Osman mengucap salam, megakhiri shalat. Lanjut menengadahkan tangan untuk berdoa.
Setelah berdoa meminta kesehatan, pengampunan, dan keimanan, ia fokus pada masalah belakangan yang menimpanya.
“Ya Allah, aku merasa gegabah saat mengambil keputusan. Aku merasa sangat bersalah pada Naomi, juga pada Orin karena aku tidak mencintainya namun kami terikat dalam pernikahan. Aku merasa bodoh karena tidak melibatkan-Mu dalam keputusan ini sehingga sangat gegabah. Kini semuanya sudah terjadi.
Tunjukkanlah jalan kemudahan untuk masalah ini. Ini sulit bagiku, namun mudah bagi-Mu. Anugerahkanlah rahmat dari sisi-Mu dan mudahkanlah bagiku petunjuk untuk segala urusan. Maha suci Allah, Yang Maha Agung. Wahai Tuhan Yang maha Hidup lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya. Dengan rahmat-Mu, aku memohon pertolongan. Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali Engkaulah yang menciptakan kesulitan ketika Engkau berkehendak mudah. Aku bertaubat kepada-Mu.”
Osman termenung sebentar usai melafazkan doa. Dia melipat sajadah dan menaruh ke kursi.
Setelah menikah, mendadak saja ia menyesal. Kenapa mengambil keputusan tanpa melibatkan Allah? Dia tergesa-gesa hanya karena takut jabatannya akan dicopot. Takut kebahagiaan Naomi akan lenyap bersamaan dengan lenyapnya jabatan dan pendapatannya. Tergesa-gesa itu datangnya dari syetan.
Sekarang semuanya sudah terlanjur. Bahkan menyudahi semua ini pun tidak mungkin. Lalu sampai kapan ia menyembunyikan Orin dari Naomi?
Memang, Tuhan tidak melarang laki-laki menikahi dua wanita atau lebih, tapi dengan cara yang indah, tujuan yang baik, dan hanya diniatkan karena Allah. Tapi sekarang, Osman menikahi Orin bukan karena alasan itu.
Dengan perasaan yang tidak nyaman, Osman melangkah menuju kamar lain. Yaitu kamar yang ditempati Orin, istri mudanya. Dia melihat Orin sedang menyusun baju-bajunya yang banyak itu ke lemari. Juga tas dan sepatu yang harganya mahal ke rak.
Wanita itu sangat cantik sekali.
Ah, kenapa pikiran Osman malah kemana-mana? Ia melangkah masuk. Berdiri di tengah-tengah ruangan.
"Kau tidurlah di sini. Aku menempati kamar sebelah." Pria itu berucap datar. Bibirnya pun hampir tak bergerak saat mengucapkan kalimat itu.
Gerakan tangan Orin terhenti. Tatapannya fokus ke wajah tampan yang tidak bersahabat itu. "Kita pisah ranjang? Maksudku, kita tidak sekamar?"
"Tidak."
"Well, okelah. Tidak masalah. Kamu boleh lakukan apa saja yang menurutmu nyaman. Mau tidur di kamar sebelah, tidur di kolong meja, tidur di atap rumah pun boleh. Ikmal sudah memberikan rumah ini sebagai fasilitas kita." Gadis itu tetap lincah dan riang. Tidak ada pengaruh sedikit pun atas sikap Osman yang dingin.
"Ikmal? Kamu memanggilnya dengan nama saja? Bukankah dia itu bosmu?" Osman mengernyit. Dan saat keningnya dalam keadaan mengernyit begini, wajahnya yang eksotik itu semakin sempurna tampan.
"Halah, dia kan tidak di depan kita. Toh dia tidak mendengarnya." Orin memutar mata.
"Kau terlihat dekat dengannya."
Orin meninggalkan kopernya yang dalam posisi terbuka, pakaian belum selesai dikemas ke lemari. Ia mendekati Osman dan mengalungkan lengan ke leher pria itu. Senyum masih tercetak di wajah bak boneka barbie. "Apa Ikmal tidak bilang kalau selama ini aku ini adalah selingkuhannya?"
Pantas saja Ikmal memerintah Osman supaya menikahi gadis ini, alasannya karena persahabatan. Ternyata Ikmal berbohong. Dan gadis ini sangat polos sekali. Dia malah jujur dengan situasi yang sebenarnya.
"Lalu kenapa Pak Ikmal rela melepasmu yang sebagai selingkuhannya? Bahkan sampai memaksaku untuk menikahimu dengan mengorbankan banyak hal? Atau jangan-jangan…"
"Jangan berpikir negatif dulu. Ikmal sudah punya calon istri dan tidak mungkin menikahiku. Dan dia menyuruhmu menikahiku karena menganggapmu pantas, sebab dia tidak rela wanita sebagus ini jatuh ke tangan lelaki yang jelek, pendek, keriput, dan gepeng. Itu sama saja menjatuhkan reputasinya karena dikalahkan lelaki jelek. Intinya, Calon istrinya curiga kalau Ikmal ada hubungan gelap dengan wanita lain. Jadi, jika suatu saat nanti calon istrinya Ikmal curiga padaku, minimal kecurigaannya bisa menipis saat dia tahu bahwa aku punya suami."
Osman menyentak lengan Orin dan melepasnya kuat. "Kamu menjadikan aku sebagai alat untuk menutupi perselingkuhanmu dengan Pak Ikmal? Crazy!"