SEBENTAR LAGI, KITA AKAN MENIKAH SAYANGKU

665 Kata
POV Tara "Woy, Ra! Berhentilah bertingkah konyol. Tak malu apa, kau, dilihat dokter Aldrian?" kata Redi sambil memicingkan sebelah matanya, dia memandangku sambil menggeleng-gelengkan kepala. Aku yang sedang melompat-lompat kegirangan penuh luapan bahagia akhirnya berhenti. Dengan wajah menghangat menatap malu pada Dokter Aldrian yang terus memperhatikanku dengan bibir mengulas senyum. "Maaf, Dok. Aku kelewat bahagia," kataku yang membuat Redi kembali menggelengkan kepalanya. Kali ini, dokter di hadapanku ikut menggelengkan kepala. "Pasti akan lebih membahagiakan jika kabar ini didengar setelah kalian menikah." Ucapan sang dokter membuat senyumku pudar. Mungkin, aku sudah bersikap berlebihan barusan sehingga dia berkata seperti ini. "Baiklah, aku tinggal dulu. Biarkan Neni istirahat dulu, jangan diganggu. Jika ada apa-apa, tinggal tekan bel yang ada di kamar," kata Dokter Aldri. Aku dan Redi sama-sama mengangguk. Sepeninggal lelaki bertubuh tinggi tegap itu, aku kembali duduk di samping Redi. Luapan bahagia yang menerjang d**a membuatku lagi-lagi mengulas senyum tipis di bibir. Ah, senangnya. Akhirnya aku akan menikah dengan Neni. Redi memperhatikanku dengan tatapan sebal. "Norak kali lah kau, tu. Sampai malu, aku, pada dokter Al." Dia kembali menggelengkan kepala. "Kamu bicara begitu karena kamu tidak merasakan rasanya jadi aku, Red. Sebentar lagi, dia akan berada dalam genggamanku." Aku mengangkat tangan ke udara lalu mengepalkan tangan. "Aku temui Neni dulu," kataku sambil bangkit berdiri, namun Redi mencekal pergelangan tanganku. "Biarkan dia istirahat dulu. Tak ingat apa kau pesan dokter Al tadi, ha?" "Hampir lupa," sahutku diiringi senyum. Aku senang sekali Neni hamil. Aku mengeluarkan HP dari saku celana lalu menghubungi Zain. Dia harus tahu tentang ini. Dan juga, Cinta sahabat dekat Neni, jadi Cinta harus tahu juga. Redi mengembuskan napas saat sambil senyum-senyum, aku menyentuh nomer Zain. Langsung diangkat. "Iya, Ra, ada apa?" tanyanya dengan suara serak, sepertinya dia bicara setengah sadar. Mungkin mengantuk karena aku meneleponnya malam-malam. Tanpa basa-basi aku segera menceritakan detail kejadian hingga akhirnya aku berada di klinik dan mendengar kabar baik dari dokter Aldrian. "Apa, Ra?! Kamu pasti bercanda, kan?!" "Serius, In. Jangan lupa kamu beritahu Cinta bahwa temannya, sekarang dirawat di klinik dokter Al. Neni akan jadi ibu dari anakku." Aku tersenyum senang. "Itu bukan sesuatu untuk dibanggakan," kata Redi. Aku menatapnya tajam. Dia melengos ke arah lain. Zain mengatakan dia akan datang besok pagi bersama Cinta. Redi menyandarkan tubuhnya, bersidekap, lalu dia memejamkan mata. Sementara aku tidak bisa tidur. Sebentar-sebentar, aku menoleh ke arah pintu di belakangku. Dia mungkin masih tidur. Tunggu setelah azan barulah aku akan menemuinya. Aku pun menyandarkan tubuh di kursi lalu memejamkan mata. Tidak bisa tidur tapi mencoba tidur. *** Kumandang azan subuh terdengar lamat-lamat. Aku membuka mata, kemudian menoleh ke arah pintu di belakangku. Apa dia masih tidur? Aku sungguh tidak sabar ingin segera bertemu dengan Neni. Aku mengusap-usap mata yang terasa berat masih begitu mengantuk, lalu berjalan menuju pintu. Menyentuh handel pintu, perlahan memutarnya hingga pintu terbuka. Perempuan yang sangat kucintai, dia terbaring di ranjang. Infus menggantung di atasnya, mata Neni terkatup rapat. Aku mendekat pelan-pelan lalu duduk di bibir ranjang, tanganku terjulur dan mengusap wajah Neni yang terasa lembut. Cantiknya dia, selalu membuatku kepikiran tiap malam, juga tiap sedang melakukan dosa dengan lawan jenis. Sedang 'main' dengan perempuan lain, tapi Neni lah yang kubayangkan seolah, aku sedang bermain dengan Neni. Rasanya berkali-kali lipat lebih memuaskan saat 'bermain' dengan membayangkan Neni. Aku sedikit membungkukkan badan lalu dengan pelan mengecup pipi Neni, dia terlihat begitu cantik mempesona. Sebelas dua belas dengan Cinta. Cinta, istri Zain, dulu aku pernah berniat 'mengerjainya. Tapi keinginan itu hanya terwujud di angan-angan saja. Cinta itu cantik menggoda, selalu mengenakan pakaian ketat pas di tubuh, membuat pikiranku melalang buana membayangkan hal jorok saat melihatnya. Jika pada Cinta aku hanya berniat mengerjainya saja, kalau pada Neni, aku benar-benar menyukainya. Aku kembali mendaratkan kecupan pelan di pipi Neni. Kali ini, dia membuka matanya. Aku tersenyum padanya. "Pagi, calon istriku?" Sapaku. Matanya membulat terkejut. Dia langsung bangkit duduk dan dengan napas memburu beringsut menjauh. Aku tersenyum melihatnya yang tampak ketakutan. "Sebentar lagi, kita akan menikah. Aku akan bertanggung jawab atas anak yang kamu kandung, Cintaku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN