Arini membuka matanya.
"Aku di mana?" Arini mengedarkan pandangannya.
"Di rumahku," jawab Abi singkat.
Arini memperhatikan baju yang dipakainya.
"Siapa yang mengganti pakaianku?" Ditatapnya wajah Abi dengan rasa ingin tahu.
"Aku."
"Om?" Mata Arini melebar, pipinya memerah.
"Jangan berpikir macam-macam, aku hanya mengganti baju luarmu, dan menghapus riasan wajahmu, itu saja." Abi merasa tidak senang dengan sorot mata Arini yang tengah menatapnya.
Arini hanya diam mendengar jawaban Abi, meskipun terbersit rasa tidak rela, karena Abi sudah menyentuhnya.
"Anak buahku sudah mengurus pendaftaran kuliahmu. Minggu depan, kamu sudah bisa mulai masuk kuliah," kata Abi tanpa menatap ke arah Arini.
"Terimakasih om," jawab Arini singkat.
"Satu lagi Arini, soal pernikahan ini, kamu jangan takut, aku tidak akan memintamu melaksanakan kewajibanmu sebagai istriku. Kamu bisa hidup sebagaiman gadis susiamu."
"Terima kasih, Om." Arini menganggukan kepala.
"Kamu ingin makan di sini, atau ikut makan siang di meja makan?" Tanya Abi.
"Ikut makan di meja makan saja," jawab Arini.
"Ayolah," Abi mengulurkan tangannya, bermaksud membantu Arini berdiri, tapi Arini mengabaikan uluran tangan Abi.
Abi menarik uluran tangannya yang diabaikan Arini, ia berjalan terlebih dahulu menuju pintu, ia ke luar dari dalam kamar, lalu menuruni anak tangga, untuk menuju ke ruang makan. Arini mengikuti langkah Abi di belakang.
"Bik Wati, Pak Marzuki, kenalkan ini istri saya, Arini namanya. Arini, ini Bik Wati, dan Pak Marzuki, mereka yang akan menjagamu di sini." Abi mengenalkan Arini kepada Bik Wati, dan Pak Marzuki.
"Saya Arini, Bik, Pak," Arini mengulurkan tangannya.
"Saya, Bik Wati, Non. Kalau perlu sesuatu, katakan saja sama saya." Bik Wati menyambut uluran tangan Arini.
"Saya Pak Mar, saya siap mengantar, Non Arini ke mana saja," kata pak Mar sambil terkekeh. Arini dan bik wati ikut tertawa. Arini merasa nenemukan kehangatan keluarga di sini. Bik Wati, dan Pak Marzuki sangat baik dan sangat menerima kehadirannya di rumah itu.
Setelah selesai makan.
"Mau sholat dzuhur sama-sama?" Tanya Abi. Kepala Arini mengangguk.
Mereka sholat dzuhur berdua. Arini mencium tangan Abi usai sholat.
"Buat dirimu senyaman mungkin di rumah ini Arini. Kalau ada apa-apa, katakan saja pada Bik Wati, karena aku tidak akan sering berada di sini."
Kepala Arini mengangguk.
"Istirahatlah, aku harus pergi." Abi membereskan bekas sholatnya.
"Om mau ke mana?" Arini tidak dapat menahan mulutnya untuk tidak bertanya.
"Aku harus bekerja," jawab Abi.
"Ooh.... " Arini ber ooh panjang saja.
Abi sudah pergi, Arini masuk ke kamarnya, ia mengamati tiap sudut kamar yang sangat luas.
Ada sofa warna merah tua, lengkap dengan meja di dekat jendela. Spring bed besar, tepat berada di tengah kamar dengan meja kecil dikedua sisinya.
Ada lampu tidur di atas meja kecil. Ada lemari baju besar berwarna coklat tua dengan empat pintu. Sungguh Arini penasaran apa saja isi lemari besar itu. Arini memberanikan diri untuk membuka pintu lenari. Ia terpana melihat isi lemari yang pintunya ia buka.
Lemari itu penuh dengan berbagai macam model pakaian, sepatu, juga tas. Bahkan sampai dalamannya juga.
'Siapa yang membelinya, bagaimana tahu ukuranku, kok bisa pas begini,' gumam Arini begitu mencoba salah satu dress dan sepatu yang ada.
***
Hari ini, tepat tiga bulan pernikahan mereka. Tapi selama tiha bulan ini, tidak sekalipun Arini melihat batang hidung Abi muncul di depannya. Hanya uang bulanan dari Abi yang tiap bulan sampai ke tangannya lewat Bik Wati.
'Apakah sebegitu sibuknya dia bekerja? Ataukah dia punya istri lain di luar sana.'
Arini berpikir, umur Abi sudah tiga puluh enam tahun, bukan mustahil jika dia sudah memiliki istri sebelum menikah dengannya. Arini sendiri tidak tahu status Abi apa, saat menikah dengannya. Ia tahu tanda tangan saja, tidak berminat sama sekali untuk membaca isi berkas yang ia tanda tangani.
Arini menduga, mungkin Abi sendiri menyesali, kenapa dulu berjanji pada mamahnya untuk menjaganya. Kalau tahu pada akhirnya harus menikahinya.
***
Arini menarkir motor matic yang dibelikan Abi untuk transfortasi ke kampus di parkiran kampusnya.
"Duarrrr!!" Seseorang menepuk pundak Arini, lalu terdengar suara cekikikan di belakangnya.
Riri, Lisa, dan Ina, sahabatnya dari jaman di asrama, yang mengagetkan Arini.
"Kamu melamun Rin?" Tanya Lisa.
"Tidak!" Arini menggelengkan kepala.
"Kalau Tidak, masa kamu tidak melihat dari tadi kita melambai?" Riri yang bicara.
"Masa sih?"
"Iya!" Seru ketiga sahabat Arini.
"Melamunkan apa sih?" Tanya Ina.
"Tidak ada, suerrr!" Arini mengangkat dua jarinya.
"Pagiii.... " Sapa seseorang di belakang mereka. Keempat gadis itu memutar tubuh mereka.
"Kak Fathan! Pagi juga."
Fathan Effendi, lelaki keturunan Indonesia, Turki, dan Inggris.
Tinggi, gagah, dan berkulit putih, dengan alis tebal menaungi matanya yang berbola mata biru tua. Tampan luar biasa, kalau kata tiga sahabat Arini.
Fathan, dua angkatan di atas mereka, dia mahasiswa paling diminati oleh mahasiswi di seantero kampus. Bukan hanya keren fisiknya, tapi juga pintar otaknya, mudah bergaul dengan siapa saja, plus kaya raya tentunya.
"Ehmm ... bisa bicara sebentar Rin?" Fathan menatap wajah Arini.
"Eh, aku?" Arini menunjuk dirinya sendiri. Ia merasa tidak percaya, Fathan ingin bicara dengannya.
"Iya, ehmm ... boleh aku pinjam Arini sebentar?" Fathan menatap tiga sahabat Arini bergantian.
Ketiga sahabat Arini saling pandang, lalu saling mengedipkan mata mereka.
"Ya sudah, kami duluan ya Rin, ditunggu ceritanya." Lisa mengedipkan sebelah matanya pada Arini. Arini memonyongkan bibirnya, membuat tiga sahabatnya tertawa, sebelum mereka meninggalkan Arini, dan Fathan.
Fathan mengajak Arini duduk tidak jauh dari kelas Arini. Mereka jadi pusat perhatian orang yang berlalu lalang.
"Kak Fathan ingin bicara apa?" Arini menatap wajah Fathan dari samping.
"Aku ... enghhh ... bisakah kita lebih dari sekedar berteman Arini?" Tnya Fathan,
"Maksud kakak?" Arini menatap Fathan, ia tidak mengerti maksud Fathan.
"Maksudku ... aku ... aku ... maukah kamu jadi pacarku?" Mata Fathan menyorot tepat ke dalam manik mata Arini yang juga tengah menatapnya.
Mulut Arini ternganga, apa yang diminta Fathan sungguh tidak pernah diduganya sama sekali, akan ke luar dari mulut seorang Fathan Effendi. Lelaki paling diidamkan wanita, di seantero kampus.
"Arini.... " Fathan ingin meraih jemari Arini, tapi Arini cepat menyembunyikan telapak tangan ke balik tasnya. Cincin kawin bermata berlian di jari manisnya terlihat gemerlap, menyadarkan Arini tentang statusnya. Cincin kawin itu tidak pernah ia lepas.
Sahabatnya pernah bertanya, kenapa memakai cincin di jari manisnya. Arini hanya menjawab, kalau itu cincin kawin mendiang ibunya.
"Arini, kalau kamu tidak bisa menjawab sekarang tidak apa, aku akan sabar menunggu jawabanmu," kata Fathan pada akhirnya, setelah melihat Arini diam saja.
"Tapi aku sekarang lega, karena sudah mengatakan apa yang aku rasakan padamu." Fathan meneruskan ucapannya lagi, saat Arini masih diam saja.
"Aku tidak ingin memberi Kakak harapan, sebaiknya Kakak mencari wanita lain saja, Kak." Akhirnya keluar juga jawaban dari mulut Arini.
"Kenapa?" Fathan mengerutkan keningnya.
"Aku ... aku tidak bisa menjawabnya, Kak. Aku mohon maaf, aku pergi dulu." Arini segera berdiri, ia melangkah pergi dari hadapan Fathan.
Fathan memandang punggung Arini dengan perasaan gamang.
'Apa aku terlalu cepat mengatakannya? Mungkin aku harus mendekatinya sebagai teman dulu. Sebagai sahabat baru menyatakan cinta.
Ya, mungkin harus seperti itu caranya,' batin Fathan, ia menyesali tindakan gegabahnya yang terlalu cepat menyatakan cinta pada Arini.
Bersambung