergi bersama dengan dirinya.             “Enggak tante, sorry,” ucap Shayna lagi, ia kembali mengalihkan padangan matanya kepada Kak Dikta, mengajak laki-laki itu untuk segera pergi dari sana, karena sungguh, Shayna sangat tidak ingin berada di sini, “ayo kak,” ajak Shayna lagi.             Genggaman tangan Dikta menyatu dengan genggaman tangan Shayna, dan itu semua sama sekali tidak luput dari tatapan Reevin, Reevin ingin marah, jelas, ia jelas ingin marah karena bisa-bisanya laki-laki itu menyentuh Shayna-nya, bisa-bisanya laki-laki itu dengan santai menggengan tangan Shayna di depan matanya.             “Bisa kok Tan, hari ini Shayna enggak sibuk kok, kalau mau ngajak makan, dia bisa kok,” jawab Dikta dengan senyum lebarnya, ia jelas tahu bahwa ibunya Reevin pasti ingin berbicara dengan Shayna.             Avita mengembangkan senyumnya, ia kembali berucap, “iya ayo Shayna,” katanya bersemangat, “kamu juga itu ya,” ucap Avita menatap pada arah Dikta, Avita bisa melihat bahwa Dikta adalah satu-satunya orang yang bersama dengan Shayna, dan terlihat juga gerak-gerik Shayna yang tidak ingin jauh dari laki-laki itu.             Shayna jelas melebarkan tatapan matanya pada Kak Dikta, Kak Dikta kenapa jadi begini, kenapa laki-laki itu malah menyetujui ajakan dari keluarga Reevin, bagaimana kalau nanti ayahnya melihat dirinya bersama dengan Reevin, Kak Dikta pasti juga tidak bisa melakukan apa pun kalau ayahnya bisa marah, “aku ada les ya Kak, lupa?” tanya Shayna kepada Dikta, perempuan itu sudah menghela napasnya dengan berat.             Dikta tersenyum, ia meraih bahu Shayna untuk ia rangkul, ia juga memiringkan kepalanya, untuk menatap Shayna, “kamu yang lupa, kan hari ini kamu enggak ada jadwal les, ayo kita makan sama tante ini, lumayan uang jajanku buat teraktir kamu,” kata Dikta lagi, ia juga memalingkan wajahnya, menatap orang-orang yang ada di depannya, “Tan, Shayna ganti pakaian dulu, nanti perginya sama saya, mau makan di mana?” ucap Dikta lagi, ia di sini hanya mencoba untuk membantu Reevin dan orangtuanya yang sepertinya memang ingin makan bersama dengan Shayna.             Senyuman di wajah tante Avita terlihat dengan jelas, pun di wajah Reevin dan juga Banjar, membuat wajah masam Shayna semakin terlihat kentara, perempuan itu dengan cepat melepaskan tangan Kak Dikta yang sedari tadi bertengker di bahunya, tanpa mengatakan apa pun itu Shayna dengan cepat melangkah pergi, meninggalkan empat orang yang memuakan itu.             Shayna mencoba untuk tenang, tapi Dikta tetaplah Dikta, laki-laki itu benar-benar mengambil kesempatan dan mengatakan apa yang ia inginkan walau hal itu Shayna tolak dengan mentah-mentah, tapi, lagi, Shayna sudah biasa dalam keadaan seperti ini, ia selalu saja diambilkan keputusan atas pilihan dihidupnya, jadi rasanya Shayna sudah sangat biasa atas hal-hal yang semacam ini, atas hal-hal pribadinya yang dicampuri oleh orang lain. “Selalu, selalu saja mengambil keputusan ataas hidup orang,” lirih Shayna lalu pergi dari sana seorang diri.             Dikta yang tahu tentang hidup perempuan itu tersenyum singkat, ia menganguk kecil melihat bagaimana mata Reevin dan Banjar serta mata ibu Reevin yang berbinar karena pada akhirnya Shayna mau ikut makan bersama mereka walau dengan paksaan.             “thank’s Kak,” ucap Reevin, memukul pelan pundak kakak kelasnya itu.             Dikta mengangguk dan membalas pukulan itu lalu pamit karena ia harus bersama dengan Shayna, mana tahu Shayna sudah selesai dengan berganti pakaiannya kan? terus ia kabur karena benar-benar tidak ingin makan bersama dengan Reevin.             Shayna memilih untuk mengganti pakaiannya kembali menjadi baju seragam, ia mengambil jaket denim dan mengenakan jaket itu, tiab-tiba hujan deras turun, karena memang sudah musim hujan, membuat mata perempuan itu menatap pada cuaca diluar sana, coba Shayna bisa berjalan di bawah hujan, hingga siapa saja tidak akan bisa melihat bagaimana derasnya air mata dirinya turun, mungkin itu mengasikan, kan?             “Dingin ya?” tanya Dikta, laki-laki itu merengkuh Shayna, membuat adik kelasnya itu masuk ke dalam pelukannya.             Shayna yang awalnya melamun itu pun langsung buyar, perempuan itu menatap Dikta dengan tatapan sendu, tiba-tiba pikriannya kacau, coba bayangkan, awalnya hidup kamu begitu indah, awalnya hidup kamu begitu bahagia, semua yang kamu inginkan ada semua orang menyayangi kamu, semua orang mencintai dan menganggungkan kamu, tapi, pada akhirnya setiap malam kamu mendapatkan suara-suara tamparan, mendapatkan suara-suara pecahan barang, mendapatkan suara-suara teriakan, bagaimana bisa kamu menghadapinya, seorang diri?             “Kenapa Kak? Kenapa harus aku? Kenapa jadi aku?” tanya Shayna, perempuan itu pada akhirnya terduduk di kursinya, para teman kelasnya sudah kebanyakan pulang, karena harusnya memang yang mengikuti kegiatan tambahan saja yang masih berada di sekolah ini jam segini.             “Shayna, kita sudah bahas semua ini kan?” bales Dikta, laki-laki itu menjongkokan tubuhnya, tangannya meraih tangan Shayna untuk bisa ia genggam, untuk bisa ia salurkan semangat yang haruasnya bisa menguatkan perempuan itu, Dikta tahu, Dikta yakin bahwa pilihan Tuhan tidak lah salah, termasuk bahwa Tuhan yang memberikan Shayna cobaan seperti ini, memberikan keluarga Shayna cobaan seperti ini, bukan kah artinya Shayna dan keluarganya begitu kuat dan bisa menghadapi hal ini? “Enggak Ada jalan manusia yang lurus saja Shay, enggak ada jalan manusia yang enak tanpa ada hambatan, enggak ada,” peringat Dikta lagi.             Ya, Dikta bisa dengan mudah mengatakan hal itu pada Shayna karena sesungguhnya Dikta belum pernah berada di posisi Shayna, tapi, bukankah ini hidup? Tidak ada hidup orang yang selalu saja enak, mungkin orang itu terlihat hidup bahagia, tapi, mana tahu hati orang itu penuh dengan luka?             Shayna menundukan kepalanya, kembali menangis, kembali terisak, bahkan dimenit ke lima saat perempuan itu masih menangis tangan yang menggengamnya sejak tadi tak pernah melepaskan tangannya, bahkan Dikta masih berada di sana, masih menunggu Shayna yang menangisi hidupnya. Hingga pada akhrinya Shayna memilih mengangkat wajahnya, menatap laki-laki yang bahkan tak bergerak sejengkal pun dari tempatnya.             Sejujrunya hari ini ia begitu jengkel pada Kak Dikta, bagaimana bisa semua orang dengan mudah mengambil apa yang ingin ia putuskan, kenapa harus Kak Dikta juga ikut-ikutan melakukan hal yang amat Shayna benci itu, “Kak makasih karena sudah ada di sini, makasih sudah nemenin aku,” ucap Shayna dengan tulus, ia membalas genggaman tangan itu dengan semakin kuat, sungguh, Shayna begitu tulus mengucapkan hal itu karena kalau bukan Kak Dikta yang menemaninya ia juga tidak akan bisa setangguh ini dalam menghadapi kenyataan yang benar-benar membuat dirinya gila ini, “tapi jangan lagi ngambil keputusan sesuka hati kakak ya kak, ini hidup aku, ini semua harusnya karena keputusanku, bukan keputusan kakak, atau keputusan orangtuaku,” ucap Shayna memperjelas rasa jengkelnya saat ini.             Dikta mengangguk, ia benar-benar meminta ma’af atas kejadian tadi, tapi, Shayna juga harusnya memberikan kesempatan bagi Reevin dan Banjar untuk berbicara pada perempuan itu, bisa saja kan apa yang ingin dikatakan oleh Reevin penting, “yaudah, ayo Reevin nungguin, kita jalan bareng sama mereka, kita ngikutin mobil ibunya Reevin,” ajak Dikta lagi.             Gerimis masih saja turun, kini tak lagi dengan hujan yang besar, di tempatnya Reevin berdiri ia bisa menatap Shayna yang berjalan tertunduk, menatap perempuan yang pada akhirnya mau makan bersamanya dan ibunya walau dengan paksaan yang begitu hebat dan dibantu oleh Dikta.             Shayna masuk ke dalam mobilnya Dikta, sedangkan Dikta melihat Reevin yang juga berada di samping mobil bundanya, “nanti gue ikutin mobil lo di belakang,” ucap Dikta, karena ia tidak bisa memaksa Shayna ikut masuk ke dalam mobil orangtua Reevin, mood  Shayna pasti akan semakin hancur, ia juga pasti akan benar-benar pulang dan tidak jadi ikut makan siang bersama dengan Reevin dan ibunya. ___
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN