Lima Belas. Semuanya sudah berakhir.

1385 Kata
                                                                                        ***                                                                         Selamat membaca.                                                                                         ***                                                         Aku hanya membela Kakaku, dia tidak salah, dia hanya mencintai perempuan sialan itu, perempuan yang tak tahu diri itu.                                                                                         ***             "Apa kamu mau Ayah membunuhnya, Shayna? Biar kamu tidak bisa bertemu dengannya lagi?"             "Tidak ... jangan ...." Shayna tak menyahut lagi, ia tak bisa membantah lagi, jalan keluarnya hanya satu, Shayna harus mengakhiri hubungannya dan menjauh dari Reevin, agar Reevin tetap hidup, agar ia tetap selamat, agar ia masih bisa melihat laki-laki itu hidup dan bernapas dengan keadaan yang baik-baik saja.              "Tidak ... jangan ...." Shayna melirih dengan keringat terus bercucuran di keningnya, salah satu hal yang ingin Shayna hindari kini adalah tertidur, karena mimpi buruk itu selalu muncul saya ia terlelap, saat ia memejamkan matanya, tapi jelas, Shayna juga tidak akan bisa melarikan diri terus menerus seperti ini, ia harus beristirahat, tubuhnya punya hak untuk tidak dipaksakan terus bergerak.             Sejujurnya, Shayna lebih memilih untuk menghadapi kenyataan, katakan saja Shayna pengecut karena dikenyataan dia bisa meminta bantuan kepada Kak Dikta, tapi bila di mimpi, bila mimpi buruk itu datang lagi, dia tak bisa apa-apa, Shayna harus menghadapinya sendirian, dan Shayna tak mampu akan hal itu. Setelah mencoba kabur dari mimpi buruk itu, kali ini Shayna sudah disambut dengan perawat UKS yang ada di sekolahnya, yang kini berada di sampingnya.             "Ada yang sakit lagi?" Tanya Kak Amel yang dijawab Shayna dengan gelengan.             Tidak, Shayna tak merasakan sakit apa-apa lagi, Shayna hanya merasa sakit hati dengan kejadian ini, Shayna hanya merasakan denyutan di hatinya yang begitu sakit, bahkan ia juga tidak bisa menjelaskan bagaimana rasa sakit itu bisa ia katakana.             Banjar menyambut Shayna dengan Reevin, mereka memeriksa keadaan Shayna, tadi beberapa menit yang lalu mereka juga datang dan Shayna masih tak sadarkan diri, Shayna juga demam, yang membuat dua laki-laki remaja itu khuwatir, tanpa ada yang tahu. "Lo enggak apa-apa? Soalnya dipanggil sama Ibu Marta, masalah ...." Shayna tetap diam saat Banjar berbicara kepadanya, ia tak menjawab, tak merespon apa-apa, membuat Banjar yakin Shayna tak sadar dengan dunia ini.             "Lo enggak ngarang kan pingsan tadi?" Reevin menyahut tak suka saat melihat Shayna yang sedari tadi tidak fokus, pasalnya ia tak percaya Sadira melakukan itu kepada Shayna, selama hidup dengan Sadira, walau ia perempuan cerewet ia tak pernah belaku kasar kepada orang lain, Om Sandy mengajarinya begitu baik, Sadira tumbuh menjadi bukan orang yang kriminal atau orang yang nakal, hidup Sadira lurus, ia anak yang baik.             Shayna memilih berjalan sendirian tanpa menjawab pertanyaan Reevin tadi, walau ia tahu di belakangnya ada Banjar juga Reevin mengikuti Shayna, dan kini ia sudah sampai di depan ruang guru. Shayna masih menimbang, apakah ia harus berkata jujur atau tidak, apakah ia harus menceritakan kejadiannya bahwa kaki Sadira yang menyandung kakinya hingga ia terjatuh, atau mema’afkan perempuan itu dan menganggap semuanya tidak pernah terjadi.             Saat masuk ke dalam ruangan guru, Shayna bisa melihat Sadira yang duduk dengan dua temannya di kursi, sampingnya ada Ibu Marta juga Ibu Aina selaku guru BP.             "Bagaimana keadaanmu Nak?" Ibu Aina memang guru Bimbingan Konsuling, ia mengajar tidak setahun dua tahun, tapi sudah lebih lima tahun, berbeda dengan guru BP yang katanya biasanya galak, Ibu Aina adalah guru yang amat baik dan ramah.             Shayna menggeleng ia masih merasakan badannya tak nyaman, mulutnya pun terasa panas, tapi ia jelas akan mengatakan bahwa ia baik-baik saja.             "Habis ini Ibu telpon orang tuamu ya, buat jemput kamu pulang," kata Ibu Aina lagi.             Orang tua, yang artinya Shayna akan bertemu Ayahnya ... tidak, Shayna tidak mau, Shayna tengah tidak ingin melihat ayahnya, terlebih lagi, kalau ayahnya menjemput dirinya ke sini, otomatis ayahnya akan melihat Reevin, yang akhirnya nanti ayahnya kembali marah saat melihat mantan kekasihnya itu.             "Tidak usah Bu, saya mau sekolah saja," kata Shayna membuat Bu Aina mengangguk, lalu tanpa basa-basi lagi Bu Aina meminta Shayna menceritakan semuanya, sebenarnya Sadira mengaku ia tidak membully Shayna, ia hanya menyandung kaki Shayna dan membuat Shayna jatuh, lalu pingsan.             "Tapi dia sebelumnya nyindir saya Bu, dia bilang saya perempuan sialan, ternyata mulutnya enggak sekolah Bu, dia juga nyandung kaki saya, hingga saya jatuh, saya mau dia dihukum Bu, karena itu sudah membahayakan saya," jelas Shayna. Shayna tidak tahu ia kenapa, Shayna juga tidak sadar ia barusan berkata apa, harusnya Shayna mema’afkan Sadira saja, haruanya Shayna tidak memberatkan posisi Sadira di sini, Shayna harusnya lebih kuat dan tidak menyalahkan Sadira atas kejadian ini, karena kalau ditelaah dari posisi Sadira, perempuan itu ada benarnya juga, Shayna memang perempuan yang tidak tahu diri, Shayna memang perempuan yang seenaknya dan juga egois, dan kalau dipikir-pikir Sadira ada benarnya saat menyandung dirinya, mungkin kalau Shayna yang berada di posisi Sadira, Shayna juga akan mencela dan mencelakai Shayna, sama apa yang dilakukan Sadira beberapa waktu yang lalu.             Tatapan Sadira yang awalnya menatap sepatu warna hitam yang dibelikan oleh Sandy dari luar negeri itu pun teralih menatap kepada Shayna yang juga menatapnya balik. Shayna sepertinya menantang Sadira ya?             "Baik Sadira, karena kamu mengakui dan Shayna membenarkan kejadian tadi, Ibu akan menelpon orang tuamu untuk membahas masalah ini," kata Ibu Aina dengan lembut, Ibu Aina betul-betul guru BP yang luar biasa, ia tegas tapi tidak kasar.             Shayna diperbolehkan keluar dari ruang guru, sedangkan Sadira ditahan bersama dua temannya, Ibu Aina juga memanggil orang tua Sadira dan orang tua ke dua temannya untuk membicarakan ini lebih lanjut, agar hal ini tidak akan terulang lagi kedepannya.             Shayna yang keluar sambil memegang kepalanya pun disambat dengan Banjar, Reevin, juga Kevin dan tentu ada Algi juga di sana, mereka terkejut karena tahu bahwa Sadira penyebab Shayna jatuh, dan Sadira sama sekali tidak menyangkal itu, Sadira mengakui bahwa dirinya memang menyandung Shayna.             "Memang benar ya Shay?" Awalnya Kevin tak mau membahas ini, tapi mereka berempat juga mau tahu bagaimana bisa terjadi semua ini, bagaimana kronologisnya.             Shayna menatap empat orang itu, lebih-lebih ia memandang Reevin dalam-dalam, semua ini masalahnya dengan Reevin, dan Shayna harap Sadira tidak usah ikut campur dengan masalahnya, karena hal itu akan semakin runyam, terlebih Sadira juga adalah anak dari Om Sandy. "Ya, gue pikir cuman orang gila yang ngejatuhin dirinya sendiri di toilet," jawab Shayna sarkas, ketidaksukaan membahas masalah ini terlihat sangat jelas di wajahnya. "Tolong ya Reevin, ajarin mulut adik lo, seenaknya ngatain orang, dia pikir ..., dia pikir gue mau seperti ini ...." "Gue cuman mau bela Kakak gue!" Ternyata, karena disuruh menunggu orang tua, Sadira diperbolehkan ikut kembali belajar atau istirahat, bila nanti orang tuanya datang ia akan kembali dipanggil, saat Sadira keluar dari ruangan BK itu, ia kembali mendengar Shayna yang mengatainya, perempuan itu benar-benar tidak ada kapoknya.             Shayna hanya diam, ia menghembuskan napas kasar, menatap Sadira yang sepertinya sudah muak dengannya, lalu ia menatap kembali Reevin juga Banjar. "Semuanya kan sudah selesai? Kenapa mesti diperpanjang seperti ini? Nyakitin diri tahu ...." Shayna menatap lekat-lekat pada mata hitam Reevin, matanya menyorot permohonan agar Reevin menerima ini semua, menerima keputusannya untuk berpisah ini, pasalnya Shayna sendiri juga tidak mau ini terjadi, tapi akan lebih menyakitkan jika ia tidak menjalankan apa yang dikatakan ayahnya. "Jaga Sadira baik-baik, ajari dia ...," kalimat itu terucap sebelum Shayna pergi.             Sedangkan, Reevin mulai menatap punggung Shayna yang menjauh, sesekali ia melihat tangan kanan perempuan itu terarah ke keningnya, Shayna benar, harusnya Reevin dan Sadira serta teman-temannya sadar, hubungannya dan Shayna sudah berakhir, mereka tak perlu melakukan hal konyol seperti ini, mereka juga tak harus bersikap tidak peduli dan membiarkan Shayna sendirian, mestinya tidak begini, ini semua salahnya, ini semua salah Reevin, dan juga teman-temannya. "kita harus minta ma’af sama Shayna habis ini," ekpresi Reevin tidak terbaca oleh Banjar juga Sadira, matanya ia coba lebarkan, tapi air wajahnya terlihat sedih, "Kita baikan sama Shayna," katanya lagi.             Reevin akhirnya menyusul Shayna, ia mencari Shayna, ia mesti menyelesaikan perang dingin ini, ia akan kembali menjadi teman Shayna, kalau tidak bisa menjadi pasangan, Reevin akan menjelma menjadi sahabat Shayna, menjadi rumah di mana Shayna akan pulang, menjadi tempat teduh saat di luar sana menyakitkan bagi Shayna, dan akan menjadi tempat di mana Shayna bisa mencurahkan isi hatinya. Benar dugaan Reevin, Shayna berada di UKS, tengah tertidur, kepalanya terlihat memerah, mungkin bekas benturan di kamar mandi tadi. Reevin hanya duduk, ia memandang Shayna, lalu mengucapkan kalimat paling lirih yang pernah keluar dari mulutnya. "Ma’af, ma’af aku belum bisa mengerti kamu, ma’af membuat kamu begini, ma’af Shayna ... ma’af."                                                                                  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN