AAH SENANGNYA IMPIANKU MENDEKATI KENYATAAN

1070 Kata
POV Tara Dengan napas memburu juga jantung berdetak kencang sekali seperti mau lepas dari rongganya, aku menghubungi Redi. Tidak mungkin aku membawa Neni ke klinik seorang diri dengan mengendarai motor. Tidak berselang lama menunggu, panggilanku diangkat. "Woy, Ra! Hilang ingatan atau apalah kau ni, ha? Malam-malam kau ganggu aku tidur! Jam 11 ni, Ra!" Terdengar kesal suara sahabatku itu. Kebiasaannya memang begitu, selalu saja marah tiap ditelepon di atas jam 10 malam. Bisa saja aku menghubungi Zain, tapi tak mungkin kulakukan karena dia baru menikah. Tahulah aku, dia pasti sedang bermesraan dengan istrinya yang seksi menggoda itu. "Kau mau cakap apa, ni, Ra? Kalau tak segera cakap, kumatikan, ni?!" ucap Redi dengan kesal. "Aku ni sedang mimpi indah sangat, malah kau ganggu aku!" Dia mengembuskan napas keras. Dari nada bicaranya tampaknya dia kesal sekali. Aku menghela napas panjang. "Maaf jika aku ganggu tidurmu, Red. Mimpi indahmu sambung nanti saja setelah kamu membantuku. Aku benar-benar sangat butuh bantuanmu, tolong aku, Red. To-long!" kataku dengan napas turun naik. Kusenteri wajah Neni dengan HP yang kupegang, matanya terpejam. Aku takut dia kenapa-napa. "Kau butuh bantuan apa, lah? Kau perlu duit atau apa, lah? Kalau masalah duit, kau bisa hubungi aku besok. Aku ni ngantuk sangat, aku ni. Mau sambung mimpi indah tadi." "Red, Neni bersamaku sekarang. Dia tidak sadarkan diri." Suaraku terdengar bergetar. Aku takut dia kenapa-napa. Tadi itu aku hanya bermain-main saja, tidak benar-benar akan menggagahinya lagi. Aku menempelkan psitol ke keningnya juga hanya sebatas ingin memberinya pelajaran, tidak benar-benar ingin mencelakainya. Aku sangat mencintainya, tidak mungkin aku melukai perempuan yang sangat kucintai, yang bayangan wajahnya terus menghantuiku tiap malam membuatku tidak bisa tidur. "A-pa?! Bagaimana bisa Neni bersama kau, Ra?! Kau tak bercanda, kan?!" Terdengar kaget suara Redi. "Aku menculiknya, Red. Aku serius. Segera ke sini aku butuh bantuanmu." "Baiklah, baiklah! Aku kesitu sekarang. Kau tunggu aku! Jangan kau berbuat aneh-aneh pada Neni! Kau dengar, tak?!" Dadaku berdebar keras saat dengan cahaya senter di HP aku kembali menatap wajah Neni, matanya terus saja terpejam. Semoga dia tidak kenapa-napa. "Ra, di mana kau sekarang, Ra?!" "Aku di rumah Zain dulu, Red." "Baiklah, aku ke situ sekarang!" Klik. Sambungan di putus. Aku mendekat ke arah Neni, meraih kepalanya lalu meletakkannya ke pangkuanku. Kuusap rambutnya yang tergerai berantakan. Aroma sampo menguar dari rambutnya. Aku meraih jilbab di sampingku lalu memakaikan Neni jilbab. Setelah itu, Kuusap pipinya dengan lembut. "Neni, bangun, Sayang," kataku dengan lembut. Jantungku berdetak kencang karena panik. Dadaku terus berdebar keras. "Maafkan aku, Sayang, aku tidak sungguh-sungguh ingin mencelakaimu. Aku hanya bermain-main, sungguh," kataku. Yang kuajak bicara terus terdiam bisu. Aku lagi-lagi mengusap pipinya, dan Neni lagi-lagi hanya diam, matanya terpejam rapat. Terdengar deruman motor yang semakin lama semakin dekat. Aku yakin itu Redi. "Red, aku di dalam!" Teriakku. Pintu pun didorong membuka. Redi berjalan mendekat dengan senter dari HPnya, tertuju ke arahku. "Anak orang kau apakan, Ra?! Kenapa dia tak sadar begitu, hah?!" Saat tatapannya tertuju pada senjata api di sebelahku, matanya melebar kaget. "Kau tembak dia jangan-jangan, Ra?! Iya, Ra?!" Kugelengkan kepala cepat. "Tidak, Red! Tidak! Nanti kuceritakan. Sekarang, bantu aku bawa Neni ke klinik! Ayo!" Aku beranjak bangkit dengan membopong Neni. Redi mengangguk. Dia berjalan mendahuluiku menuju motornya di parkir. "Mana motor kau, Ra?" tanya Redi sambil menoleh ke kanan-kiri. "Kuparkir di halaman rumah ibunya Zain," jawabku sambil menaikkan Neni ke motor, lalu aku naik di belakangnya. Motor pun segera melaju membelah jalanan Wonosari yang sunyi juga lengang. Pintu-pintu rumah di kanan-kiri jalan tertutup rapat karena sudah jam 11 lewat, para tetangga mungkin sudah pada tidur. "Tolong periksa kekasihku," kataku setibanya di klinik dokter Baik Sekali(itu yang tertulis di plang putih depan rumah yang dijadikan klinik ini. Nama aslinya dokter Aldriansyah. "Neni!" katanya dengan wajah terkejut. "Dokter kenal?" tanya Redi. Sang dokter mengangguk. "Iya dia saudara jauhku. Kerja di sini juga. Baiklah biar kuperiksa. Kalian tolong keluar dulu," kata Aldri sambil menatapku. "Kamu siapa Neni?" tanyanya. "Sudah kubilang dia kekasihku. Tolong sembuhkan dia," kataku, lalu aku dan Redi pun melangkah keluar dari ruangan. Aku mondar-mandir di luar kamar. Semoga Neni tidak kenapa-napa. "Duduk kau, Ra! Pusing aku ni lihat kau dari tadi mondar-mandir macam setrikaan!" Dia memijit-mijit keningnya. "Aku cemas, Red," kataku. "Bagaimana jika dia mati?" tanyaku sambil duduk di bangku panjang sebelahnya. "Kau berdoa saja semoga dia tak mati. Kalau dia sampai mati, kau bisa masuk penjara seperti Zain dulu karena nodai Talita!" Aku mendelik padanya. "Jangan bicara keras-keras, Red. Kalau ada yang dengar, aku bisa celaka," kataku mengingatkannya. Dia menghela napas. "Senakal-nakalnya aku, Ra, aku ni punya prinsip, aku ni tak mau lepas perjakaku buat perempuan yang bukan biniku. Sejahat-jahatnya aku, ni, suka ngerampok, aku suka begal, tapi tak pernahlah, aku, paksa awewe layani aku macam kau sama Zain." Kuhela napas panjang. Ucapan Redi membuatku jengkel namun aku tidak mau meladeninya. Jika diladeni, bisa-bisa kami berujung gulat. "Ini sudah terjadi, jadi jangan menyalahkanku terus, Red. Aku menggagahi Neni karena sakit hati. Ucapannya lebih tajam dari silet," kataku. Lalu keceritakan detail kejadian kenapa Neni bisa bersamaku di rumah kosong. Tak lama, dokter Aldri keluar. Tatapannya tertuju ke wajahku. "Apa dia baik-baik saja?" tanyaku cemas. Dia mengangguk. "Lelaki sejati, dia akan bertanggung jawab dengan perbuatannya. Jika Neni benar-benar kekasihmu, berarti kamu adalah ayah dari janin yang dikandungnya." Mataku melebar kaget. Lalu perlahan, senyum timbul di bibirku. "Dia ... dia hamil? Dia hamil, Dokter?" Kedua tanganku terulur menyentuh pundak dokter Aldrian lalu aku mengguncang-guncang tubuhnya dengan bersemangat. "Dia hamil, Dok? Dia hamil?! Ha-miil?" Aku tak dapat menahan luapan bahagia yang terus menerjang benak. Aku tersenyum dan tertawa. Lalu melompat-lompat kegirangan. Redi dan Dokter Aldrian terus menggelengkan kepala melihat tingkahku. Aku tidak peduli. Aku terus jingkrak-jingkrak kesenangan. Ah, Neni, aku yakin sekali kamu akan segera kudapatkan. Apakah kamu tahu walau gadis manis? Saat ini aku sangat senang. Sangat-sangat senang. Hanya tinggal menunggu waktu, kamu akan segera jadi istriku. Impianku terasa semakin mendekati kenyataan. Walau mendapatkanmu dengan cara yang salah, namun aku tak peduli. Yang terpenting bagiku, kita bisa bersama. Aku janji jika aku menjadi suamimu nanti, aku akan menjadi suami yang baik. Aku tersenyum membayangkan, aku dan Neni duduk berdampingan, lalu penghulu menikahkan kami. Aaaah itu pasti akan sangat membahagiakan. Manakah yang lebih membahagiakan dari ini? Selama ini, aku hanya bermain-main dengan para perempuan, berganti-ganti kehangatan di ranjang, tapi kali ini, aku ingin serius, karena aku benar-benar mencintai Neni. Neni yang sebentar lagi akan jadi istriku. Iya, dia akan jadi istriku. Aku yakin sekali. Sangat-sangat yakin. Aku lagi-lagi tersenyum penuh kebahagiaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN